Sepagi ini, handphoneku yang biasanya sunyi seperti kuburan, mendapatkan pesan. Bukan dari operator atau mama, melainkan dari sebuah nomer tidak dikenal.
082******334
Rangga, jangan lupa traktir aku makan hari ini. Oke
Aku mengembuskan napas pelan, rupanya si Saya, bukan bentuk subjek, melainkan nama orang berjenis kelamin perempuan.
Aku pun bangun dari tidurku, menuju jendela kamarku dan membukanya. Senyumku tersungging saat menatap matahari yang sudah terbit di ufuk timur. "Terimakasih Tuhan", ucapku dalam hati.
Hari ini adalah hari kamis. Saatnya untuk sebuah aktivitas mingguan di rumah sakitku yang disebut dengan coffee morning. Moment ini diadakan setiap hari kamis dari jam 08.30 wib sampai jam 11 atau 12 siang.
Acaranya diadakan di ballroom lantai tiga dan dihadiri oleh petugas rumah sakit kecuali yang sedang dinas, cuti atau sakit. Acara ini dilaksanakan untuk mengevaluasi apa yang terjadi di semua unit di Rumah Sakit.
Coffee morning biasanya memakai seragam unit yaitu atasan biru dengan bawahan berwarna gold. Dalam kesempatan ini pula biasanya owner ( pemilik rumah sakit ) marah-marah dalam artian mengkritik dan memberi saran atas masalah yang terjadi berikut menganalisa sistem kerja petugas. Owner di rumah sakit kami adalah dokter Tutik, yang Sekaligus merangkap sebagai dokter Obgyn ( dokter kandungan ).
Hal menyenangkan dari kegiatan coffee morning selain bisa kumpul dengan semua unit adalah, ada pembagian snack bagi para peserta semisal nasi kotak, mie goreng atau nasi goreng dan juga minuman sehat. Makanan dan minuman diambil sendiri, bebas, biasanya Arif suka mengambil dua atau tiga bungkus. Alhasil yg telat naik tidak dapat makanan.
Kamis ini aku absen, ada dinas pagi. Meski dimulai jam setengah sembilan, aku memiliki jadwal jam sepuluh sehingga tidak bisa hadir. Terpaksa, aku harus beli makan untuk sarapan sendiri.
Selesai mandi dan merapikan diri, aku keluar kos, mau beli makanan. Sepagi ini, aku melihat Rara yang kali ini sudah tidak kekurangan kain. Dia memakai rok panjang hingga mata kaki dengan baju lengan panjang.
"Rangga," sapanya dengan senyuman lebar.
"Iya, Ra," sahutku sekenanya sambil memakai sandal.
"Mau kemana?" tanyanya.
"Cari makan," jawabku.
"Mau Rara temenin?" tawarnya.
"Nggak usah," jawabku.
"Kenapa?" tanya Rara lagi.
"Masih pagi, nggak ada hantu yang gangguin," jawabku sambil berjalan keluar gerbang.
"Ish, dikira Rara dukun setan?" desisnya sambil berjalan mendekatiku.
"Rara nggak kuliah?" tanyaku saat melihat Rara mendekat.
Rara menggelengkan kepalanya.
"Kuliah siang," jawabnya.
"Oh gitu, nggak bantuin mama beres-beres rumah?" tanyaku lagi.
"Kan ada pembantu, ngapain bantuin?" tanya Rara dengan santainya.
"Wanita juga harus bisa ngurus rumah," nasehatku.
"Kalau Rara gitu, Rangga bakal naksir Rara?" tanyanya dengan mata yang sedikit dibulatkan.
"Nggak juga," jawabku.
"Yaudah nggak usah," putusnya.
"Yaudah, Rara nggak akan jadi tipeku selamanya, bagus," kataku sambil mengangkat satu jempolku.
"Aih, iya, iya," kata Rara lalu mundur, membiarkan aku yang sudah di luar gerbang.
"Nggak jadi ikut?" tanyaku.
Rara menggeleng.
"Nggak, mau bantuin mama nyiram bunga," katanya.
"Sip, met nyiram ya," kataku memberikan semangat.
Rara mencebikkan bibirnya.
"Jangan nakal lho," katanya.
"Nggak janji," kataku lalu berjalan pergi meninggalkan Rara yang mencak-mencak seperti cacing kena alkohol.
Setelah cukup lama berjalan, aku berhenti di sebuah warung nasi. Penjualnya seorang lelaki dengan kumis yang tumbus subur.
"Mau pesan apa, Dek?" tanyanya dengan logat khas.
"Nasi rames, Pak!" jawabku sambil duduk di bangku panjang yang memang sudah disediakan di depan etalase tempat berbagai lauk dipajang.
"Makan sini atau bungkus?" tanya bapak itu lagi.
"Makan di sini," jawabku.
"Oke, tunggu sebentar," kata bapak itu lagi.
Aku mengangguk pelan. Sambil menunggu, aku buka game COC milikku. Baru juga sebentar main, si Arif sudah mengirim wa. Aku buka wa darinya, karena berpikir itu adalah pesan yang penting. Ternyata, tidak penting sama sekali. Dia mengirimiku sebuah gambar dimana dia tengah berfoto dengan tiga nasi kotak dengan caption, "Ga, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"
Aku menutup w******p dari Arif dan sengaja meng-mute wa darinya. Malas. Kemudian aku beralih pada pesan Saya yang belum aku balas. Aku save dulu nomernya lalu aku balaskan ketikkan balasan yang hanya berisi dengan emo oke.
"Ini, Dek," kata bapak penjual nasi.
Aku menerima sepiring nasi rames yang disodorkan oleh bapak itu lalu mulai memakannya setelah mengucapkan terimakasih.
"Anak rantau, Dek?" tanya si bapak yang sepertinya sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Aku mengangguk.
"Iya, Pak," jawabku.
"Dari mana?" tanya si Bapak.
"Yogyakarta," jawabku.
"Bapak juga perantauan," katanya memberikan informasi tanpa diminta.
"Darimana, Pak?" tanyaku ikut berbasa-basi.
"Sumenep, Madura!" katanya yang seketika membuatku ingat bahwa logatnya memang seperti orang Madura asli.
"Sudah lama merantau di Pekanbaru, Pak?" tanyaku.
Bapak itu mengangguk.
"Lumayan, sudah 10 tahun," jawabnya.
Sepuluh tahun lumayan? Lantas bagaimana denganku yang baru dua tahunan?
"Menikah dengan orang sini, Pak?" tanyaku.
Bapak itu menggeleng.
"Istri saya orang Lumajang," katanya.
"Lantas kenapa bisa merantau di sini, Pak?" tanyaku.
"Ya, namanya sudah nasib," katanya memberikan jawaban menggambang.
"Kalau adek ini, merantau kenapa?" tanyanya balik.
"Saya diterima kerja di sini, Pak!" jawabku.
"Kerja apa, Dek?" tanyanya lagi.
"Radiografer," jawabku.
Bapak itu menautkan alisnya.
"Petugas rontgen dan CT-Scan, Pak," jelasku.
Bapak itu masih memasang wajah bingung.
"Petugas rumah sakit," jelasku lagi.
"Oh," kata bapak itu singkat. Entah dia sudah mengerti atau tidak. Yang jelas, setelah itu kami hanya saling diam.
Selesai makan, aku mengambil air mineral kecil lalu meminumnya. Setelah itu, aku membayar makana dan minumanku.
"Terimakasih, Pak," ucapku sebelum pergi meninggalkan warung.
"Sama-sama," sahut bapak itu.
Aku pun keluar dari warung itu dan kembali ke kosanku. Tadi sempat kulihat Rara yang sedang menyapu. Anak itu, sepertinya benar-benar mencoba semampunya untuk menarik perhatianku. Sayangnya, otakku masih terlalu beku untuk memikirkan soal 'daya tarik' yang harusnya terjadi di antara seorang lelaki dan perempuan.
Sekitar jam sembilan, aku berangkat bekerja. Kamis ini pekerjaan kami lumayan banyak sehingga aku rasa, hari ini akan menjadi hari yang sibuk dan melelahkan. Meski begitu, aku sudah siap. Sudah makan, sudah mandi dan sudah ganteng, jadi berbagai pekerjaan siap dilaksanakan dengan baik.
***
Sekitar jam enam malam lewat lima belas menit, shift kerjaku berakhir. Sebelum pulang, aku membuka handphone milikku yang sejak tadi aku mode off. Baru juga hidup, serangan pesan sudah menyerang, kebanyakan dari Saya.
Saya
Ga, makan dimana?
Ga, masih idup kan?
Rangga, hello! Udah jadi lumut nih aku nungguin kamu!
Ga, kalau kamu nyariin aku, aku udah ada ditumpukan sayur. Lagi menikmati pahitnya Pare karena pesan nggak dibaca :(
Rangga, aku udah jadi batu.
