"Sayang aku pulang duluan ya, nggak masalah kan?" pamit Jessica pada suaminya yang masih sibuk mengurus barang yang masuk ke restaurant.
"Tunggu sebentar lagi sayang, biar kamu pulang bareng aku," jawab Brendan yang tidak tega membiarkan istrinya pulang sendiri saat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
"Kamu urus restaurant sampai tutup dong sayang, nanti malam kan masih banyak barang yang mau masuk. Biar aku pulang duluan, aku capek banget soalnya pengen istirahat di rumah." Sementara Jessica meminta suaminya untuk tetap stay di restaurant agar tetap ada yang menghandle barang yang keluar masuk setiap malam, terlebih restaurant masih begitu ramai pengunjung. Hanya saja Jessica sudah sangat kelelahan sejak siang tadi hingga tidak dapat menunggu sampai restaurant tutup seperti biasanya.
"Yakin kamu minta aku tetap di sini, terus kamu pulang sendiri?" tanya Brendan yang sebenarnya belum bisa pulang bersama Jessica karena masih banyak hal yang harus ia urus.
"Yakin dong sayang. Percaya sama aku, semuanya akan baik-baik saja. Nanti kita bertemu di rumah ya." Jessica coba menyakinkan suaminya yang selalu merasa ketakutan jika ia pulang sendirian.
Brendan pun menganggukkan kepala dan berusaha untuk percaya, bahwa istrinya akan baik-baik saja seperti biasanya.
"Ok, sayang. Hati-hati nyetirnya ya, dan ingat jangan ngebut-ngebut! Setelah urusanku di sini selesai, aku akan segera pulang. Tunggu aku di rumah ya sayang," jawab Brendan dan kemudian mengecup mesra permukaan dahi istrinya.
"Siap, aku akan mengabarimu kalau sudah sampai rumah nanti. Bye, Brendy!" Jessica pun segera melangkah pergi dari hadapan suaminya setelah berpamitan, dan ia bergegas masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping mobil milik Brendan, karena kebetulan keduanya datang ke restaurant menggunakan mobil masing-masing, sebab pagi tadi mereka memiliki urusan ke tempat lain sebelum pergi ke restaurant.
Jessica mulai mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dan sesekali menguap, entah mengapa malam ini matanya begitu cepat mengantuk, wanita itu berusaha untuk menahan rasa kantuknya dengan mengusap-usap matanya yang sayu beberapa kali dengan kasar.
"Ya ampun, kenapa hari ini aku bawaannya ngantuk banget sih? Padahal semalam sudah tidur dengan cukup," umpat Jessica yang kembali menguap untuk kesekian kalinya.
Namun, beruntung wanita itu mampu mengatasi rasa kantuknya sampai tiba di pelataran rumah dan segera memarkirkan mobilnya. Lalu wanita itu keluar dari mobil, kemudian bergegas melangkah untuk masuk ke dalam rumah. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti saat kedua matanya melihat sosok wanita tengah menangis di halaman rumahnya dan duduk di sebuah kursi yang berada di sana.
"Siapa dia? Kenapa dia di depan rumahku? Dan kenapa dia menangis malam-malam begini ya?" batin Jessica yang bertanya-tanya di dalam hati.
Tentu saja rasa penasaran Jessica langsung terpancing dan ia berniat untuk menghampiri wanita yang tengah menangis dengan tersedu-sedu itu. Jessica melangkah perlahan demi perlahan dan berusaha menyakinkan pikirannya bahwa wanita yang ada di depan matanya saat ini benar-benar manusia.
"Hi, kamu kenapa menangis?" tanya Jessica yang akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh pundak wanita itu yang terasa dingin dan bergetar hebat.
Seketika wanita yang tengah duduk dan menangis di halaman rumah Jessica menoleh ke arah sumber suara. Kedua alisnya saling bertaut ketika menatap wajah sang pemilik rumah yang ia nantikan akhirnya tiba.
"Maaf Nona, apakah benar ini rumah yang ditempati oleh Brendan?" tanya wanita itu yang tak lain adalah Brielle. Ia dengan cepat menghapus air matanya dan segera bangkit dari posisi duduknya. Suaranya terdengar bergetar dan menunjukkan kesedihan yang mendalam.
"I-iya. Ini adalah rumah Brendan, dan aku adalah istrinya. Maaf, memangnya ada apa ya Nona datang ke rumah suamiku? Apakah Nona mengenal Brendan?" tanya Jessica yang merasa aneh saat ada wanita datang mencari suaminya ke rumah dalam keadaan menangis.
"Jadi ka-kamu adalah istrinya Brendan?" tanya Brielle yang untuk pertama kalinya melihat wujud asli Jessica yang memang sangat sempurna, pantas saja Morgan tergila-gila dengannya.
"Iya, Nona. Aku Jessica, istrinya Brendan. Maaf kalau boleh tahu, Nona ada keperluan apa ya dengan Brendan?" tanya Jessica yang semakin penasaran karena pertanyaannya masih belum dijawab oleh wanita yang ada di hadapannya.
Brielle segera mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Jessica. "Aku Brielle. Maaf kalau aku mengganggu waktumu, Jessica. Aku datang ke sini untuk mencari Brendan ya sudah satu bulan ini menghilang tanpa kabar," jawabannya dengan tersedu-sedu, membuat Jessica semakin bingung.
"Okay, lalu kamu ada urusan apa dengan Brendan? Dan apakah kalian sebelumnya pernah saling mengenal?" tanya Jessica dan kembali mengulangi pertanyaannya untuk dijawab oleh Brielle.
"Aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban dari Brendan… Maaf, aku tidak bisa memberitahumu apa tujuanku untuk datang ke sini, karena urusanku adalah dengan Brendan!" jawab Brielle dengan penuh penekanan dan semakin membuat rasa penasaran Jessica kian melambung tinggi.
"Pertanggungjawaban? Ya Tuhan, apa maksud wanita ini meminta pertanggungjawaban dari suamiku? Memangnya apa yang sudah Brendy lakukan padanya?" batin Jessica yang pikirannya semakin tak karuan.
Untuk menjawab rasa penasarannya agar tidak timbul kesalahpahaman, Jessica segera menyentuh kedua lengan Brielle dan mencengkeramnya dengan pelan.
"Brielle, tolong katakan padaku, apa maksud dari perkataanmu yang bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban dari Brendan? Memangnya apa yang Brendan lakukan sama kamu? Brendan adalah suamiku, jadi aku berhak tahu apa yang terjadi di belakangku yang tidak aku ketahui?" tanya Jessica sembari menatap lekat-lekat kedua mata Brielle yang sesekali masih menitikkan air mata.
Brielle menggelengkan kepala berusaha menolak untuk menjawab pertanyaan Jessica. Semakin wanita itu berusaha menutupi, Jessica semakin penasaran dan haus akan jawaban.
"Brielle aku mohon, tolong katakan padaku. Apa yang membuat kamu menangis seperti ini dan mencari Brendan?" tanya Jessica kembali saat wanita itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Yakin kamu mau tahu apa maksud kedatanganku ke sini? Apakah kamu yakin bisa menerima kenyataan yang akan aku sampaikan tentang Brendan? Aku tidak yakin kamu akan kuat mendengarnya, Jessica, maka dari itu aku ingin bertemu dengan Brendan langsung."
"Aku siap mendengar apa pun yang akan kamu katakan, Brielle. Kamu tenang saja, jadi jangan ragu untuk mengatakan apa yang ingin kamu sampaikan pada Brendan!" yakin Jessica tanpa rasa ragu sama sekali karena pikirannya telah ditutupi rasa penasaran yang membuncah.
Jessica sungguh ingin tahu hal apa yang membawa Brielle tiba ke kediamannya di saat hari sudah malam. Ia merasa pasti ada sesuatu hal yang terjadi di belakangnya tanpa ia ketahui, dan kini ia harus tahu tentang siapa Brielle yang tidak pernah Brendan ceritakan padanya.
Melihat Jessica sudah sangat siap untuk mendengar pengakuan darinya, Brielle pun segera membuka tasnya dan langsung mengeluarkan amplop putih yang berisi hasil pemeriksaan kehamilannya.
"Amplop apa itu, Brielle?" tanya Jessica yang sudah tidak sabar untuk mengetahui isi amplop putih yang digenggam oleh Brielle. Akan tetapi wanita itu tampak ragu untuk memberikannya pada Jessica.
"Apa yang ada di dalam amplop itu, ya Tuhan? Kenapa perasaanku berubah tidak enak begini? Apakah yang ada di dalam amplop itu sesuatu hal yang buruk untuk aku ketahui?" batin Jessica yang menunggu dengan perasaan cemas sampai Brielle menjawab pertanyaannya.