MASIH TENTANGMU
- Pertemuan
Gama masih gelisah di ruangannya. Menatap gerimis dari balik kaca jendela. Hari sudah beranjak senja. Suasana temaram dan di luar sana lampu jalanan sudah menyala.
Rasa yang menggelegak dalam d**a membuat tubuh tegapnya terasa gemetar dan tak bertenaga. Foto Deandra dan dokter Angkasa yang dikirim Alita sangat mengusiknya. Pesan yang dikirim pada Dea juga belum di balas. Ia bertanya tentang Antika. Ingin menelepon dan mengajak anaknya bicara, supaya ia juga bisa bicara dengan Dea. Pasti dia sudah pulang kerja.
Gegas diraihnya ponsel di atas meja yang berpendar. Bukan dari Dea, tapi dari Alita.
[Sudah pulang, Mas?] Ini pesan kesekian yang dikirim oleh tunangannya.
[Masih di kantor.]
Gama kembali meletakkan ponselnya. Dalam hitungan detik, ponsel kembali berpendar, tapi ia abaikan.
Laki-laki itu duduk lantas menyesap kopinya yang sudah dingin. Dilihatnya jam tangan. Sudah pukul lima sore. Kantor sudah sepi. Hanya ada dirinya dan seorang satpam yang berjaga di luar. Rasanya enggan untuk pulang. Tempat yang hening paling ia sukai dalam kondisi pikiran kalut begini.
Denting ponsel kali ini mengusik perhatiannya. Dari layar notifikasi, tertera nama Deandra. Gama langsung duduk tegak dan membuka pesan.
[Maaf, aku baru nyampe di rumah, Mas. Antik lagi nonton kartun di tabletnya.]
Gama segera melakukan video call, tapi ditolak oleh Dea. Kali kedua juga di reject. Kenapa? Ada satu pesan masuk.
[Jangan video call, aku sedang ada di kamar.]
Oke, Gama melakukan panggilan suara.
"Halo, Assalamu'alaikum." Suara Dea terdengar.
"Wa'alaikumsalam."
Terdengar Dea memberikan ponselnya pada sang anak. Memberitahu kalau dirinya ingin bicara dengan Antika. Biasanya langsung diterima, tapi kali ini terdengar di latar belakang, Antika menolak. Dea membujuk, tapi Antika tetap bilang tidak mau. Masih marah agaknya.
"Antik nggak mau ngomong, Mas."
"Dia bilang apa?"
"Antik nggak mau ngomong sama papa."
Hening. Gama makin pilu jadinya.
"Baiklah. Aku ke situ sekarang."
Tanpa menunggu jawaban Gama mengakhiri panggilan, kemudian bangkit dari duduknya. Ibu dan anak ini sekarang membuatnya kelimpungan. Antika tidak pernah mendiamkannya. Kalau ia telat menjemput pun gadis kecilnya tidak pernah marah. Lalu sejauh mana yang ia paham tentang ibu baru hingga membuatnya semarah itu?
Lalu Dea yang ketemuan dengan dokter Angkasa. Ini sungguh mengganjal di perasaannya.
Hujan masih lebat saat Gama keluar kantor. Setelah bicara dengan satpam, Gama berlari menuju mobilnya yang terparkir di sebelah barat gedung. Parkiran khusus untuk pimpinan perusahaan.
Jalanan tidak begitu ramai dalam kondisi hujan begini. Biasa liar menaklukkan jalanan, membuat Gama tidak butuh waktu lama untuk segera sampai di rumah. Cepat-cepat mandi, memakai kaus dan jaket lantas pergi lagi.
Pintu pagar rumah Dea perlahan terbuka setelah ia membunyikan klakson. Mbak Sri menantinya di depan garasi dengan membawakan payung.
"Makasih, Mbak," ucap Gama setelah menerima payung dari wanita itu.
"Sebentar saya panggilkan Mbak Antik," ucap Mbak Sri setelah melipat kembali payung yang diulurkan Gama.
"Sepi ya, Mbak? Om dan Tante ke mana?"
"Bapak sama Ibu ada acara di luar, Mas. Ada undangan dinner katanya. Di rumah cuman ada Mbak Dea dan Mbak Antik. Mari silakan masuk!"
Gama duduk menunggu di sofa ruang tamu. Hening. Cukup lama menunggu, hingga Dea yang memakai piyama lengan panjang menuruni tangga.
"Antik ngambek, Mas. Dia nggak mau turun." Dea bicara di anak tangga paling bawah. Mereka berpandangan sejenak sebelum Dea mengalihkan perhatian. Sepasang mata laksana milik burung elang itu selalu menusuk jantungnya terlalu dalam. Tatapan mata yang membuatnya jatuh cinta. Bahkan pendarnya masih terasa hingga sekarang.
"Antik lagi ngapain?"
"Masih nonton kartun."
"Bisa kutemui." Gama tidak bisa anaknya terus-terusan diam. Antik tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Dia di kamarku."
Gama yang sudah berdiri terpaku. Tidak mungkin Dea akan mengizinkannya masuk ke kamarnya.
"Aku nggak akan masuk kamar. Akan kupanggil Antik dari depan pintu."
Dea mengangguk. "Mas, naiklah. Kutunggu di sini!" Dea melangkah dan duduk di sofa ruang keluarga. Antara ruang tamu dan ruang keluarga terpisah oleh sekat dinding dan anak tangga menuju lantai dua berada di antara kedua ruangan itu.
Mbak Sri keluar dari dapur membawakan segelas teh panas dan menaruhnya di meja ruang tamu. Di sebelah kunci mobil milik Gama.
"Antik," panggil Gama seraya mengetuk pintu kamar dengan pelan.
Hening.
"Antika, papa di sini, Sayang!"
Masih tidak ada respon.
"Sayang, kita ke HEHA, yuk!"
Tetap sama. Antika yang biasa sangat bersemangat saat nama tempat itu disebut, kini masih diam.
Gama masih berdiri tegak di depan pintu. Aroma pewangi ruangan itu masih sama seperti dulu. Kamar di depannya itu adalah tempatnya menghabiskan waktu dengan Dea saat mereka menginap di rumah sang mantan mertua. Ada rasa nyeri menusuk dadanya. Kenangan indah berkelindan di memorinya. Ternyata ia masih menyimpan semuanya dengan baik. Lalu kenapa ia tidak berjuang dan hanya diam. Apa menunggu Dea kembali memohon padanya? Sebab Dea-lah yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Perlahan pintu terbuka dari dalam. Muncul wajah imut yang kaget saat melihat Gama. Dipikir Antika, sang papa sudah pergi dari sana.
"Sayang, sini!" Gama berjongkok dan meraih gadis kecil yang tengah memeluk kuda poni.
Antika nurut dalam pelukan papanya.
"Antik nggak mau punya mama baru. Mama baru teman Antik nggak sayang sama teman Antik. Dia mama baru yang jahat." Gerutu gadis kecil itu sambil terus memeluk kuda poninya.
Ternyata benar. Permasalahan yang tidak selesai tadi pagi yang masih membuat Antika diam.
Jiwa Gama tersentil. Pernahkah selama beberapa bulan ia dan Alita bersama, gadis itu bertanya atau membahas tentang Antika?
"Tapi papa barunya sangat sayang katanya."
Oh, d**a Gama terasa sesak. Terbayang wajah ramah dari dokter Angkasa. Senyumnya yang menawan saat memandang penuh perhatian pada Dea di foto yang dikirimkan oleh Alita. Gambar yang menyakiti Gama sekarang.
Hening. Gama memeluk erat putrinya. Menciumi pipi lembut dan rambut Antika yang wangi.
"Kita jadi ke HEHA, Pa?"
"Ya. Kita pergi sekarang."
Antika langsung berdiri dan tersenyum senang memandang sang papa. Soal mama baru sudah diketepikan.
"Antik, ambil jaketnya dulu. Di luar dingin," perintah Gama.
Bocah perempuan itu berlari masuk ke dalam kamar.
"Aku nggak bisa ngambil, Pa," teriaknya dari dalam.
Gama terpaksa masuk dan mengambilkan jaket warna pink yang ada di standing hanger pojok kamar. Ia menghirup aroma pewangi ruangan yang masih sama. Aroma mint kesukaannya. Kenapa Dea tidak memakai pengharum ruangan wangi vanila kesukaannya sendiri. Justru masih memakai aroma mint kegemarannya?
Ada rasa yang menyusup sangat halus ke dalam relung sanubari. Kenapa ia baru peduli dengan hatinya sendiri sekarang? Setelah Dea ada yang ingin mendekati.
"Ayo, Pa!" Antika menarik tangan sang papa keluar kamar. Mereka bergandengan tangan menuruni tangga.
"Mau ke mana?" tanya Dea heran melihat Antika memakai jaketnya.
"Ke HEHA, Ma. Ayo, mama ikut!" Antika menghampiri sang mama