Bab 8. Bintang Satu!

1432 Kata
Selly menghela napas berat setelah melihat semua hasilnya sama, dia tidak pernah menyangka akan begini, entah dia yang bodoh atau dia yang terlalu mencintai Samuel, tidak akan bisa mengubah hasilnya lagi. Selly yang sedang duduk di toilet menatap ke arah benda kecil yang dia pegang, dua garis terbentang menandakan hasil positif hamil pada dirinya. Dia tidak percaya, tapi dia sudah menjalani puluhan kali tes dan hasilnya sama saja. "Padahal aku sudah memperhatikan masa suburku, tapi kenapa bisa sampai seperti ini," gumam Selly. Ini jauh dari rencananya, tadinya dia pikir perselingkuhan mereka tidak akan ketahuan sebelum Samuel menikah dengan Lyra, tapi ternyata sekarang hubungan mereka malah terkuak dan tidak diberi kesempatan untuk sedikit menguras harta Lyra. Selly berjalan keluar toilet dengan membuang testpack dengan bantingan kuat ke tempat sampah, dia menyugar rambutnya frustasi. Waktunya sama sekali tidak tepat, Samuel sedang terlunta-lunta mencari pekerjaan di luar sana akibat pemecatan yang dilakukan ayahnya Lyra. Wanita itu berpikir keras apa yang akan terjadi padanya jika Samuel tahu keadaannya tengah berbadan dua, terlebih lagi akhir-akhir ini Samuel sangat sensitif dan gampang marah padanya. Mereka dipertemukan dalam keadaan ekonomi yang belum stabil dan saling mencintai karena bernasib sama. "Aku tidak ingin Samuel pergi meninggalkanku, tapi aku harus bagaimana ...?" lirih Selly merasa frustasi. Selly berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan dengan menggigit jarinya, kecemasan mulai menyapa hatinya tentang bagaimana kehidupannya ke depan, tiba-tiba terbesit satu nama orang yang selalu membantunya di setiap situasi. "Lyra ...?" gumam Selly. Orang yang selalu menawarkan bantuan tanpa diminta, dulu Lyra akan selalu menjadi seseorang sahabat yang tersenyum manis dan memeluknya ketika sedang susah, tapi semuanya berakhir ketika Selly mulai menusuk Lyra dari belakang. "Mana mau dia membantuku sekarang, hubungan kami berakhir saja karena ketahuan selingkuh," gerutu Selly. Selly menyadari dirinya salah, tapi membohongi dan mendoktrin dirinya sendiri kalau tidak masalah seorang sahabat berbagi, dan dia berpikir dirinya pantas melakukan ini karena dari kecil tidak bahagia seperti Lyra, sehingga menginginkan tunangan sahabatnya bukanlah hal yang menjijikan bagi Selly, toh Lyra cantik dan kaya akan dengan mudah menemukan pria baru, itu yang selama ini ada di pikiran Selly. "Aku pulang." Suara pria familiar mengetuk indra pendengaran Selly membuat wanita itu agak tersentak kaget. "Astaga, Sam sudah pulang," gumam Selly cemas. *** Damian melirik ke arah Lyra yang sedang sibuk bermain ponselnya, baru saja dia mengatakan hal yang menyedihkan, tapi beberapa saat kemudian dia terlihat biasa saja seperti tidak ada beban. Lyra yang menyadari Damian terus menatapnya langsung menatap balik pria itu, sepasang manik beradu beberapa saat, seakan Damian terbius bola mata indah milik Lyra yang sangat jarang orang punya. "Ada apa?" tanya Lyra. "Baru saja kau bilang tidak punya teman, tapi kau terlihat biasa saja dan tidak bersedih," jawab Damian masih menatap Lyra dan diam-diam mengagumi mata cantik Lyra. Lyra kembali memainkan ponselnya. "Karena aku punya uang, aku lebih takut ditinggal uang dari pada ditinggal teman," jawab Lyra dengan santai. Dari jawaban Lyra, Damian bisa menyimpulkan kalau Lyra adalah wanita kaya raya yang kesepian juga tidak perlu bersusah payah membanting tulang untuk bekerja, berbanding terbalik dengan dirinya yang harus membuang harga diri demi uang, mereka hanya sama dalam hal kesepian. "Ternyata kau kaya, ya?" ujar Damian tersenyum simpul. "Tidak, bukan aku yang kaya, tapi ayahku," balas Lyra sambil terus memainkan ponselnya. Damian jadi merasa aneh sendiri, kenapa dia terus menuruti Lyra dengan mudah dan dia kembali mengingat kenapa dia berada di sini dan membiarkan Lyra masuk ke dalam rumahnya tanpa memikirkan privasinya. Tapi jawaban Lyra membuat Damian cukup merasa tidak minder karena dia mengaku ayahnya yang memiliki kekayaan walau dia terciprat juga nantinya. "Kau ini aneh sekali, Nona." Damian mengelus pipi Lyra, sedang Lyra seperti sudah sangat dekat menerimanya dengan biasa, bahkan Lyra tidak menoleh ketika Damian melakukannya dan terus menatap ponselnya. "Akh ...! Aku lapar!" teriak Lyra. Damian tersentak mendengar Lyra memekik sangat kuat, padahal dia hanya lapar, tapi berteriak membuat Damian jadi sedikit menjauh. "Aku mau pesan makanan, kau mau pesan apa?" Lyra beralih menatap ke arah Damian yang melihatnya dengan aneh. "Kenapa?" tanya Lyra dengan wajah polosnya. "Kau hanya lapar, tapi kenapa harus berteriak begitu? Membuat orang kaget saja!" keluh Damian. Lyra menertawakan kebodohannya sendiri, dia lupa kalau ini bukan rumahnya yang besar jika dia berteriak tidak akan ada seorang pun yang protes, tapi ini di rumah Damian yang bagi Lyra cukup sempit, bahkan kamar mandi di rumah Lyra saja lebih besar dari ini. "Kenapa semuanya tutup di dekat sini?" gerutu Lyra sambil menggeser layar ponselnya mencari restoran yang buka di sekitar sini, namun hasilnya nihil. "Di wilayah ini tidak ada tempat makan yang buka 24 jam, Nona. Kau bisa menahannya sampai besok pagi," ujar Damian. Lyra melotot tidak suka. Seumur hidupnya, dia tidak pernah disuruh untuk menahan lapar, tidak ada berani yang menyuruh, bahkan ayahnya tidak pernah melakukan itu, tapi sekarang Damian dengan entengnya mengatakan itu. "Kau carikan aku makanan sana di luar," pinta Lyra. "Memangnya aku babumu? Kau menahanku bekerja, kau sudah memintaku untuk memijat kakimu, lalu kau memaksaku pergi mencarikanmu makanan? Enak saja!" omel Damian. "Apa katamu? Enak saja? Aku membayarmu untuk sehari ini, kau bilang enak saja? Dasar gila! Aku akan memberimu bintang satu!" omel Lyra balik. Damian menatap Lyra dengan wajah meledeknya kemudian dia memutar bola matanya sangat malas meladeni Lyra. "Silahkan saja, aku tidak terdaftar di aplikasi dan kau membeliku untuk melakukan ini dan ini." Damian dengan lancang memegang dua gundukan milik Lyra ketika mengatakan kalimat tadi. Lyra hampir terlonjak memekik, beruntungnya dia tidak menendang Damian yang tangannya punya jari-jari nakal. "Kau melecehkanku, b******n!" teriak Lyra. "Yang kau sewa gigolo, tentu aku akan melakukan ini padamu karena ketika kau datang pada seorang gigolo inilah yang mereka berikan." Damian langsung menarik tubuh Lyra, memposisikan dirinya di antara kaki jenjang nan mulus milik Lyra, sedetik kemudian Damian mengecup paha Lyra membuat wanita itu berdebar dengan darah berdesir ke seluruh tubuhnya. "Hei, nomor sembilan! Hentikan! Jangan macam-macam!" tolak Lyra. Tapi Damian malah tersenyum melihat bahasa tubuh Lyra yang mengkhianati bibirnya. Setiap kali Damian mengelus pahanya, Lyra menahan lenguhan nikmat yang hampir keluar "Kau menikmatinya, tapi kau mengatakan untuk menghentikan, sungguh kau sedang membohongi dirimu sendiri, ketika kau datang pada seorang pria bayaran maka yang mereka bisa berikan adalah kehangatan ini." Damian mulai membuka tali dress yang Lyra kenakan satu-persatu, dia sungguh tidak tahan punyanya menegang dari tadi dan Lyra terlihat acuh mengangguri dirinya yang sudah siap melesat. "Hentikan! Aku takut sakit lagi!" Lagi-lagi Lyra menolak Damian. Damian mengerti akan trauma Lyra tentang keperawanan, sekarang dia berniat lembut sedikit tanpa ada kebrutalan dalam bercinta dengan wanita di hadapannya. "Yang kedua kali tidak akan sakit, aku janji akan sangat lembut melakukannya dan akan menjamin kau sangat menikmatinya," bisik Damian. Damian mulai menciumi bibir Lyra walau wanita itu terus melengos, ciuman Damian mulai menurun ke perpotongan leher Lyra membuat Lyra tidak tahan meloloskan satu desahan yang terdengar merdu di telinga Damian. Dia saat dia mengatakan lapar, bukannya disuguhkan makanan, tapi Lyra malah disuguhkan dengan pemandangan roti sobek milik Damian. Seketika Lyra meneguk salivanya dan terbayang kembali bagaimana dia melepas keperawanannya bersama Damian. "Tunggu, kenapa jadi kau yang memaksaku? Kan, aku yang membelimu," protes Lyra. Damian hanya tersenyum kecil, kemudian membuka celah di antara kaki Lyra agar bisa menindih wanita itu. "Karena sebenarnya kau juga menginginkanku, Nona," bisik Damian membuat bulu kuduk Lyra merinding. Ciuman Damian turun ke perpotongan d**a dengan tangan yang memegangi Lyra yang terus memberontak, ini jadi terlihat seperti pemerkosaan ketimbang membeli jasa, karena sekarang Damian yang menginginkan Lyra. "Aku akan melakukan pekerjaanku seperti yang seharusnya dan kau hanya perlu menerimanya dengan nikmat," bisik Damian Damian mulai memasukan miliknya membuat Lyra yang tadinya memberontak jadi melemah, melenguh nikmat kehangatan di dalam relung terdalamnya. "Bisakah, kau melakukannya pelan-pelan? Aku benar-benar tidak mau sakit lagi." Akhirnya Lyra menyerah dan mempasrahkan dirinya, tidak sepenuhnya pasrah. Begitu Damian memasukinya, Lyra jadi berbalik menginginkannya. Damian menatap lekat wanita yang berada di bawahnya, pakaiannya sudah terlempar ke sembarang arah, lekukan tubuh Lyra dengan dua gundukan besar menantang juga keindahan ukiran tubuhnya benar-benar membuat Damian terbius. Tidak pernah dia meniduri wanita secantik dan semuda Lyra, mungkin hari ini menjadi keberuntungan baginya untuk tidak menahan rasa tidak suka karena Damian biasa menerima wanita tua dan dia harus menahan rasa tidak suka itu. "Pelan-pelan ...," desah Lyra yang tertahan. Tanpa sadar Damian memompa lyra terlalu cepat, merasakan desiran panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, Damian terlalu bersemangat. Damian mulai memperlambat temponya melihat Lyra yang menggelinjang ke sana kemari. "Ah, ah ... kau benar-benar berbeda, Nona." Damian mulai mempercepat lagi temponya setelah Lyra melentingkan tubuhnya merasa nikmat dan mulai merasa nyaman, membuat kedua bolanya terlempar ke sana kemari seirama dengan hentakan yang Damian. "Nomor sembilan, berhenti, aku sudah keluar ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN