Hanya Mantan 2

977 Kata
Dea meletakkan dua gelas es lemon di atas karpet ruang keluarga rumah Hani. Kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan story milik Alita. Sambil menceritakan serba kebetulan yang tadi dipikirkannya. "Han, bagaimana jika ternyata benar, antara Mas Gama dan Alita telah bertunangan dan akhirnya mereka menikah. Lalu aku dan Alita masih bekerja di kantor yang sama. Kamu pasti tahu bagaimana perasaanku. Rasanya aku nggak akan sanggup?" Suara Dea bergetar saat mengucapkan kalimat itu. "Lalu kamu berniat resign?" "Mungkin." "Kamu sudah bekerja lebih dulu di sana, Dea. Kenapa harus resign? Jika kamu berhenti bekerja, itu hanya akan menunjukkan sisi rapuhmu saja. Jangan. Tunjukkan kalau kamu sanggup berhadapan dengan mereka. Biarkan mereka yang justru lebih dulu menyingkir darimu. Bukan kamu yang harus pergi lebih dulu." "Aku nggak akan sanggup, Han." Hani meraih tisu dan menyodorkan pada sahabatnya. "Aku paham bagaimana perasaanmu. Tapi aku yakin kalau kamu bakalan mampu. Memang sekarang kamu masih syok karena baru mendengar kenyataan ini. Tapi nggak akan lama. Kamu pasti bisa mengatasinya." Hani merangkul bahu sahabatnya. "Sekarang kamu menangislah. Sepuasnya. Setelah itu jangan nangis lagi untuk Gama. Aku tahu kamu wanita seperti apa. Cerdas dan terpelajar. Kamu cantik, dari keluarga baik-baik. Keluargamu terhormat. Nggak kalah dari Gama dengan darah ningratnya. Kamu bisa mendapatkan yang lebih dari Gama. Ingat, Dea. Dia hanya mantan. MANTAN." Hani menegaskan di kata terakhir. Dea menyusut air matanya. Kemudian kembali duduk tegak. "Ya. Harusnya aku sadar dengan status 'hanya mantan'. Tapi rasa ini yang nggak tahu diri banget, Han. Memang aku dulu yang minta pisah karena permasalahan yang kami hadapi waktu itu. Sebab Mas Gama lebih mementingkan karirnya di LA. Padahal banyak peluang berkarir di perusahaan keluarganya sendiri di sini. Belum lagi dengan kebiasaannya yang membuatku merasa tersisih dan nggak penting baginya. Tapi kenapa aku masih juga mencintainya. "Sebenarnya Alita tahu perasaanku pada Mas Gama, Han. Waktu itu dia pernah bertanya. Dan aku jawab jujur. Tapi aku nggak nyangka sama sekali kalau diam-diam dia menjalin hubungan dengan mantan suamiku." Dea berhenti sejenak. "Tapi bukan salahnya juga. Aku dan Mas Gama hanyalah mantan." Dea tersenyum miris dengan bibir bergetar. "Aku saja yang masih cinta sedangkan dia tidak." Kini ganti Hani yang menarik tisu untuk menghapus air matanya. Hatinya ikut sakit dan sedih. Dia saksi bagaimana hubungan Gama dan Dea sejak duduk di bangku kuliah. Dea yang anak rumahan dan begitu dijaga oleh keluarga, pada akhirnya pacaran dengan Gama yang menjadi idola saat itu. Gama yang sudah dikenal Dea sejak masih SMA adalah sosok yang menawan, meski terlihat urakan dan suka usil. Waktu kuliah rambutnya dibiarkan panjang. Tapi sisi manly-nya begitu kentara dan digilai banyak mahasiswi. Namun Dea-lah pemenangnya. Meski Dea tidak pernah mengejar-ngejar Gama seperti yang dilakukan oleh gadis-gadis itu. Gama sendiri yang datang dan mengungkapkan perasaannya. Gama yang menjadikan Dea pemenang di hatinya. Pemenang hingga mereka menikah dan Dea hamil anak pertamanya. Namun bayi laki-laki itu langsung meninggal saat dilahirkan. Setahun kemudian, Dea hamil lagi dan lahirlah Antika. "Kamu jangan nangis, Han. Karena hanya kamu tempatku mengadu. Beri aku kekuatan." "Kamu pasti bisa, Dea. Kamu hanya perlu melewati beberapa waktu ini dalam keterpurukan. Setelah itu kamu akan menjadi perempuan tangguh seperti Dea yang kukenal sejak dulu." Hani berusaha tersenyum di sela tetesan air matanya. Hening. "Han, apa Mas Gama sudah lupa ya. Bahwa dia pernah jatuh cinta padaku selama itu." Hani yang mulai tenang kini kembali merasakan perihnya ucapan Dea. "Tentu saja sudah lupa, Han. Wong sekarang dia sudah memilih wanita lain," jawab Dea sendiri. "Di mata orang lain mungkin dia laki-laki yang nggak tahu diri banget. Mementingkan teman-teman dan hobinya daripada istri dan anak. Tapi di antara teman-temannya yang suka berselingkuh, Mas Gama nggak pernah melakukan itu. Meski dia suka usil. "Selama kami pacaran hingga menikah, dia nggak pernah menyentuhku kelewat batas. Hanya sekedar mengandeng tangan di waktu-waktu tertentu. "Tapi sekarang dia sudah berani membawa Alita berlibur dua hari padahal belum ada ikatan. Berarti dia sudah benar-benar jatuh cinta dengan Lita." "Stop, Dea. Nggak usah kamu mengatakan hal yang akan menyakiti hatimu sendiri. Please, kamu sangat berharga. Ayo, mulai membuka lembaran baru. Dia hanya mantan. Bukan suami yang layak kamu tangisi seperti ini." Tangis Hani kembali pecah. Namun Dea hanya menunduk dalam diam. Butuh waktu cukup lama untuk mereka kembali bicara. "Habiskan tangismu, sedihmu, lukamu, hari ini. Setelah itu berhenti meratapi. Apa yang nggak kamu miliki? Kamu cantik, kamu seksi, kamu menarik, dan kamu sangat baik hati. Banyak laki-laki di luar sana, yang jauh lebih baik dari Gama, dan berharap bisa memiliki wanita sepertimu." Hani bicara berapi-api. "Berapa pria yang kamu tolak? Mereka semua pria berkelas dan baik. Sekarang, buka hatimu lagi. Tinggalkan masa lalu dan songsong hidup baru." Hani terus memberikan suntikan semangat dan membesarkan hati Dea, hingga wanita itu pamitan pulang menjelang shalat zhuhur. ***L*** Mobil hitam milik Gama memasuki pekarangan rumah saat Dea menyiram bunga di halaman. Wanita itu menoleh ketika Antika yang tampak ceria menghampirinya. Gadis kecil itu memeluknya. Sama sekali Dea tidak menatap Gama hingga laki-laki itu menghampiri. "Dengkulnya Antik lecet dikit waktu kepleset di kolam renang rumah mama tadi." "Ya, nggak apa-apa. Mana yang sakit, Sayang." Tanpa memandang Gama, Dea berjongkok untuk memeriksa kaki Antika. "Oh, nggak apa-apa. Besok pasti sembuh," ujar Dea. "Om dan Tante ada di rumah, De?" "Nggak ada, Mas. Mereka keluar baru saja," jawab Dea masih sok sibuk dengan kaki anaknya. Sedangkan Gama masih berdiri dan heran dengan perubahan sikap Dea. "Kalau gitu aku pulang dulu," pamit Saga akhirnya. "Iya, Mas. Makasih," jawab Dea masih sibuk dengan luka kecil yang tak berarti apa-apa. Antika sudah terbiasa dengan luka seperti itu. Gama yang masih keheranan dengan sikap Dea kembali ke mobilnya. Sampai dia memundurkan mobil, Dea masih sok sibuk dengan kaki si kecil. Wanita itu berdiri dan menggandeng anaknya masuk rumah. Pun tidak menoleh ke arahnya. Padahal Gama sengaja mengentikan mobilnya tepat di tengah pintu pagar. Hanya Antika yang menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ke arahnya. "Dadah, Pa!" teriak Antika. Next ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN