Masih Tentangmu
- Deandra
"Hai, Dea," sapa Alita yang melewati meja kerja Deandra Senin pagi itu.
Gadis itu tersenyum sekilas pada Dea. Padahal biasanya mampir sejenak untuk ngobrol atau sekedar bertanya sudah sarapan apa belum.
Dea pun hanya memandang sejenak, karena Alita langsung duduk di meja kerjanya. Jika empat hari yang lalu, sebelum gadis itu mengambil cuti, perasaan Dea masih biasa. Sekarang sangat berbeda.
Kalau boleh meminta, dia tidak ingin bertemu gadis itu. Namun bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Jika menunjukkan kalau dia kuat, butuh mengorbankan perasaan dan berusaha terlihat baik-baik saja. Apa Dea bisa?
Padahal semalaman dia sudah banyak merenung. Untuk apa cemburu, untuk apa marah. Toh itu hak mereka untuk bersama. Walaupun Alita sebenarnya tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama.
Namun apa haknya untuk meminta Alita menjaga perasaannya. Dia siapa? Hanya mantan yang sudah dilupakan. Sekarang hanya perlu meyakinkan diri, bahwa semua pasti bisa dilewati. Segalanya akan baik-baik saja setelah ini.
"Yeay, yang baru pulang kencan. Mana oleh-olehnya nih!"
Terdengar seorang rekan menggoda Alita. Disambut rekan lain menimpali. Mereka terdengar tertawa lirih.
"Siapa sih, cowokmu? Jadi penasaran kami."
"Ih, kau ini kepo. Tunggu saja undangannya. Iya kan, Lit?"
"Kudengar kalian dah tunangan dua bulan yang lalu. Hebat ya, rapet banget ngerahasiainnya. Sampe kami nggak ada yang tahu sama sekali."
"Dari mana kalian tahu?" Baru terdengar suara Alita setelah sejak tadi hanya diam.
"Ada deh!"
"Ssttt, kembali ke meja kalian. Udah jam kerja ini," tegur seorang karyawati senior yang membuat beberapa perempuan yang mengerubuti Alita buyar ke meja masing-masing.
Dea menarik napas dalam-dalam sambil menunduk. Menata hati agar tetap terjaga dan waras. Tidak seharusnya dia merasa porak-poranda. Namun hati tak bisa dibohongi.
Lagi-lagi ia tidak berhak apapun atas diri Gama. Sudahlah, belajar melupakan lagi. Belajar ikhlas dan merelakan. Dia sekarang bukan siapa-siapa.
Dulu Dea sudah tak lagi memikirkan tentang Gama. Pasca bercerai, ia memang sempat limbung dan frustasi. Lantas bangkit untuk memulai hidup baru. Bisa mengabaikan Gama yang jarang menyambangi putrinya. Namun setelah dua tahun ini Gama banyak berubah, rasa yang sempat tidur itu kembali bangkit lagi. Namun justru menyiksanya kali ini.
Ponsel Dea berdenting.
[Dea, kamu nggak apa-apa, kan? Jangan pedulikan apa yang kamu dengar.] Pesan dari Hani. Padahal meja mereka sebenarnya hanya bersebelahan. Terpisah oleh papan penyekat saja.
[Aku baik-baik saja, Han.]
[Oke.]
Selesai membaca pesan. Dea menyalakan komputernya. Sekalut apapun perasaannya, pekerjaan harus diselesaikan dengan baik. Meski orang tua bisa menopang hidupnya, tapi ia tidak boleh terus-menerus bergantung pada mereka. Setelah dewasa dia punya tanggungjawab penuh pada hidupnya sendiri. Segala kebutuhan tidak harus meminta pada orang tua.
Sementara Antika mendapatkan tunjangan bulanan dari Gama. Semua keperluan gadis kecil itu sudah ter-cover uang dari papanya.
Menumpuknya pekerjaan yang harus di selesaikan, berlomba dengan kalutnya pikiran. Membuat kepala Dea pusing. Namun pekerjaan harus tetap selesai hari ini. Membuat laporan keuangan butuh ketelitian dan konsentrasi. Karena akhir tahun nanti, produk baru akan diluncurkan. Pendanaan harus diatur secara spesifik.
Dea melirik ponselnya yang kembali berdenting. Ada pesan masuk dari mamanya. Segera dibukanya aplikasi pesan. Sebab sang mama jarang sekali menghubunginya di jam kerja begini kalau bukan karena hal penting.
[Mama baru pulang menjemput Antika dari sekolah. Tadi wali kelasnya ngabari kalau Antik demam. Akhirnya mama menjemputnya di sekolah. Tapi kamu nggak usah khawatir. Pulang sekolah langsung mama suruh makan, minum obat, dan sekarang tidur di kamar. Panasnya sudah turun.]
[Panasnya berapa, Ma?] Dea cemas. Dia paling khawatir kalau putrinya sakit.
[Sekarang sudah turun, 37°C. Tadi 38,5°C. Kamu nggak usah khawatir. Mama hanya ngasih tahu kamu saja. Nanti sore kalau kondisinya belum membaik, kita bawa ke dokter. Ya udah, hati-hati kalau kerja.]
[Ya,]
Meski dengan perasaan bercabang, Dea kembali melanjutkan pekerjaannya. Sejak masih bayi, Antik kalau sakit hanya diam saja tidak pernah rewel.
Dea kembali fokus pada pekerjaan. Mengesampingkan carut marutnya rasa terluka, cemburu, dan cinta yang amat menyiksa.
"Dea, waktunya istirahat. Yuk, makan siang dulu!" ajak Hani setelah tiba jam makan siang.
Saking asyiknya dengan perasaan yang campur aduk, Dea tidak menyadari kalau sudah waktunya istirahat. "Bentar, Han." Dea sibuk menyimpan data dan mematikan komputer.
"Hai, yuk kita makan!" Alita muncul di antara mereka. Dea memandangnya. Rasa sakit kembali mencabik. Dia sadar, seharusnya tidak perlu ada perasaan seperti itu. Bersikap tenang, elegan. Tapi apa semudah itu. Butuh waktu. Yang terasa sekarang hanya perih.
Dea bangkit dari duduknya dan mereka melangkah bertiga dalam diam. Sesekali masih terdengar godaan yang ditujukan pada Alita dari beberapa rekan. Kabar tentang Alita dan kekasih barunya begitu cepat menyebar. Namun yang tidak begitu dekat dengan gadis itu, hanya memandang dan mendengarkan. Justru mereka menyapa Dea. Perempuan periang yang kini hanya menunduk diam.
Ingin rasanya untuk sementara ini Dea tidak bergabung dengan Alita. Dia belum bisa. Dia masih butuh waktu untuk menetralisir perasaan karena terkejut dengan kenyataan yang baru ia ketahui. Tapi itu hanya akan menampakkan betapa rapuhnya dia.
"Dikit banget makanmu, Dea?" seloroh Alita yang duduk bergabung dengan Dea dan Hani dalam satu meja.
Dea hanya tersenyum tanpa memandang wanita di hadapannya.
Alita heran. Kenapa Dea berubah hari ini. Sedangkan hari Kamis kemarin gadis itu masih bercanda dengan dirinya. Apa sekarang Dea sudah tahu hubungannya dengan Gama? Lalu siapa yang memberitahu? Padahal teman-teman yang menggodanya tadi juga tidak ada yang tahu siapa kekasihnya.
Jika benar Dea tahu, lalu kenapa harus marah dengannya? Bukankah antara Gama dan Dea sudah tidak ada hubungan apa-apa. Toh Gama juga enjoy dengan dirinya.
Gadis itu memandang rekan kerja yang berhadapan dengannya. Sekarang atau pun nanti, pada akhirnya Dea juga akan tahu hubungannya dengan Gama.
Mereka bertiga makan dalam diam. Suara dering ponsel Dea membuat Hani dan Alita memandang ke arah wanita dengan pakaian kantoran warna putih dengan kombinasi hitam pada blouse-nya.
"Assalamu'alaikum, Ma. Bagaimana keadaan Antik?"
Hani dan Alita mendengarkan Dea bicara di telepon.
"Oh, Alhamdulillah, kalau dia sudah kembali ceria. Aku akan langsung pulang nanti, Ma. Sepertinya hari ini aku memang nggak ada lembur."
Dea kembali melanjutkan makannya setelah mengakhiri percakapan. Hani yang penasaran langsung bertanya. "Ada apa, Dea?"
"Nggak apa-apa. Antik panas tadi, tapi alhamdulilah sudah sembuh sekarang."
"Syukurlah!"
"Sakit apa?" tanya Alita.
"Panas. Sekarang sudah sembuh."