"Oh," jawab gadis itu singkat. Apa mungkin Dea diam karena anaknya sakit? Apa Gama sudah tahu kalau Antika sakit?
Siang itu kebersamaan mereka terasa berbeda. Biasanya berbincang penuh keakraban, tapi sekarang terasa asing. Dea tidak bisa membohongi diri sendiri, ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan kenyataan yang kini dihadapi.
"Aku dengar kamu udah tunangan, Lit?" Mendadak Hani bertanya yang membuat Alita terkejut. Gadis itu memandang kedua rekannya bergantian.
"Iya, dua bulan yang lalu," jawab Alita.
"Kenapa kami nggak tahu. Kamu juga menyimpan kabar bahagia ini dari kami. Justru rekan-rekan yang lain lebih tahu, sedangkan kami yang sering bersamamu malah belum tahu sama sekali" tanya Hani senatural mungkin. Seolah belum tahu dan curiga apa-apa.
Alita tersenyum. "Maaf, sebenarnya aku memang nggak ngasih tahu ke siapa-siapa. Aku juga nggak tahu mereka tahu dari mana. Nanti saja kalau nikahan aku kabari kalian."
"Oh, gitu ya," ujar Hani dengan tatapan menyelidik. Alita sebenarnya sangat terasa dengan tatapan itu. Namun bukan Alita jika tidak bisa bersikap bodo amat. Datang ke Kafe Kasturi dengan santainya saja dia bisa, apalagi ini hanya sekedar tatapan Hani yang tak berarti apa-apa.
Sedangkan Dea masih diam menikmati makanan di piringnya. Dia tidak bisa berpura-pura untuk bertanya, siapa lelaki yang telah melamar Alita.
Makan siang berlalu tanpa canda seperti biasanya. Alita menduga diamnya Dea karena tengah memikirkan anaknya yang sakit. Namun terbesit juga dugaan bahwa Dea mungkin sudah tahu kalau dirinya ada hubungan dengan Gama.
***L***
Langkah Dea tercekat di tangga teras sebuah rumah makan. Terlihat jelas di dalam sana ada Alita yang tengah asyik menikmati makan malam dengan Gama.
Walaupun dalam seminggu sudah mendengar kabar itu, tapi malam ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka duduk berhadapan menikmati hidangan.
Terasa bagaikan kembali tumbang ke dasar jurang. Jatuh oleh perasaannya sendiri. Dea berbalik. Mengurungkan niatnya untuk membeli titipan dari sang mama. Gurame bakar.
Dea kembali masuk ke dalam mobil. Terdiam beberapa saat untuk menenangkan perasaannya. Lantas meluncur pergi mencari restoran lain yang menyediakan gurame bakar. Walaupun sampai rumah mamanya pasti protes, karena gurame favoritnya bukan dari restoran langganan.
Pantas saja Gama tidak mengabari hendak mengambil Antika. Rupanya ada kencan dengan Alita.
Waktu Antika sempat sakit panas selama tiga hari, Gama juga tidak datang atau menanyakan lewat telepon. Apa Alita tidak memberitahunya?
Untuk apa memberitahu? Tidak ada hubungannya kan? Atau sebenarnya diberitahu tapi Gama tidak punya waktu untuk datang atau bertanya kabar. Sedangkan Dea sendiri juga tidak mengabari Gama.
Bukan masalah sebenarnya. Toh Dea sudah terbiasa mengurus Antika sendiri semenjak berpisah dengan Gama. Dia hanya sekedar ingin tahu, Alita cerita apa tidak pada Gama. Sebenarnya Dea tidak sendirian mengurus putrinya. Sebab kedua orang tua juga turut merawat sang cucu. Pak Dedi telah purna tugas dua tahun yang lalu sebagai seorang dosen. Sementara Bu Wetty masih mengajar di kampus meski jadwalnya tidak sepadat dulu.
Dea langsung pulang ke rumah setelah mendapatkan gurame bakar. Mereka makan malam hanya bertiga. Mbak Sri tadi siang izin pulang dan besok pagi baru kembali.
Sedangkan Rizal, satu-satunya kakak lelaki Dea yang sudah berumah tangga dan tinggal terpisah, sudah seharian tadi di rumah papanya. Malam ini mengajak keluarganya ke Solo untuk berkunjung ke rumah mertuanya dan Antika diajak juga.
"Dea, ponselmu bunyi itu. Siapa tahu kakakmu yang nelepon," ujar Bu Wetty memberitahu putrinya saat mendengar dering ponsel Dea yang ada di meja ruang keluarga.
Dea yang sudah selesai makan bangkit dari duduknya dan bergegas meraih benda pipih itu. Rupanya Gama yang menelepon.
"Halo, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. De, sejam lagi aku mau jemput Antik."
"Antik nggak ada di rumah, Mas. Dia ikut Mas Rizal ke Solo," jawab Dea.
"Kapan?"
"Asar tadi berangkat."
"Sebenarnya aku mau ngajak Antik nginap di rumah kakeknya. Kebetulan sepupunya pada menginap di sana malam ini. Keluarga Mas Damar datang dari Jakarta sore tadi. Kapan Antik pulang?"
"Besok."
"Kalau besok sampai rumah, kabari aku ya. Nanti kujemput.
"Ya."
"Sekalian sama kamu. Mbak Astrid ingin bertemu sama kamu."
"Mas jemput Antika saja. Sampaikan salamku buat Mbak Astrid. Maaf, aku nggak bisa ikut."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Tapi aku nggak akan ngabari kalau Antik sampai rumah sudah malam. Udah ya, Mas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tidak ada niat memutuskan silaturahmi. Sementara ini memang lebih baik menjaga jarak, sampai ia siap berhadapan lagi dengan mereka. Sebaik apapun hubungannya dengan istri dari kakaknya Gama, tapi sebentar lagi akan hadir ipar baru. Dan itu teman Dea sendiri. Dia butuh waktu menyesuaikan kondisi hatinya, sampai kembali mampu bersikap seperti biasanya.
***L***
"Ma, aku mau takziah," pamit Dea di Minggu siang pada sang mama yang tengah duduk menonton acara TV.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Siapa yang meninggal?"
"Manajerku, Ma. Barusan aku dikabari sama Hani."
"Kamu pergi bareng Hani?"
"Iya."
"Ya sudah, hati-hati."
Dea mengangguk lantas bergegas pergi untuk menjemput Hani lebih dulu.
Lalu lintas mulai padat dengan aktivitas kendaraan yang hendak membawa keluarga menghabiskan akhir pekan di luar.
Mobil yang dikendarai Dea berhenti di depan sebuah sebuah rumah yang sudah ramai oleh para pelayat. Tampak ada beberapa rekan kantor yang sudah sampai di sana.
Setelah membenahi jilbabnya, Dea turun bersamaan dengan Hani. Kemudian memasuki halaman rumah duka dan menyampaikan ucapan bela sungkawa pada keluarga atasanya. Lantas mereka bergabung duduk di tenda bersama rekan-rekan yang lain.
"Dea, itu mobilnya Gama, kan?" Hani memandang ke arah mobil hitam yang baru saja berhenti di luar pagar.
"Iya" jawab Dea kemudian mengalihkan perhatian ke arah lain. Hani masih memperhatikan hingga Alita turun dari mobil.
Next ....