Beberapa saat kemudian, Jessica berniat pergi meninggalkan rumah sakit walau tugasnya belum selesai karena ia tidak dapat bekerja di saat pikirannya tengah dibalut kesedihan atas apa yang ia rasakan saat ini. Tanpa Brendan ketahui, ia pun terluka atas perpisahannya bersama pria yang teramat Jessica cintai. Dan ia kecewa pada Patrick yang diam-diam melibatkan perasaan selama dekat dengannya, bahkan dengan berani pria itu mengungkapkan perasaannya pada Jessica di hadapan Brendan, hingga sang suami memutuskan untuk mengabulkan keinginannya, yaitu sebuah perpisahan.
"Brendy, di mana pun kamu sekarang. Aku berharap semoga kamu baik-baik saja. Walau kita tidak lagi bersama, tapi doaku akan selalu menyertaimu. Bahagialah walau tanpaku, aku yakin kamu pasti bisa dan akan terbiasa menjalani kehidupan ini tanpa kehadiranku," batin Jessica di kedalaman hatinya yang tengah merasa begitu terpuruk sejak harapannya runtuh akibat perpisahan ini.
Saat Jessica tengah melintas dan akan menuju mobilnya yang terparkir, tapi tiba-tiba saja langkah wanita itu seketika terhenti. Ia begitu terkejut saat melintas di area lobi rumah sakit karena kedua matanya menatap sosok Brendan yang sudah tidak sadarkan diri di atas brankar dan didorong oleh beberapa petugas paramedis menuju ruang IGD.
Kedua belah alis Jessica saling bertaut hingga mencetak kerutan dalam di permukaan dahinya. Wanita itu tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya saat ini. Ia merasa bahwa ini semua adalah mimpi.
"Ini nggak mungkin. Brendan tidak mungkin dalam bahaya. Dia baik-baik saja saat pergi dari hadapanku satu jam yang lalu." Jessica bergumam seraya menggelengkan kepalanya. Ia begitu syok dengan apa yang baru saja kedua matanya lihat hingga membuat tubuhnya diam terpaku dan tak dapat beranjak.
Namun, kesadaran Jessica seketika kembali saat ia merasa bahwa berdiam diri di sini tanpa mengetahui apa pun bukanlah hal yang benar. Kini ia segera bergegas melangkah menuju ruang IGD, mengejar Brendan yang tengah dilarikan oleh beberapa petugas paramedis untuk mendapatkan penanganan.
Jessica berusaha menguatkan hatinya dengan hal terburuk yang akan ia dengar nantinya. Mendengar tentang kronologi yang menimpa sang suami hingga hilang kesadaran dan bersimbah darah.
Walau tubuhnya bergetar hebat, Jessica tetap melangkah memasuki ruang IGD. Hingga kedua matanya disuguhkan pemandangan yang semakin melemahkan jantung ketika melihat posisi tubuh Brendan yang sudah diubah menjadi telungkup dengan beberapa lubang di belakang tubuhnya yang terlihat.
"Ya Tuhan, Brendan… Dokter, apa yang terjadi pada suami saya?" tanya Jessica pada salah seorang dokter yang kini berganti tugas dengannya di ruang IGD. Wanita itu bertanya dengan bibir yang bergetar hebat, bahkan suaranya nyaris tak terdengar jelas.
"Terdapat tiga luka tembakan di belakang tubuh suami Anda, dokter Jessica. Pasien kehilangan banyak darah dan kami harus segera melakukan tindakan agar nyawa pasien dapat tertolong," jawab dokter Diana yang berusaha tenang menghadapi situasi saat ini dan ia bertekad untuk menyelamatkan nyawa pasien yang tengah melewati masa kritis saat ini.
"Ayo dok, kita lakukan tindakan sekarang!" ucap Jessica dengan berurai air mata. Ia berniat untuk membantu dokter Diana menyelamatkan nyawa sang suami yang berada dalam masa kritis walau Jessica sendiri masih dalam keadaan syok.
"Kalian tolong siapkan darah untuk transfusi suami saya secepatnya ya!" pinta Jessica pada petugas paramedis yang segera mengangguk patuh.
"Tapi dokter Jessica, lebih baik Anda menunggu saja dan biarkan saya yang menangani Tuan Brendan," ucap dokter Diana yang merasa tidak enak jika Jessica sampai membantu pekerjaan yang menjadi tugasnya.
"Tapi dia suami saya, dokter Diana! Jadi biarkan saya membantu Anda untuk memberikan penanganan secepatnya pada Brendan agar dia selamat dari masa kritisnya!" bantah Jessica yang tengah dihantui kepanikan dan rasa takut. Takut jika ia harus kehilangan Brendan untuk selama-lamanya.
Dokter Diana pun tidak dapat menolak keinginan Jessica yang berniat untuk membantunya. Dengan senang hati ia segera mempersilahkan Jessica memulai penanganannya terhadap Brendan bersamanya. Keduanya melakukan penanganan yang cepat dan tepat. Mengeluarkan tiga buah timah panas yang bersarang di beberapa bagian tubuh Brendan.
Dengan tangan yang gemetar dan pikiran yang diselimuti rasa bersalah, Jessica berusaha menyelamatkan suaminya dengan penuh kesungguhan. Entah telah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan selama menjalani operasi itu.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya tiga peluru yang bersarang di tubuh Brendan berhasil dikeluarkan. Transfusi darah masih berlangsung sampai saat ini.
