Bab 7. Dasar Matre!

1451 Kata
Damian tidak percaya Lyra memperlakukannya seperti ini, rasanya sangat aneh dan ada rasa kesal sedikit karena terpaksa mengerti wanita yang kini tengah tiduran di ranjangnya. "Ke bawah sedikit ...," lirih Lyra. Damian beralih ke bawah dengan wajah datar menatap Lyra yang tengah memejamkan matanya merasakan nikmat tangan Damian yang terus bergerak. "Apa? Kenapa menatapku begitu?" tanya Lyra yang membuka matanya. "Aku tidak percaya kau membeliku hanya untuk menyuruhku memijat kakimu," gerutu Damian. Sekarang profesi Damian berubah jadi tukang pijat dalam semalam di tangan Lyra, hanya wanita itu yang bisa mengendalikannya sampai melakukan hal yang di luar pekerjaan yang seharusnya. "Ini nikmat, pijatanmu sangat enak, lagi juga jika kita melakukan itu akan sangat beresiko padaku dengan kaki sakit seperti ini, memangnya kau tega melihat pelangganmu tidak bisa berjalan?" kilah Lyra. Sungguh jawaban di luar nalar Damian, perasaan campur aduk antara senang dan kecewa, senang karena tidak perlu bersusah payah menghasilkan uang hanya dengan melakukan hal-hal yang tidak memakai tenaga, kecewa karena Lyra menghentikannya dalam masa tanggung. "Jadi kau memang hanya ingin dipijat? Kenapa tidak ke tukang pijat saja? Kenapa harus datang padaku?" Damian masih menggerutu sambil memijat kaki Lyra. "Siapa yang datang pada siapa? Kau yang datang lebih dulu padaku, coba saja kau ingat lagi, aku hanya menahanmu saja tuh," kilah Lyra. Damian mengingat kembali kejadian di mana dia mencari Lyra hanya untuk mengembalikan dompetnya yang terjatuh, tapi dia malah menemukan Lyra sedang berada dalam bahaya. "Terserah kau saja!" ketus Damian. Lyra terkekeh geli melihat Damian yang sama sekali tidak bisa menolak permintaannya, padahal sebelumnya pria itu sangat marah besar karena tertolak ketika hendak menelanjanginya. "Sudah cukup, sekarang tidur di sini," pinta Lyra menepuk-nepuk bagian ranjang di sebelahnya. Tentu saja Damian makin merasa aneh karena tidak bisa menyesuaikan sikap Lyra yang tiba-tiba meminta sesuatu tanpa bisa dia tebak. "Apa sekarang kau menginginkanku?" tanya Damian mengerutkan alisnya. "Tidak." Hanya jawaban singkat dari Lyra mampu membuat Damian merengut lagi. "Aku hanya menyuruhmu merebahkan diri di sampingku saja," lanjutnya. Terpaksa Damian menuruti semua mau Lyra, dia mulai merebahkan dirinya di samping wanita itu, kini mereka saling bertatapan satu sama lain. "Aneh sekali, kau membuang-buang uang hanya untuk hal-hal yang tidak menyenangkan," ujar Damian sambil menatap lekat sepasang manik cerah Lyra. "Matamu indah sekali," puji Lyra yang menatap balik Damian lebih lekat, seakan terpesona pada fisik pria di hadapannya. "Aku sedang mengatakan sesuatu dan kau membalasnya dengan tidak jelas begitu," gerutu Damian untuk sekian kalinya. Bukannya membalas, Lyra justru hanya tertawa melihat wajah Damian yang menggerutu dari tadi, itu sangat menggemaskan di mata Lyra, entahlah pria ini baik, tapi juga terlalu gelap untuknya. "Apa aku boleh memegang wajahmu?" tanya Lyra dan dijawab anggukan pelan dari Damian. Lyra mulai menyentuh wajah Damian, mengelus dari dahi sampai ke dagu, menyapu setiap detail ukiran wajah tampannya, tangannya bersensasi aneh berdesir setiap tekstur kulit yang dia lewati. Setelah Lyra selesai menjelajahi wajahnya, Damian buru-buru menarik tangan Lyra untuk turun, tiba-tiba sentuhan dari Lyra membuatnya teringat akan seseorang. "Aku sebenarnya merasa aneh dari tadi terhadap dirimu. Kau tidak ingin melaporkan orang itu ke polisi? Kau ingin mendiamkannya saja? Kalau nanti dia menyerangmu lagi bagaimana?" Damian menghujani Lyra dengan pertanyaan beruntun yang membuat Lyra tersenyum simpul. "Tidak perlu khawatir, b******n itu tidak akan bisa apa-apa lagi setelah aku memutuskan pertunangan dengannya, ayahku tidak akan tinggal diam jika aku melaporkannya nanti pagi," balas Mira. Damian tertegun dan dia baru mengetahui kalau pria yang menyerang Lyra malam ini adalah mantan tunangan wanita itu, dia lebih kaget lagi dengan kalimat terakhir seakan wanita di hadapannya bukan orang sembarangan. "Kenapa mantan tunangannya bisa sejahat itu? Padahal wanita ini bukanlah wanita yang buruk dan lumayan baik, dia juga sangat cantik," batin Damian. "Sebenarnya aku hanya ingin mengobrol denganmu, apa kau bisa jadi teman mengobrol yang seru?" tanya Lyra lagi. "Kalau mengobrol kenapa harus ke diriku? Kenapa tidak datang pada temanmu untuk mencurahkan setiap keluh kesahmu, itu jauh lebih baik dari pada menghamburkan uang begini," saran Damian. "Memangnya kau tidak butuh uangku?" ketus Lyra. "Aku hanya memberi saran saja sih, sebenarnya aku butuh uangmu dan yang tadi aku menolongmu juga mengobatimu belum di bayar, pakaian yang aku beli juga sekalian," celetuk Damian. "Dasar matre!" hina Lyra. Damian hanya menanggapi hinaan Lyra dengan tawa renyah, dia seperti sedang mengobrol bersama adiknya, mungkin juga bisa di sebut kekasih. "Lagipula kau sangat aneh, bukannya datang ke temanmu, tapi malah menahanku begini." Damian mulai merasa nyaman dengan Lyra karena obrolan dan candaan mereka cocok satu sama lain, tanpa ada batasan yang harus dipatuhi menjadikan Damian lebih leluasa menjadi dirinya sendiri di hadapan Lyra. "Aku ... aku tidak punya teman." *** "Apa? Jadi Lyra batal menikah? Bagaimana bisa?" Sania menghujani Daniel yang sedang sibuk meneguk minumannya, tidak menganggap ucapan Sania penting, hanya sekedar untuk mendengarkannya sudah cukup begitu saja. "Iya, mantannya selingkuh," balas Daniel meneguk wine di gelasnya. Sikap Daniel yang menganggap batal pertunangan putrinya sebagai satu hal yang biasa dan tidak ingin terlalu mengurusi masalah yang dibuat Lyra padahal undangan sudah disebar dan semua biaya sudah dilunasi untuk acara pernikahan Lyra. "Kau sangat tenang menghadapi ini semua, padahal semua sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, seharusnya kau menasehati putrimu untuk tidak mengambil keputusan yang salah," ujar Sania resah. "Menasehati untuk apa? Apa kau pikir putriku bersalah dalam hal ini? Dia yang diselingkuhi, kenapa jadi dia yang salah? Keputusannya sudah benar untuk meninggalkan pria itu, biaya yang aku keluarkan tidak sebanding dengan perasaan putriku!" tandas Daniel. Sania mengepal tangannya di kedua sisi, sangat sulit sekali memisahkan Daniel dari Lyra. Jika masih ada Lyra tidak ada peluang untuk diperhatikan oleh Daniel karena pria itu memiliki banyak kekasih, walaupun Sania paling diprioritaskan di antara kekasih lainnya. "Dia sudah cukup dewasa untuk hidup mandiri, kau tidak perlu terlalu memanjakannya begitu, mau sampai kapan kau selalu saja melindunginya?" keluh Sania. "Kenapa kau jadi cerewet begini, Sania? Aku ayahnya, tentu aku akan menjaga putrimu mau dia masih kecil atau sudah tumbuh besar, aku akan menjaganya sampai aku mati!" tegas Daniel. Daniel jadi tidak selera melanjutkan minumnya karena Sania yang terus menggerutu masalah putrinya, dia sangat tidak suka jika ada yang menyinggung Lyra sekecil apa pun. Daniel mengangkat kakinya naik ke meja dengan wajah angkuh yang terlukis kekesalan, sudah biasa Daniel melakukan ini di hadapan Sania jika dia sedang kesal. "Jika kau ingin menjaganya, lalu sekarang apa? Bahkan dia tidak pulang ke rumah, tapi kau tidak menghukumnya, kau memberinya kebebasan dengan pergaulan sebebas itu," sindir Sania. "Aku tidak ingin menekannya, aku cukup melindunginya dan memberikan kebutuhan yang lebih dari cukup untuknya, aku bisa merawat putriku sendiri, kau tidak perlu ikut campur akan hal itu." Daniel mengendurkan dasinya karena suhu ruang menjadi panas membuatnya gerah. Mungkin perasaan Sania salah pada putri kekasihnya sendiri, tapi dia merasa cemburu dan terabaikan ketika Lyra masih berada di sisi Daniel, seakan semua perhatian Daniel tercurahkan hanya untuk Lyra, tidak ada ruang sama sekali untuknya masuk. "Tapi, Daniel ... bagaimana kita bisa melangkah maju untuk hubungan kita kalau kau terus saja menjadikan Lyra bayang-bayang dalam hubungan kita?" Sania mulai kehabisan kata-kata untuk Daniel yang begitu menyayangi Lyra. Daniel langsung menoleh ke Sania dengan wajah marahnya, melayangkan tatapan tajam pada wanita yang berstatus kekasihnya itu. "Apa katamu? Kau benar-benar berpikir begitu?! Kau pikir aku akan meninggalkan putriku demi dirimu dan demi bisa bersamamu?! Kau pikir jika aku bersamamu, aku akan membuang Lyra, begitu?! Kenapa jadi kau yang memberikanku pilihan? Jika kau berpikir seperti itu jangan berharap lebih, karena kau tidak sebanding dengan putriku untuk aku pilih. Aku yang memberimu pilihan! Bukan dirimu! Pilihanmu adalah bersamaku dan menutup matamu atau pergi dariku jika bagimu Lyra hanya bayangan penghalang!" gertak Daniel. Sania tercekat dengan napas yang terengah, baru kali ini dia melihat kembaran Daniel yang sangat murka padanya, sebelumnya tidak seperti ini sekalipun dia membahas Lyra. "Bukan itu maksudku, maksudku hanya kita punya tempat untuk kita dan Lyra juga punya tempat untuk dirinya sendiri, aku hanya—" Belum sempat Sania menjelaskan maksud dari perkataannya, tapi Daniel sudah memotong dengan kalimat setajam pisau menggores hatinya. "Cukup, Sania! Sebaiknya kau pulang saja, jangan sampai aku lebih marah dari ini dan membuatmu menyesal nantinya! Sekali lagi aku bilang padamu, jangan mencampuri urusanku dengan putriku," kata Daniel memperingati. Kepalan tangan Sania makin mengeras melihat sikap kekasihnya yang sama sekali tidak menganggapnya, dia sudah berbesar hati Daniel mempunyai banyak kekasih, tapi dia tidak kuat jika Lyra mendapatkan perhatian Daniel tanpa kerja keras, tidak seperti dirinya yang berusaha merayu dan membujuk pria itu. "Lalu bagaimana dengan kita? Kau bilang akan menikahimu, tapi sampai sekarang tidak ada kemajuan di hubungan kita." Kepalan tangan Sania melemas tergantikan jarinya yang meremas satu sama kali karena merasa cemas. "Apa kau lupa? Aku akan menikahimu kalau Lyra setuju, selama dia tidak setuju ... hubungan kita akan tetap seperti ini, terserah kau mau pergi atau bertahan, aku tidak peduli!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN