Nura adalah anak yang menyenangkan, bisa dilihat dari cara ia berbicara. Nura termasuk anak yang mandiri dan dewasa. Ia masih mengingat semua pesan kedua orang tuanya, dan hebatnya Nura mengerti bahwa ia tidak lagi memiliki mereka. Seharian ini Cleo bersama Nura, tapi tidak dengan Rakka, ia beberapa kali terlihat menerima telepon, ia berbicara dengan ponsel yang menempel di telinga dan tablet yang hidup menghadap ke arahnya. Cleo tidak menyangka, kalau menjadi pengusaha dan pemimpin itu ternyata tidak memiliki waktu luang, sedikit lebih parah dari pada dokter jaga IGD, sedikit, tidak banyak.
Rakka meminta Nura menyebutkan mainan apa yang Nura inginkan, Nura tidak banyak meminta, ia hanya ingin boneka yang memiliki bulu lembut, sehingga enak di peluk. Tidak butuh waktu lama, Rakka tinggal memerintahkan seseorang yang ia hubungi lewat telepon, dan.. sebuah boneka beruang besar datang. Nura terlihat senang.
“Papi Pangeran memang top!” puji Nura bahagia. Nura tidak bisa melihat, tapi ia seperti biasa saja menghadapi keadaan barunya itu. Rakka mengusap kepala Nura lembut, Cleo teringat usapan tangan Rakka tadi saat di koridor rumah sakit. d**a Cleo berdetak, saat mengingatnya.
“Ah, tidaaak, tidak!” Cleo menepuk-nepuk kedua pipinya, agar ia tersadar bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa membuat detak jantungnya lebih cepat. Rakka dan Nura terdiam, Rakka menatap Cleo bingung.
“Ada apa?” tanya Rakka lagi.
Cleo tersadar, ia berdiri dan berlari masuk ke kamar mandi.
“Kenapa dengan Mami dokter?” tanya Nura polos,
“Sepertinya Mami dokter kebelet pipis.” Jawab Rakka santai. Nura mengangguk-angguk. Dalam hati Rakka merasa nyaman bersama Cleo, ia seperti sudah mengenal lama dokter bergaya santai itu. Di dalam toilet, Cleo membasuh wajahnya beberapa kali. Lalu menatap wajahnya di cermin. Ia merasa begitu memalukan. Bisa-bisa nya seorang Cleo terlalu baper hanyak dengan sebuah tindakan bodoh yang menurutnya norak.
“Sadar Cle! Kamu sudah tua! Tahun ini sudah kepala tiga! Kenapa masih baper dengan kejadian seperti di FTV gitu siiiih!” Cleo kembali menepuk-nepuk kedua pipinya yang basah. Semua karena CEO itu. Selama ini tidak ada lelaki yang berhasil membuat Cleo salah tingkah seperti itu. Lelaki mana yang belum pernah mendekati Cleo. Termasuk Manyu. Dia lelaki baik, dokter spesialis anak, idola banyak wanita, dan ibu-ibu yang mengantarkan anaknya berobat. Lalu Radit, dokter umum penjaga bangsal itu juga selalu mau bila ia harus double shift merelakan waktu istirahat nya yang berharga untuk menggantikan Cleo bila Cleo merasa malas berangkat kerja. Radit tampan, baik. Idola perawat wanita dan bidan yang bertugas di bangsal. Ia selalu tersenyum ramah, tulisannya rapih, wangi. Cleo tau, Radit sedang berusaha mengambil hatinya. Namun sama, Cleo merasa Radit hanya lelaki biasa. Sama saja. Cleo tidak ambil pusing dengan usaha mereka mendekati Cleo.
Tok..tok..tok..
Terdengar ketukan pintu kamar mandi beberapa kali.
“Hei, bantu Nura. Ia ingin ke toilet!” panggil Rakka dari luar. Cleo buru-buru membuka pintu. Di hadapannya sudah berdiri Rakka menyandarkan lengan kanannya ke dinding tepat di depan pintu toilet. Cleo mendongak kan pandangannya karena tinggi Rakka jauh di atas Cleo.
Cleo menunduk dan melewati lengan Rakka seperti bermain 'ular naga' saat masih anak-anak. Cleo berusaha mengalihkan pandangannya setiap kali bertemu pandang dengan Rakka.
***
“Permisi, visite* dokter anak ya,” seorang perawat mengetuk pintu beberapa kali sebelum di buka. Pintu terbuka, dua orang perawat dan seorang dokter yang sangat Cleo kenal masuk. Ingin rasanya Cleo bersembunyi di bawah kolong bed pasien Nura, sembunyi dari Manyu yang datang. Ini memang jam visite Manyu.
“Hai, selamat pagi. Saya dokter..”
“Abimanyung.” Sambung Nura berkata lugu, dua perawat di belakangnya berusaha menutup mulut mereka, menahan tawa.
“Abbimanyu, panggil saja dokter,”
“Manyuuu, dokter Manyuu..” sambung Nura lagi kali ini sambil memajukan mulutnya lalu tersenyum manis, Manyu mengusap kepala Nura lembut,
“Nama itu hanya di panggil oleh dua orang wanita yang cantik, salah satunya kamu.” Manyu mencuil ujung hidung Nura. Cleo yang duduk di sofa mengangkat majalah yang ia baca tinggi hingga menutupi wajah. Berharap Manyu tidak melihatnya. Nama Manyu hanya dipanggil oleh Cleo, Manyu tidak menyukai nama akhirnya dipanggil. Seisi rumah sakit, juga saat ia memperkenalkan diri selalu dengan nama dokter Abbi.
Manyu meletakkan stetoskop ke d**a Nura, juga ke perut Nura. Ia mengangguk-angguk.
“Bagus, malam ini suntikan obat terakhir yang akan masuk. Besok, Nura bisa pulang.”
Nura tersenyum sambil mengangguk,
“Pak, anak Bapak besok bisa pulang. Keadaannya semakin membaik.” Ucap Manyu kepada Rakka yang berdiri tidak jauh darinya. Rakka mengangguk dan mengucapkan terimakasih ke Manyu. Dua perawat di belakang Manyu terlihat berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Kemungkinan membicarakan kalau Rakka masih terlihat terlalu muda untuk memiliki anak berusia enam tahun seperti Nura. Atau mungkin juga, mereka tau kalau Rakka bukan ayah kandung Nura.
Cleo terus menutupi wajahnya. Kalau ia sampai ketahuan, berita ini akan tersebar dan pasti akan sampai ke telinga staf IGD. Itu akan menjadi gosip hangat. Cleo tidak suka menjadi bahan gosip. Manyu pamit keluar.
Jari telunjuk Rakka menurunkan majalah yang sedang k*****a.
“Sudah, sudah keluar.” Ucap Rakka, tau bahwa Cleo sedang bersembunyi di balik majalah yang ia pegang.
“Lagi pula, kamu sedang membaca apa?” Rakka menunjuk majalah yang ada di tangan Cleo. Cleo membalik majalahnya, melihat tulisan di cover. Sebuah majalah dengan tulisan aneh. Cleo menyeringai, ia tentu saja tidak tau dan baru sadar kalau majalah ini bukan berbahasa Indonesia. Tadi majalah ini tergeletak di atas tab di meja depan sofa yang Rakka dan Cleo duduki.
“Itu majalahku, majalah bisnis dari Thailand. Kalau kamu mengerti, bagus sekali. Majalah ini bisa membantu mu memperlajari pangsa pasar Thailand.”
Cleo menggeleng lalu meletakkan perlahan majalah milik Rakka.
“Tadi itu pacarmu?” tanya Rakka,
Cleo menggeleng, “lalu?” tanya Rakka lagi.
“Dokter anak.” Jawab Cleo singkat.
“Ooh..” jawab Rakka, “dia yang makan bubur denganmu kan?” tanya Rakka, Cleo mengangguk, tangannya melahap biskuit cokelat yang tersaji di atas meja.
“Untung dia tidak mengenaliku.” Jawab Rakka.
“Hahaha..” tawa Cleo membuat remah biskuit di mulutnya menyembur keluar,
“Kamfhu.. uhuk..” Cleo berbicara dengan mulut penuh. Ia meminum air mineral di atas meja.
“Makanya, kalau lagi makan jangan sambil ngomong..” ejek Rakka.
“Abisnya kamu geer banget sih. Memangnya kamu siapa? Raffi Ahmad? Baim Wong? Sampai di kenal Manyu?”
“Raffi Ahmad? Hah, aku tidak mengenal mereka. Mungkin mereka yang mengenaliku.” Jawaban Rakka tidak lepas dari ucapan congkaknya. Cleo menaikkan alisnya, menahan sabar.
“Oo, jadi kamu perempuan manis selain Nura yang di bilang dokter itu?” tanya Rakka. Tidak menyangka kalau Rakka akan mengingat kalimat yang keluar dari Manyu kepada Nura.
“Iya dong. Harusnya kamu sadar, kalau aku ini manis. Manyu saja mengakui itu.”
“Kamu tidak pantas dengan dia.” Rakka berkata ketus.
"Kenapa?" tanya Cleo heran melihat tingkah Rakka yang seperti salah tingkah.
"Aku bilang, tidak pantas, ya tidak pantas!" jawab Rakka lagi. Kali ini kedua lengannya di lipat ke depan d**a.
“Ih, kok sensi? PMS ya?” ejek Cleo. Wajah Rakka yang putih memerah, ia seperti udang rebus. Wajahnya menjadi oranye. Cleo memukul pundak Rakka dengan bantal di atas sofa.
“Mami, Papi..” suara Nura memanggil. Cleo dan Rakka berhenti. Mereka langsung menatap Nura yang sedang menunduk. Rakka dan Cleo diam..
“Papi pangeran, Mami dokter. Jangan jauh-jauh dari Nura.. Di sini sepi sekali.. gelap. Kalau mami dan papi pulang, sepi sekali.”
Rakka dan Cleo saling tatap mendengar ucapan Nura. Cleo bangun, dan menghampiri Nura. Cleo duduk di pinggir tempat tidur Nura lalu memeluk Nura lembut. Cleo tidak bisa memberikan jawaban pasti. Karena tetap di rumah sakit menemani Nura apalagi bersama Rakka adalah hal yang tidak mungkin.
“Setelah di perbolehkan pulang, Papi sudah menyiapkan kamar yang nyaman untuk Putri Nura.” Air wajah Nura berubah, ia bisa sedikit tersenyum mendengar itu.
Cleo menatap Rakka dalam. Lelaki ini sepertinya serius ingin merawat Nura. Tidak disangka ternyata benar, Rakka memiliki rasa sosial yang tinggi. Walaupun dia sering menyebalkan tapi Rakka memiliki kebaikan yang Cleo masih ingin tau yang lainnya. Selain cerita dari Mang Dadang dan perlakuannya ke Nura, Cleo masih ingin tau tindakan sosial lain yang Rakka lakukan.
“Tapi, Mami dokter ikut ya?” tanya Nura lagi.
“Hm.. Tan..” Cleo menghentikan ucapannya ketika pelototan mata Rakka yang mengarah ke arahnya, mengisyaratkan kalau Cleo harus menyebut dirinya Mami, “Hm.. Ma-Mami.. harus menolong banyak orang di rumah sakit, Nura.” Sambung Cleo terbata. Lidahnya tidak terbiasa memanggil dirinya sendiri, Mami.
“Lagi pula, Mami dan Papi tidak bisa berlama-lama dekat. Karena kami sering berantem.” Jawab Cleo asal. Rakka kembali memelototi Cleo yang memicingkan senyumnya.
“Tidak apa-apa. Mami dan Papi Nura dulu juga sering berantem. Papi sering pukul Mami pakai sapu. Papi juga sering lempar-lempar ke Mami sampai mulut Mami berdarah.”
Cleo dan Rakka saling tatap. Entah apa yang kami fikirkan saat itu. Seorang gadis kecil berusia enam tahun, menceritakan kekerasan yang ia saksikan di rumah. Cleo atau pun Rakka tidak bisa menanggapi ucapan Cleo.
“Tapi, Nura tau, Papi pangeran dan Mami dokter berantemnya hanya main-main. Nura tidak takut.” Sambung Nura kecil. Cleo kembali memeluk Nura erat.
***
*kunjungan tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya ke pasien rawat inap.