"Brendy, aku mohon bertahanlah. Kamu tidak boleh pergi tinggalin aku ya, sayang. Aku benar-benar minta maaf karena telah melukai hatimu. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sampai kamu kembali ke rumah sakit dalam keadaan kritis seperti ini, tapi aku merasa sangat bersalah karena kamu bisa tertembak seperti ini sebab pikiranmu yang hancur berantakan karena memikirkan perpisahan kita. Aku minta maaf sayang, tolong kamu bertahanlah. Aku janji akan memperbaiki semua ini. I'm promise," janji Jessica yang membisikkan kata-katanya tepat di depan telinga Brendan. Ia berharap sang suami mendengar ucapannya dan segera membuka kedua matanya kembali.
Walau Jessica sudah terbiasa menangani kasus yang Brendan alami saat ini, tapi kali ini rasanya sangat berbeda karena pasien yang ia tangani adalah suaminya sendiri. Ditambah Jessica memiliki pengalaman pahit karena ia pernah gagal menyelamatkan nyawa pasien yang kritis karena kehilangan banyak darah sebelum tiba di rumah sakit dan ditangani olehnya.
Maka dari itu, Jessica merasa sangat ketakutan. Ia takut tidak berhasil menyelamatkan nyawa suaminya, karena hingga saat ini denyut jantung Brendan begitu lemah dengan permukaan kulit yang masih memucat walau ia sudah mendapatkan transfusi darah sebanyak 3 kantong.
"Dokter Jessica, lebih baik Anda istirahat sekarang ya. Biarkan saya yang menangani Tuan Brendan selanjutnya. Saya tahu pasti sekarang dokter Jessica sangat lelah karena sudah menangani beberapa pasien malam ini. Dokter juga butuh istirahat kan," saran dokter Diana yang merasa tidak tega melihat kehancuran Jessica jika terus menyaksikan kondisi suaminya.
"Tidak dok, biarkan saya tetap di sini untuk menjaga suami saya. Silahkan lanjutkan tugas Anda dan jangan hiraukan keberadaan saya di sini," tolak Jessica yang tidak mau beranjak pergi dari samping suaminya, walau kini ia sudah tidak melakukan penanganan apa-apa lagi terhadap Brendan dan kini hanya terduduk lemah sembari menggenggam erat-erat sebelah tangan Brendan yang terasa begitu dingin. Membiarkan dokter Diana menangani suaminya lebih lanjut.
"Baiklah dokter Jessica, tapi saya berharap semoga dokter kuat menghadapi semua ini dan yakinlah Tuan Brendan pasti akan segera sadar untuk Anda," ucap dokter Diana yang berusaha menguatkan Jessica di tengah-tengah keterpurukan yang dialaminya.
"Terima kasih dokter Diana. Apakah Anda sudah mendapatkan informasi tentang apa yang Brendan alami hingga dia bisa tertembak?" tanya Jessica yang hingga saat ini belum mengetahui apa-apa tentang hal yang menimpa suaminya.
"Sus, jelaskan pada dokter Jessica ya tentang kronologi yang sudah kamu dengar dari pengakuan korban yang lainnya!" titah dokter Diana pada suster yang baru beberapa menit tiba di ruang tindakan tempat Brendan ditangani, setelah sempat mendatangi dua korban lainnya yang masih dimintai keterangan oleh pihak kepolisian.
"Korban yang lainnya? Apakah maksudnya Brendan tidak menjadi korban satu-satunya malam ini dari insiden yang dia alami?" tanya Jessica yang cepat tangkap mendengar perkataan dokter Diana.
"Betul dok, Tuan Brendan tidak sendirian dilarikan ke rumah sakit ini. Ada dua korban lainnya, yaitu dua orang pemuda di antaranya bernama Darren 20 tahun dan Oskar 19 tahun. Intinya dari keterangan korban, Tuan Brendan berusaha untuk menyelamatkan dua orang pemuda tersebut dari pengeroyokan sekelompok pemuda yang berusaha untuk menghabisi mereka. Saat Tuan Brendan coba membawa Darren ke mobilnya untuk dilarikan ke rumah sakit, tiba-tiba saja pelaku menyerang Tuan Brendan dari arah belakang menggunakan senjata api yang disembunyikannya entah di mana. Hanya itu penjelasan singkat yang berhasil saya tangkap, selanjutnya petugas kepolisian yang akan menjelaskan pada dokter Jessica secara langsung setelah mereka selesai menggali keterangan lebih dalam lagi dari dua korban lainnya," jelas suster tersebut kepada Jessica mengenai sedikit informasi yang ia ketahui tentang kejadian yang Brendan alami.
Jessica menutup mulutnya rapat-rapat untuk menahan suara isak tangisnya. Air mata semakin mengalir deras membasahi wajahnya. Jessica tak menyangka Brendan mengobarkan nyawanya untuk menyelamatkan orang lain tanpa memiliki strategi di saat pikirannya tengah kacau karena permasalahan bersama dirinya. Bahkan hatinya teramat sakit mendengar pelaku yang menembaki suaminya adalah beberapa orang pemuda yang seharusnya tidak memiliki senjata api.
"Ya Tuhan, suamiku sudah berusaha untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Sekarang aku mohon pada-Mu tolong selamatkan Brendan dan bantu dia untuk melewati masa kritisnya agar dapat kembali sadar. Aku mohon jangan buat aku semakin merasa bersalah dan ketakutan seperti ini. Aku menyesali kesalahanku Tuhan dan aku ingin memperbaiki semua ini…" tangis Jessica yang semakin terisak-isak seraya menatap wajah Brendan dengan sorot mata penuh penyesalan.
Kini pikiran Jessica kian dibalut rasa takut yang teramat dalam. Ia tak sanggup membayangkan jika harus kehilangan Brendan dengan cara seperti ini. Wanita itu hanya takut Tuhan mendengar perkataan Brendan yang memintanya untuk berdoa pada Tuhan supaya segera mencabut nyawanya, agar dirinya benar-benar dapat berpisah dengan Brendan seperti keinginan Jessica selama beberapa bulan terakhir ini.