Jam kerja sudah selesai. Kriss berjalan ke arah messnya dan istirahat sejenak. Penelitian hari ini hampir saja berhasil hanya saja ada beberapa kesalahan yang tidak ingin ia singgung. Dirinya hanya perlu memikirkan cara untuk membuat alat ajaib untuk menangkap makhluk-makhluk itu dan membalaskan dendam yang selama ini ia simpan di dalam hati. Dendam yang tidak akan pernah bisa dihentikan oleh siapapun.
Kriss mengambil tasnya dan melihat kembali gambar-gambar yang ada di dalam tasnya itu. Gambar bendungan Anastasius dari sudut game dan juga aslinya.
Mengingat bendungan Anastasius, tentu saja Kriss penasaran dengan orang yang hilang waktu itu. Apakah sudah ketemu?
Kriss menatap ke arah tangannya, banyak yang bilang jika dirinya sebenarnya memiliki kekuatan yang tidak bisa diketahui oleh siapapun. Mereka mengatakan hal itu karena tahu jika dirinya bisa menciptakan sesuatu yang tidak bisa dibuat oleh orang lain.
"Kalau benar seperti itu, tolong bantu aku sekali saja untuk membuat alat itu." Kata Kriss seraya memejamkan matanya, memohon agar tangan ajaibnya itu bisa menolongnya dalam balas dendam.
Tiffany masuk ke dalam kamar Kriss bersamaan dengan laki-laki itu yang berdoa dengan memejamkan matanya, membuat Tiffany tersenyum tipis saat melihatnya.
"Katakan saja nak, saya pasti akan membantunya." Kata Tiffany seraya menirukan suara orang tua yang pernah ia dengar di dari televisi itu.
Kriss yang mendengar suara orang lain pun langsung mendongak, menatap ke arah Tiffany yang tengah tertawa lebar itu. Menertawakan dirinya yang baru saja bersikap bodoh di depan wanita itu.
"Sudah jangan stress lagi, ayo keluar. Aku tidak mengajak tapi memaksa." Kata Tiffany seraya berjalan ke arah almari kecil milik Kriss untuk mencarikan baju yang cocok untuk laki-laki itu.
Kriss pun hanya terdiam, membiarkan Tiffany mengobrak-abrik bajunya yang sudah ia tata rapi itu.
"Apa kamu tidak punya baju lain? Bajumu hanya ada tujuh potong?" Tanya Tiffany tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Jelas-jelas di dalam almari milik Kriss itu hanya ada lima kemeja putih yang biasa dipakai laki-laki itu saat bekerja, dan yang dua adalah kaos biasa yang sering dipakai oleh Kriss.
Tiffany menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kenapa juga dirinya tidak menyadari hal itu selama ini? Padahal dirinya cukup dekat dengan laki-laki itu. Sepertinya dirinya terlalu cuek dan hanya fokus pada wajah tampan Kriss hingga melupakan fakta tentang ini semua, tentang Kriss yang ia dekati itu hanyalah seorang laki-laki yang tidak punya apa-apa.
"Kamu mandilah dulu, lalu pakai baju apapun." Kata Tiffany memerintahkan Kriss untuk bersiap.
"Aku tidak akan pergi, aku memiliki kesibukan sendiri di sini." Jawab Kriss yang langsung saja membuat Tiffany kesal saat mendengarnya.
"Jangan buat aku paksa kamu ya Kriss, lagi pula kita keluar juga tidak setiap hari. Lusa udah weekend kamu bebas mau ngapain aja." Kata Tiffany lagi dengan kesal.
Kriss tidak membalas, tidak juga beranjak dari tempatnya. Membuat Tiffany kesal dan menghampiri Kriss.
Tiffany duduk di depan Kriss dan menggerakkan tangannya untuk membuka kancing kemeja Kriss satu persatu. Kriss hanya diam, matanya menatap ke arah Tiffany yang begitu serius saat melakukannya.
"Kamu tahu apa yang kamu lakukan saat ini?" Tanya Kriss seraya menghentikan gerakan tangan Tiffany yang ingin membuka kancing bajunya yang ke empat.
"Aku sadar Kriss, aku sadar. Kalau kamu masih menolak untuk berdiri, aku juga nggak keberatan kalau harus mandiin kamu. Sekalian kita mandi barengan dan enak-enak." Jawab Tiffany yang langsung saja membuat Kriss melepaskan tangan Tiffany dari bajunya dan berdiri untuk meninggalkan Tiffany mandi.
"Gitu aja sampai harus ngancam main bareng," gerutu Tiffany yang tidak disahuti oleh Kriss.
Setelah melihat Kriss masuk ke dalam kamar mandi, Tiffany pun bangun dari duduknya dan berjalan meninggalkan kamar Kriss. Dirinya juga harus mandi dan bersiap, sebelum nanti dokter Anya menghubunginya atau bahkan sampai mencarinya.
Setengah jam berlalu, Kriss sudah siap dengan pakaian santainya, saat ini Kriss tengah menunggu di depan kamar Tiffany yang masih belum keluar rumah juga.
Suara pintu kamar yang terbuka membuat Kriss menoleh, Kriss pikir yang keluar kamar adalah Tiffany, tapi nyatanya Anto. Kamar laki-laki itu memang berada tepat di samping kamar tidur Tiffany, berbeda dengan kamarnya yang jauh dipojokkan.
"Mau ke mana?" Tanya Anto seraya menatap intens ke arah Kriss yang rapi itu.
"Keluar." Jawab Kriss seadanya.
Pintu kamar Tiffany yang terbuka membuat Anto menoleh, menatap ke arah Kriss dan juga Tiffany secara bergantian.
"Kalian mau kencan?" Tanya Anto sedikit ragu.
Pasalnya tidak mungkin juga Kriss tidak sadar akan tempatnya. Mau dilihat dari sudut pandang manapun, laki-laki itu tidak akan pernah cocok jika disandingkan dengan Tiffany yang seorang putri itu. Bukan hanya putri, tapi Tiffany adalah calon penerus keluarganya.
"Menghabiskan uang," jawab Tiffany yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Anto.
"Aku pikir kencan, jika iya pasti dia tidak tahu diri banget. Laki-laki miskin mau mendekati seorang putri." Kata Anto dengan terus terang.
"Dia punya wajah yang tampan, setidaknya bisa di pakai buat pamer. Jadi kalau dia mau aku juga nggak masalah." Balas Tiffany yang langsung saja berjalan mendekati Kriss dan memeluk lengan tangan Kriss dengan erat.
"Serasi bukan? Aku cantik dia tampan. Setidaknya meskipun dia tidak punya uang, dia bisa untuk di ajak memperbaiki keturunan." Lanjut Tiffany lagi yang langsung saja membuat Anto terdiam saat mendengarnya.
Tentu saja Anto sadar, selama ini Tiffany selalu menganggap dirinya buruk rupa. Meskipun begitu, tetap saja wanita itu masih membutuhkan dirinya untuk berteman.
"Sudahlah kalian pergi saja, membuat telingaku panas saja." Kata Anto yang langsung saja mengusir Tiffany dan juga Kriss untuk pergi.
Tiffany pun tidak berpamitan lagi pada Anto, memilih untuk menarik lengan Kriss dan membawa laki-laki itu keluar dan menjauhi Anto yang hanya menatap iri itu.
Dengan wajahnya yang buruk rupa, tentu saja dirinya hanya bisa mendapatkan tante-tante yang kurang belaian, benar-benar menyebalkan.
Tiffany pergi keluar dan menemui dokter Anya yang sudah menunggu di pintu depan itu. Dokter Anya juga terlihat cantik dan lebih muda tanpa setelan dokternya.
"Kita ke mall dulu ya, beli beberapa pakaian ganti." Kata Tiffany memberitahu dokter Anya.
"Terserah, yang pasti malam ini aku mau keluar." Jawab dokter Anya yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Tiffany.
Ketiganya berjalan ke arah mobil dan masuk ke tempatnya masing-masing. Saat ini Tiffany yang mengemudikan mobilnya, di sampingnya ada Kriss yang duduk dengan tenang itu. Lalu di kursi belakang ada dokter Anya yang juga diam saja.
Tiffany melanjukan mobilnya dengan cepat, membiarkan keduanya fokus ada pikirannya masing-masing.
Kriss menatap ke arah jalanan yang cukup ramai, lampu jalanan yang menyala membuat Kriss merasa lebih nyaman dan juga mengantuk. Sudah berapa hari dirinya tidak tidur karena memikirkan rencana balas dendamnya?
Kriss memilih untuk memejamkan matanya dan mendengarkan lagu yang baru saja diputar oleh Tiffany. Setidaknya dirinya akan merasa lebih baik setelah tidur nanti.
Selama perjalanan berlangsung, Kriss pun benar-benar tidur dan tidak bisa menahan kantuknya. Bagaimanapun juga Tiffany juga membiarkan karena Tiffany tahu betul bagaimana Kriss yang tidak banyak istirahat beberapa hari ini. Dirinya yang suka insoman aja sekarang lebih mudah tidur saat bersama dengan Kriss, seolah-olah penyakitnya itu berpindah pada Kriss yang jarang tidur itu.
Tbc