Aku tertawa geli setelah membaca pesan-pesan yang Saya kirimkan. Aku pun membalas pesannya.
Rangga Aditya George
Ketemu di pizza Hut dekat RS.
Aku udah otw, baru kelar kerja.
Tak lama kemudian Saya segera membalas pesan dariku.
Saya
Oke Abang Rangga
Aku pun memasukkan handphoneku ke saku celana lalu segera pergi ke parkiran. Setelah mengambil sepeda motorku, aku segera menuju ke pizza hut dimana aku sudah janjian dengan Saya. Baru juga turun, sudah mendapati Saya yang sudah berdiri di depan Pizza Hut.
"Sorry lama," kataku saat melihat Saya sudah berdiri dengan senyuman menyambutku.
"Nggak apa-apa, kupikir Rangga kabur!" guraunya.
"Nggak, kan cuma traktir makan, masih mampu!" jawabku.
Saya tersenyum tipis.
"Iya, percaya. Yuk!" katanya sambil mencoba merangkul lenganku tetapi segera aku mundur, menghindarinya.
"Mau ngapain?" tanyaku.
Saya menautkan alisnya.
"Nggak boleh disentuh?" tanyanya dengan wajah yang sedikit menunjukkan rasa kaget.
"No way," jawabku.
"Hm, maaf," katanya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang dia kenakan.
"Makan apa?" tanyaku.
"Daging," jawabnya.
"Nggak makan di sini saja?" tanyaku sambil menunjuk ke pizza hut yang ada di belakangnya.
"Nggak, terlalu deket nggak bisa jalan-jalan sama Rangga," katanya dengan senyuman penuh arti.
"Baiklah," jawabku mengalah
Saya pun mulai berjalan menuju parkiran. Melihatnya ke parkiran mobil, aku segera menyusul untuk menghentikannya.
"Sepeda motorku di sana!" tunjukku pada sepeda motorku yang sedang terparkir.
Saya mengulurkan kunci mobil lalu memencetnya.
"Itu mobilku, naik itu saja," katanya lalu brrjalan menuju sebuah mobil sedan merah.
Aku terdiam di tempat lalu berbalik, menuju ke sepeda motorku.
"Ga, Rangga!"
Aku menoleh, menatap Saya yang mengejarku.
"Kok kesini sih? Pakai mobilku," katanya lagi.
"Nggak, kalau kamu mau pakai mobil silahkan!" jawabku dengan dingin.
"Rangga marah?" tanyanya.
"Menurutmu?" tanyaku balik.
"Marah,"
"Ya sudah," sahutku lalu naik ke sepeda motorku.
"Mau makan daging kan? Ikut aku dengan caraku dan tempat yang aku mau, kalau nggak setuju, janji traktir makan batal!" kataku setengah mengancamnya.
"Oke," katanya cepat.
"Yaudah naik!" suruhku sambil menunjuk ke belakangku.
Saya terdiam, bimbang.
"Ada apa?" tanyaku.
"Naiknya gimana?" tanyanya yang membuatku ingin tertawa.
"Sini aku bantu," kataku seraya mengulurkan tanganku.
Saya tersenyum tipis, menerima uluran tanganku lalu naik ke sepeda motorku. Dengan duduk menyamping, dia mulai melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Boleh pegang kan? Takut jatuh," katanya seolah takut jika aku akan menyuruhnya melepas pegangan tangannya di pinggangku.
"Boleh," jawabku.
Sepeda motor pun mulai melaju meninggalkan pizza hut lalu menuju ke tempat tujuan. Tak berapa lama, kami tiba di tempat tujuan. Aku bantu Saya turun. Setelah itu mulai berjalan menuju tempat yang menjadi langgananku.
"Sate?" tanya Saya saat melihat tempat tujuan kami adalah sebuah warung sate.
"Sate kan daging," jawabku.
Saya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kalau nggak mau, kita bisa pulang dan beli pizza hut saja!" kataku.
"Mau, mau kok," sahut Saya cepat.
"Oke," kataku.
Kami pun duduk di kursi yang kosong. Aku pesankan dua porsi sate dan juga nasinya. Tak lupa juga minuman. Saya memesan es jeruk tanpa gula sedangkan aku teh tawar. Untuk perkara gula, sepertinya kami memiliki kesamaan.
Saya duduk di kursi berseberangan denganku sehingga kami duduk berhadapan. Sembari menunggu, Saya membuka ruang obrolan dimana kebanyakan dia yang bertanya sedangkan aku menjawab.
"Aku bukan lagi wawancara lho Ga," matanya kemudian setelah sepuluh menit dia menanyaiku.
"Maksudmu?" tanyaku kurang paham dengan sindirannya.
"Dari tadi aku yang nanya, Rangga nggak mau nanyain aku nih?" tanyanya dengan kedipan mata jenaka.
"Umur berapa, Ya?" jawabku yang langsung disambut wajah masam oleh Saya.
"Aku wanita lho, ditanya siapa namanya, udah punya pacar atau belum, atau apa gitu! Malah ditanya usia, nggak pernah dengar ya kalau pertanyaan usia pada wanita itu dilarang?" ocehnya panjang-lebar.
"Ya, biar enak aja manggilnya. Kalau seusia atau lebih muda, aku bakal manggil Saya. Kalau lebih tua, aku panggil Kak," jelasku.
"Aku lahir 3 maret 1997, jawabnya.
"Oh, lebih muda," komentarku.
Saya menarik napas lega setelah mendengar pernyataan itu dariku.
"Emang Rangga lahir kapan?" tanyanya kemudian.
"Dua puluh enam januari 1996," jawabku.
"Wah, keren, masih mudah udah mapan," pujinya.
"Makasih," jawabku walau tidak tahu alasan mengapa dia menyebutku keren.
"Rangga sudah punya pacar?" tanya Saya lagi.
"Belum," jawabku.
"Oh, aku juga nggak," katanya ngasih info.
"Oh," kataku singkat.
"Nggak mau ngajak pacaran nih?" godanya.
"Nggak," jawabku terlampau cepat.
"Ish, kok langsung ditolak? See, aku cantik, kaya pula. Apanya yang kurang?" tanyanya dengan wajah bingung.
"Kurang rendah hati," jawabku yang membuat Saya ternganga.
"Sorry kalau kesinggung," kataku merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa, cuma jadi kayak awkward moment aja," katanya dengan tawa canggung yang tidak bisa disembunyikan.
"Lagipula, baru kenal," kataku.
"Kalau udah lama kenal, ada kemungkinan suka?" tanya Saya kembali bersemangat.
"Maybe," jawabku.
"Wah, asyik," soraknya girang.
"Emang tipe Rangga yang gimana?" tanyanya antusias.
"Yang sehat jiwa dan raga," jawabku.
"Aku kurang sehat?" tanyanya sambil melihat ke tubuhnya yang dari atas sampai bawah.
"Udah periksa? Sakit jantung nggak?" tanyaku setengah bergurau.
"Nggak sih, cuma sakit jomblo," kata Saya lalu terkekeh pelan.
Aku hanya tersenyum sedikit mendengar candaan dari Saya.
"Kalau itu, aku juga," balasku.
"Nah sebagai dua orang yang sama-sama jomblo, harusnya kita bersama biar saling menyembuhkan kan?" sindir Saya dengan kedipan mata untuk menggodaku.
"Tidak juga, dua orang yang sama-sama miskin aja belum tentu bersama untuk saling menghidupi," balasku yang membuat Saya memanyunkan bibirnya.
"Maaf soal yang tadi, aku cuma nggak biasa pakai sepeda motor!" katanya teringat lagi soal kejadian di parkiran.
"Tidak masalah," jawabku.
Kami pun melanjutkan makan kami. Aku menghabiskan satu setengah porsi sate sedangkan Saya hanya setengahnya saja. Dia bilang sudah kekenyangan, jadi aku melahap habis sate miliknya yang masih tinggal setengah.
"Ish, Rangga banyak banget ya kalau makan, perut apaan tuh!" ledeknya.
"Perut manusialah, kan aku manusia!" jawabku yang disambut tawa oleh Saya.
Setelah mengobrol sebentar untuk menurunkan nasi dan sate yang barusan kami makan, kami memutuskan untuk pulang. Tentu saja aku membayar dulu makanan kami agar tidak dijadikan bulan-bulanan warga karena tidak membayar bisa sate. Kan awkward moment banget.
Ga, lain kali traktir makan lagi ya. Itu kata Saya sebelum akhirnya dia berjalan menuju mobil mewahnya. Untuk pesan itu, aku hanya memberikan senyuman. Bagiku, memberikan harapan pada seorang perempuan yang bahkan belum bisa membangkitkan hormon dopamin atau morpin di otakku, itu bukan gayaku.