Pertemuan 2

1000 Kata
Dea memandang laki-laki berpostur tinggi di hadapannya. Kemudian kembali memandang Antika yang masih memondong kuda poni kesayangannya. Ke mana pun pergi, benda itu tidak boleh tertinggal. Sudah terlihat kumal dan buruk rupa, tapi tetap tidak mau diganti dengan yang baru. Meski ada yang lain, tapi ke mana-mana kuda poni itu yang dibawanya. "Ini lagi hujan. Mau lihat apa di sana kalau hujan begini." "Pokoknya mau ke sana. Antik mau beli es krim sama mainan." "Nggak harus ke sana sekarang. Mama bisa nganterin Antik besok atau lusa, pas nggak hujan." "Papa ngajak sekarang," jawab gadis kecil itu sambil menoleh ke arah Gama. "Ya sudah, Antik pergi berdua dengan papa saja, ya?" Antika menggeleng. "Nggak mau. Mama, juga harus ikut." Lihatlah, keras kepalanya Gama diturunkan pada anaknya. Semoga Gama bisa bercermin, bagaimana sifatnya ada pada putri kecil mereka. "Ayo, Ma!" rengek Antika kemudian berlari ke ruang tamu. Kalau sudah seperti itu, tidak bisa diganggu gugat lagi keinginannya. Apalagi ada dukungan dari sang papa. "Ayolah! Kita pergi sebentar." Gama bicara sambil memandang Dea. "Aku nggak bisa. Mas, pergi saja sama Antik." "Kenapa?" "Kamu ini kan sudah jadi tunangan orang sih, Mas. Bahkan kalian udah mau nikah. Kita memang orang tuanya Antik. Tapi sekarang ada batasannya. Aku nggak mau timbul masalah. Aku nggak mau ada fitnah." Dea bangkit dari duduknya kemudian melangkah menghampiri putrinya. Gama yang merasakan perihnya dalam d**a, mengikuti ke ruang tamu. Dea sekarang menghindarinya, entah karena sudah terpikat pada dokter Angkasa atau dia merasa tidak enak karena sudah tahu hubungannya dengan Alita. Padahal sebelum ini, Dea tidak pernah menolak diajak pergi bertiga. Dia selalu bersedia dan gembira. "Antik, buruan pergi sama papa saja. Nanti keburu tutup HEHA-nya," bujuk Dea. Namun spontan sang anak menggeleng. Gama menggendong Antika. "Kutunggu di mobil, De. Lagian hujan sudah mulai reda." Gama bergegas keluar bersama Antika dalam gendongannya. Terpaksa Dea bangkit dari duduknya dan pamitan pada Mbak Sri. Tak perlu ganti baju. Piyama warna ungu tua itu pantas dipakai keluar. Toh di sana juga nggak bakalan lama. Sekarang sudah jam berapa, sedangkan HEHA tutup jam sepuluh malam. Dea hanya sempat mengambil ponselnya di meja ruang keluarga. Antika terlihat bahagia karena bisa pergi bertiga lagi, meski sang mama memilih duduk di bangku tengah. Senyumnya tak lekang dari bibirnya yang mungil. Tak bosan dia bercerita sepanjang perjalanan. Persis seperti mamanya. Dea juga periang. Dulu tidak bosan cerita pada Gama tentang apapun, tentang bayi mereka, tentang film rilisan terbaru atau apapun yang ada di persekitaran mereka. Meski Gama yang memang tidak banyak bicara, hanya menanggapi sekedarnya. Ketika sampai di tempat tujuan, hujan sudah berhenti. Antika melenggang penuh kebahagiaan sambil mendekap kuda poni kesayangannya. Dea tidak bisa membayangkan, perubahan Antika nanti setelah tahu papanya punya istri lagi. Perempuan lain yang harus dipanggilnya mama. Mereka bertiga memandang kelap-kelip lampu kota Jogjakarta dari ketinggian. Menikmati hawa yang terasa sangat dingin. Dea seharusnya membawa jaket tadi. "Mau pakai jaketku?" tanya Gama seraya melepaskan jaketnya. Dea menggeleng. Lantas menggeser agak menjauh. Sok fokus memperhatikan sesuatu dan membiarkan Gama bersama putri mereka. Dia sendiri memandang di kejauhan. Pada ribuan lampu-lampu di bawah sana. Menjaga jarak lebih baik. Daripada ia dibuat susah oleh perasaannya sendiri. Sekarang Dea tengah berjuang menghapus rasa dan mengobati luka atas kenyataan tentang hubungan Gama dan Alita. Andai saja Gama bersama perempuan selain gadis itu. Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Jika dibilang Alita pagar makan tanaman, tapi ia dan Gama sudah bercerai lama. Namun sungguh menyedihkan juga karena Alita yang menjadi teman curhatnya selama ini. Lalu diam-diam menjalin hubungan dengan lelaki yang masih ia cintai. Gama yang menggendong Antika, menghampiri Dea dan mengajak mereka makan. Selama menikmati makan malam, Dea tidak banyak bicara. Menjawab sekedarnya saja jika diajak Gama bicara. Selesai makan mereka keliling menikmati suasana malam. Di mana dulu tempat itu menjadi destinasi favorit untuk menikmati akhir pekan mereka jika tidak ada rencana ke luar kota. "Antik, habis ini kita pulang, ya. Besok kamu sekolah!" kata Dea setelah melihat jam digital di ponselnya. "Iya, Ma." Antika memilih dua kuda poni dan sandal jepit sebelum mereka pulang. Dea sempat melarang, tapi Gama tidak mempermasalahkan. "Biar saja, dia masih kecil. Ada waktunya nanti akan bosan dengan mainan seperti ini." Dalam perjalanan Antika tertidur. Biasanya jam sembilan malam memang anak itu sudah tidur. "Apa yang dikatakan Antik, nggak usah terlalu dipikirkan, Mas," kata Dea setelah mobil memasuki halaman rumahnya. "Tentang apa?" "Tentang mama baru." Gama terkesiap. Rupanya sang anak sudah bicara dengan mamanya. "Antik belum ngerti. Nanti seiring usianya bertambah, dia akan bisa memahami dan menerima." Selesai bicara, Dea langsung turun dan membuka pintu depan. "Biar aku yang gendong dia masuk," cegah Gama yang sudah berdiri di belakang Dea. "Nggak apa-apa, aku bisa." Dea memaksakan diri menggendong Antika yang tertidur. Berat tentu saja. Anaknya makin tembam, sedangkan dirinya tetap ramping. Bahkan berat badannya sempat turun akhir-akhir ini. Pintu utama di buka oleh Mbak Sri. Gama masih mengikuti hingga di ruang tamu. Khawatir Dea tidak sanggup mengangkat anaknya. Sampai dalam rumah, Antika terbangun. Dea mengajaknya duduk sebentar di sofa. Lalu menyuruh anaknya salim pada Gama. Laki-laki itu pergi, setelah Dea dan Antika menaiki tangga. Kenapa Dea bicara seperti tadi? Apa dia benar-benar sudah ikhlas karena ada dokter Angkasa? Gama tidak langsung pulang, melainkan ke gym tempat biasa dia olahraga dan beberapa rekannya berkumpul. Dia tidak seperti Saga yang terbatas pertemanannya. Gama ini berkawan dari segala kalangan. Begitulah, setiap insan ada kekurangan dan kelebihannya. Dia ingin berolahraga sejenak. Kalau kecapekan akan lebih cepat bisa tidur. Sebenarnya di rumah juga ada beberapa alat fitness. "Dari mana, Bro?" tanya lelaki berperawakan kekar yang menghampirinya. Dia pemilik tempat itu. Agam. "Ngajak Antik keluar sebentar." "Kapan rencanamu mau nikah?" Gama tidak menjawab. Dia turun dari alat treadmill dan duduk di sebelah temannya. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. "Aku kenal kamu sejak kita sama-sama masih SMA, Bro. Aku tahu hatimu sebenarnya masih milik Dea. Kamu terlalu egois untuk mengakuinya. Lakukan sesuatu sebelum kamu menyesal seumur hidupmu." Mendengar ucapan temannya, Gama diam. Memperhatikan lurus ke depan. Hingga pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang baru muncul dari pintu kaca. Next ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN