BAB 9 - KISSES IN THE RAIN

1524 Kata
KITR.09 RAHASIA YANG TERUNGKAP Malam yang ditunggu-tunggu oleh kakakku Ariella Xander dan Exel Wang pun tiba. Setelah tadi pagi mereka mendaftarkan pernikahannya di pencatatan sipil, malam harinya resepsi penikahannya pun digelar. Awalnya ini adalah resepsi pernikahan yang di atur untuk Ariella Xander dan juga Samuel Arthur. Namun karena pernikahan itu gagal, akhirnya posisi Samuel Arthur di gantikan oleh Exel Wang, pria pilihan kakakku. Semua orang telah memenuhi venue resepsi pernikahan. Resepsi yang diselenggarakan di salah satu hotel bintang lima di Hong Kong di hadiri oleh para tamu undangan dari berbagai kalangan. Tidak hanya para teman dan rekan bisnis yang ada di Hong Kong, keluargaku juga mengundang para tamu dari luar negeri. Resepsi penikahan tidak hanya di hadiri oleh para tamu undangan, tapi juga dihadiri oleh keluarga Exel Wang dan juga keluargaku. Mereka di sambut dengan baik oleh keluarga besarku yang kini telah menjadi keluarga baru mereka. Dan menurutku Daddy Abraham dan Mommy Freya adalah dua orang tua yang sangat bijaksana. Saat ini Ariella Xander dan Exel Wang tengah sibuk menyapa para tamu undangan yang hadir. Keluarga besarku yang wanita duduk di meja besar yang ada di sudut ruangan. Sedangkan aku duduk di meja besar khusus pria keluarga Xander yang terdiri dari Grandpa, Daddy Abraham, Uncle Ahmed Ali, Uncle Omar, Uncle Albert Ma dan juga Adrian Ma. Adrian Ma adalah anak dari Uncle Albert Ma dengan istrinya terdahulu yang kini telah mulai dewasa. Kami berkumpul bersama menikmati hidangan ringan yang ada di meja sambil berbincang-bincang. Kami membicarakan berbagai hal dan tertawa bersama layaknya keluarga besar yang saling merindukan. Ini adalah moment yang sangat jarang terjadi. Dan ini terjadi hanya satu kali dalam beberapa tahun. Sisanya kami saling berkomunikasi hanya melewati telepon atau bertemu dengan formasi tidak lengkap. “Albert, bagaimana bisnismu? Apa berjalan dengan lancar?” Daddy Abraham bertanya pada Uncle Albert Ma yang duduk di sampingnya. Uncle Albert Ma tersenyum tipis dan menjawab, “Ya, berjalan dengan lancar. Tapi akhir-akhir ini aku merasa lelah.” “Kenapa?” “Hanya lelah saja. Aku ingin segera pensiun. Tapi sayangnya Arman belum selesai kuliah.” “Apa yang membuatmu tidak bersemangat, Albert? Setahuku kamu adalah pria yang penuh semangat dan pantang menyerah. Lihatlah, bisnis property mu berkembang dengan pesat. Siapa yang tidak tahu dengan Ma’s Property?” Daddy Abraham berusaha memberi semangat pada Uncle Albert. Uncle Albert tersenyum tipis dan menjawab, “Ya, bisnisku memang sukses. Tapi tidak dengan kisah cintaku.” “Apa kamu masih memikirkannya?” Uncle Albert hanya diam tanpa menjawab. Lalu Daddy Abraham kembali bertanya, “Apa kamu masih mencarinya?” Uncle Albert mengangguk lemah, “Ya, aku masih mencarinya. Banyak penyesalan yang aku rasakan hingga sekarang. Jika suatu hari aku kembali bertemu dengannya, aku tidak akan pernah melepaskannya.” “Apa Violet tahu bahwa kamu masih mencarinya?” Daddy Abraham kembali bertanya. “Tidak. Ia tidak tahu.” Aku dan Armand Ma yang duduk di samping kedua orang tua kami hanya diam mendengarkan pembicaraan beliau berdua. Sepertinya Adrian Ma mengetahui bagaimana perasaan Daddy nya yang sebernarnya, jadi ia tetap bersikap tenang. Aku melirik padanya, terlihat sedikit kesedihan di wajahnya. Ia pasti sangat merindukan Mommy nya yang telah belasan tahun tidak ia temui. Saat kedua orang tua itu berbincang dengan serius, dari kejauhan aku melihat Oliver Bastian baru saja memasuki hall sendirian. Tadi aku telah meminta supirku untuk menjemputnya ke apartemen. Dan sekarang ia pun hadir di acara pernikahan kakakku dengan penampilan yang elegan. Ia terlihat sangat tampan dengan balutan tuxedo berwarna hitam dengan aplikasi silver di bagian dadanya. Aku yang melihatnya datang pun merasa senang. Dengan segera aku bangkit dari kursi sembari berkata, “Dad, Uncle, Grandpa, Armand, aku permisi dulu. Aku harus menghampiri temanku.” “Pergilah!” Daddy Abraham menjawab ucapanku, sedangkan yang lainnya hanya mengangguk menanggapiku. Aku melangkah dengan pasti meninggalkan meja dimana keluargaku berkumpul. Lalu aku menghampiri Oliver Bastian yang telah berada di tengah hall diantara para tamu undangan lainnya. Aku tersenyum padanya dan berkata, “Akhirnya kamu datang juga.” “Tentu saja aku datang. Aku datang bukan untuk menghadiri penikahan kakakmu. Tapi karena merindukanmu.” Oliver Bastian tersenyum merayuku. Aku tersenyum mendengar jawabannya yang tengah merayuku. Kemudian aku kembali berkata sambil menunjuk ke salah satu meja kosong yang ada sudut ruangan, “Ayo kita duduk di sana.” “Baiklah.” Aku dan Oliver Bastian duduk di meja kosong tersebut. Aku juga mengambilkan beberapa menu makanan kesukaannya dan menghidangkannya di atas meja. Saat ini aku merasa sangat senang dengan kehadirannya di pesta pernikahan kakakku. Karena kami sudah beberapa bulan terakhir tidak bertemu. Akhir-akhir ini Oliver Bastian sibuk menggeluti bisnisnya di bidang fashion. Sedangkan aku sibuk bekerja dan belajar di perusahaan Uncle Ahmed Ali. Meski tidak bisa bermesraan seperti saat-saat dimana hanya ada kami berdua, tapi bertemu dengannya sudah membuatku sangat bahagia. Rinduku padanya sedikit terobati dengan kehadirannya. “Kamu terlihat sangat tampan hari ini, Steve.” Oliver Bastian tersenyum hangat padaku sambil memainkan sendok dan garpu yang ada di tangannya. “Kamu juga sangat tampan, Olive. Kamu terlihat fashionable dengan tuxedo yang kamu kenakan itu.” “Aku sengaja mendesign tuxedo ini untuk menghadiri acara pernikahan kakakmu. Aku ingin tampil sempurna saat bertemu denganmu.” “Terima kasih, kamu telah datang.” “Apa pun akan aku lakukan untuk bisa bertemu denganmu, Steve.” Oliver Bastian tersenyum hangat padaku. Tidak lama kemudian ia kembali bersuara, “Apa nanti malam kamu akan pulang ke apartemen?” “Belum tahu. Keluarga besarku saat ini tengah berkumpul bersama. Mereka semua menginap di villa keluargaku. Aku mungkin juga akan ikut menginap di villa.” “Lalu bagaimana denganku, Steve?” Oliver Bastian bertanya dengan wajah cemberut. “Kamu bisa sendiri dulu di apartemen.” Seketika raut wajah Oliver Bastian berubah. “Aku tidak mau. Aku tidak mau tidur terpisah denganmu. Aku datang jauh-jauh dari Milan hanya untuk bisa bertemu denganmu. Masa kamu tega meninggalkanku sendirian di apartemen.” Aku melirik ke sekelilingku melihat situasi. Kemudian aku kembali berkata dengan suara rendah, “Olive, kecilkan suaramu. Bisa-bisa orang mendengar ucapanmu.” “Tapi Steve, kamu benar-benar tega membiarkanku tinggal sendirian di apartemen mu yang sangat luas itu.” “Olive, jangan kekanak-kanakan. Sekarang kita sedang di Hong Kong, bukan sedang di Eropa. Kamu harus bisa menjaga sikapmu. Lagi pula kamu juga tidak langsung pergi hari ini kan? Masih ada hari lain untuk bisa bertemu denganku.” “Apa kamu tidak merindukanku?” Aku menarik nafas dalam dan berkata, “Apa kamu tidak bisa bersikap sebiasa mungkin, Olive. Sikapmu yang manja itu jangan buat aku merasa sulit. Aku tidak ingin orang lain tahu tentang hubungan kita. Aku…” Belum selesai aku bicara, tiba-tiba Grandma datang dari arah belakang menyapaku, “Steve…” Dengan segera aku memalingkan wajah menoleh pada Grandma yang telah berdiri di sampingku. “Grandma…” “Cucuku, sepertinya cincin Grandma ketinggalan di kamar hotel tempat dimana aku dan Mommy mu tadi mengganti pakaian.” “Seperti apa cincinnya, Grandma?” “Cincin yang waktu itu kamu dan Abraham belikan saat ulang tahun Grandma beberapa tahun lalu. Cincin dengan batu sapphire.” “Ya, aku ingat. Biar aku ambilkan ke kamar.” Aku tersenyum pada Grandma dan bangkit dari kursiku menuntun beliau untuk duduk di kursi yang ada di sampingku. “Grandma duduk dan tunggu aku di sini.” “Baiklah, Cucuku. Grandma akan menunggumu di sini. Ingat nomor kamarnya 601.” Grandma membalas senyumku sambil memberikan kartu akses. “Baik, Grandma.” Sebelum aku pergi, aku menoleh pada Oliver Bastian yang duduk di seberang Grandma dan berkata, “Olive, kamu tunggu di sini. Aku akan segera kembali.” “Baik.” Oliver Bastian mengangguk. Aku pun pergi keluar hall dimana acara penikahan sedang berlangsung. Aku berjalan dengan segera menuju kamar dengan nomor 601 yang ada di lantai 6 hotel. Setelah sampai di depan pintu kamar, aku membuka pintu kamar itu dengan kartu akses lalu memasukinya tanpa menutup pintu. Di dalam kamar aku melihat beberapa baju wanita tengah tergantung di lemari yang terbuka. Aku juga melihat beberapa aksesories dan peralatan make up ada di atas meja rias. Dan satu box perhiasan di sudut meja rias tersebut. Aku membuka kotak perhiasan yang aku rasa adalah milik Grandma tersebut. Lalu mencari cincin yang dimaksud oleh Grandma di dalam kotak perhiasan itu. Tidak perlu waktu lama, aku pun mendapatkan cincin yang merupakan kado ulang tahun Grandma tersebut dan hendak kembali menuju hall resepsi untuk memberikannya. Namun saat aku hendak keluar kamar, tiba-tiba Oliver Bastian telah berada di dalam kamar itu bersamaku. Ia yang baru memasuki kamar menutup pintu dan melangkah menghampiriku. Dengan wajah kaget aku pun bertanya, “Olive, apa yang kamu lakukan di sini?” “Aku hanya ingin menemuimu. Aku ingin berdua saja denganmu.” “Olive, lebih baik kita keluar. Grandma sedang menungguku.” Oliver Bastian menahanku dengan satu tangannya lalu mendorongku ke dinding. Dengan tatapan menggoda ia tersenyum padaku. Belum sempat aku mengelak, Oliver Bastian telah mencium bibirku terlebih dahulu. Aku yang merasa enggan pun berusaha mengelak. Namun pintu kamar itu telah lebih dulu terbuka. Saat ini Daddy Abrham dan Mommy Freya telah berdiri di ambang pintu melihat semua yang terjadi antara aku dan Oliver Bastian. Dan rahasia yang selama ini aku tutupi pun terungkap. Aku yang merasa kaget mendorong tubuh Oliver Bastian agar menjauh dariku. Lalu aku melangkah menghampiri kedua orang tuaku sembari berkata, “Mom… Dad… Semua tidak seperti yang terlihat.” Seketika tubuh Mommy Freya melemah dan hampir saja terjatuh karena pingsan. Untung saja Daddy Abraham dengan segera menangkap tubuh Mommy Freya. Beliau menahan tubuh Mommy Freya dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya menamparku begitu keras hingga sudut bibirku mengeluarkan darah. Dengan penuh amarah Daddy Abraham berkata, “Apa kamu sudah tidak waras, Steve?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN