KITR.08 SEORANG PRIA LEMBUT
Hari ini adalah hari pendaftaran pernikahan kakakku Ariella Xander dengan Exel Wang di kantor pencatatan sipil. Aku dan Daddy Abraham menjadi saksi pendaftaran nikah mereka pagi ini. Karena hari ini cukup banyak yang menikah di Biro Urusan Sipil, jadi kami menunggu giliran cukup lama. Kami berempat duduk di kursi ruang tunggu yang tersedia. Aku duduk di samping Daddy Abraham. Sedangkan sepasang calon pengantin itu duduk berdua di seberang kami. Daddy Abraham dan Exel Wang terlihat akur dengan berbincang santai bersama. Sedangkan aku dan Ariella Xander tidak berkata apa-apa dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Semenjak keributan di Cathedral itu, aku dan kakakku Ariella Xander sangat jarang bicara. Dan hubungan kami berdua terasa merenggang.
Tidak lama kemudian giliran pendaftaran pernikahan kakakku pun datang. Sepasang kekasih yang akan menikah itu memasuki ruang pendaftaran terlebih dahulu. Lalu diikuti oleh kami yang akan menjadi saksi. Semua proses tidak berlangsung lama hingga akhirnya kakakku Ariella Xander dan Exel Wang telah resmi menjadi sepasang suami istri. Mereka berdua terlihat sangat bahagia, begitu juga dengan Daddy Abraham Xander. Namun tidak dengan diriku yang tidak menyukai pria itu.
“Steve, apa kamu ingin langsung pulang ke villa?” Daddy Abraham Xander bertanya padaku saat kami baru saja keluar dari kantor Biro Urusan Sipil.
Aku menoleh ke belakang ke arah Daddy Abraham yang kini melangkah menghampiriku, “Tidak, Dad. Siang ini aku akan pergi menjemput temanku ke bandara.”
“Apa itu teman yang menghubungimu kemarin pagi?”
“Ya, Dad. Daddy pulang saja dengan supir. Aku akan naik taxi ke apartemenku untuk menjemput mobil.”
“Baiklah, kalau begitu. Daddy akan pulang dengan Cece mu.” Lalu Daddy Abraham memiringkan kepalanya menoleh pada Exel Wang yang berdiri di samping Ariella Xander dan kembali berkata, “Exel, apa kamu ingin ke villa dulu?”
“Tidak usah, Dad. Aku harus ke hotel dulu menemui kedua orang tuaku yang baru saja datang dari Istanbul. Kami juga harus mempersiapkan acara untuk nanti malam.” Exel Wang menjawab.
Daddy Abraham pun mengangguk dan merangkul pundak Ariella Xander, “Baiklah kalau begitu. Kami pulang dulu.”
“Baik, Dad.” Exel Wang mangangguk.
Ariella Xander yang di rangkul oleh Daddy Abraham melangkah menghampiriku. Ia tersenyum dan memelukku sembari berkata, “Steve, Cece pulang dulu dengan Daddy.”
“Baik, Ce. Hati-hati di jalan. Dan selamat atas pernikahannya.” Aku membalas pelukan Ariella Xander.
“Terima kasih.”
“Steve, Daddy pulang dulu.” Daddy Abraham Xander berbicara sambil melangkah bersama kakakku menuju parkiran yang ada di halaman kantor Biro Urusan Sipil meninggalkanku yang masih berdiri tidak jauh dari Exel Wang.
Aku berdiri diam melepas kepergian Daddy Abraham dan Ariella Xander dengan mobil yang dikendarai oleh supir. Setelah mobil itu pergi, aku pun menoleh pada Exel Wang yang berdiri tidak jauh dariku. Aku menatapnya dengan wajah datar dan berkata, “Aku harap kamu bisa membahagiakan Cece ku dan tidak menyakitinya lagi. Tapi kalau kamu menyakitinya, jangan harap aku akan memaafkanmu.”
Exel Wang tersenyum lembut padaku dan menjawab dengan tenang, “Tenang saja, itu tidak akan terjadi lagi. Aku benar-benar mencintai Ariella.”
Setelah mengatakan hal itu Exel Wang menoleh pada mobilnya yang terparkir dan berkata, “Apa kamu ingin aku antar ke apartemenmu?”
“Tidak, terima kasih.” Aku menjawab dengan wajah acuh tak acuh.
“Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu.” Exel Wang menyentuh pundakku dan berlalu pergi menuju mobilnya. Sedangkan aku masih berdiri sendiri di tengah tangga kantor Biro Urusan Sipil.
Setelah semuanya pergi, aku pun melangkah ke halaman depan kantor Biro Urusan Sipil untuk menunggu taxi. Tidak perlu menunggu lama, sebuah taxi berhenti di hadapanku dan aku menaikinya. Taxi itu mengantarku ke gedung tertinggi di Kowloon dimana apartemenku berada. Setelah turun dari taxi itu, aku pun melangkah segera menuju basement. Aku mengambil mobilku di parkiran yang ada di basement, lalu mengendarainya keluar kawasan gedung apartemenku. Aku mengendarai mobilku dengan tenang menuju Hong Kong International Airport.
Baru saja aku sampai di bandara, pesawat yang ditumpangi oleh Oliver Bastian telah lebih dulu mendarat. Belum sempat aku memasuki parking area, ponselku pun berbunyi pertanda panggilan masuk dari Oliver Bastian. “Hallo… Olive, apa kamu sudah sampai?”
“Sudah, Steve. Aku sudah berdiri satu menit di depan pintu Arrival Hall menunggumu.”
“Baiklah, aku sudah hampir sampai.”
Aku yang sedang mengendarai mobil pun tidak jadi memasuki parking area dan langsung menuju depan pintu utama Arrival Hall. Dari kejauhan aku telah melihat seorang pria tampan bertubuh atletis dengan gaya yang fashionable sedang berdiri menungguku. Ia adalah Oliver Bastian, seorang pria lembut yang telah menjadi kekasihku beberapa tahun terakhir.
Oliver Bastian adalah seorang pria berkebangsaan Inggris yang kini berprofesi sebagai seorang designer di Milan, Italy. Ia adalah teman se-Universitasku dan juga seasramaku. Kami kuliah di Universitas yang sama di London dengan jurusan yang berbeda. Namun kami adalah teman sekamar saat kuliah selama beberapa tahun. Ia adalah pria yang lembut dan sangat baik.
Awalnya kami hanya berteman saat baru saja memasuki asrama. Dengan berjalannya waktu kami menjadi teman baik yang saling berbagi suka maupun duka. Sifatnya yang lembut, perhatian, selalu mengerti aku dan juga sedikit feminim membuatku merasa nyaman. Semakin lama hubungan itu semakin dekat. Hingga akhirnya ia menyatakan perasaannya terhadapku. Aku tidak pernah menyetujui hubungan ini secara langsung. Tapi hubungan kami berjalan begitu saja hingga akhirnya sulit untuk berpisah dan saling membutuhkan satu sama lain.
“Steve, aku sangat merindukanmu.” Oliver Bastian yang baru saja memasuki mobilku dan duduk di kursi samping kemudi berbicara dengan suara manja. Ia memelukku dengan erat melepas rasa rindunya yang sudah beberapa bulan tidak bertemu denganku.
Aku juga merindukannya dan ingin membalas pelukannya dengan erat. Namun saat ini kami tengah berada di tempat umum, jadi aku tidak bisa melakukan hal itu. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihatku bermesraan dengan pria. Karena itu akan jatuhkan reputasiku sebagai pewaris Crown Corp yang sangat terkenal. Dan dengan terpaksa aku harus bersikap dingin pada OIiver Bastian.
Aku segera mendorong Oliver Bastian sembari berkata, “Olive, lepaskan aku.”
Oliver Bastian pun melepaskan pelukannya dari tubuhku. Kemudian ia menatapku dengan wajah cemberut seolah saat ini ia sedang kesal karena teguranku. “Steve, ada apa denganmu? Kenapa aku tidak boleh memelukmu?”
Aku melirik ke sekeliling mobil, terlihat orang-orang yang ada di bandara tengah sibuk berlalu lalang dengan kegiatan mereka masing-masing. Saat aku merasa aman dan tidak ada orang lain yang melihat, aku pun membelai rambut Oliver Bastian sembari berkata, “Maaf. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tapi saat ini kita sedang berada di bandara dan begitu banyak orang. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat kita.”
“Aku tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadap kita.”
“Olive, saat ini kita bukan sedang di Eropa. Kita sedang di Hong Kong. Di sini banyak orang yang mengenaliku. Jika kamu tidak bisa menjaga sikap, bisa-bisa orang mengetahui hubungan kita.”
“Tapi Steve…”
“Sudahlah Oliver, kendalikan dirimu. Aku akan mengantarmu ke penthouse ku. Setelah sampai di sana, istirahatlah!” Aku berbicara sambil kembali menyalakan mobilku. Aku mengandarai mobilku keluar dari kawasan bandara menuju kota.
Oliver Bastian tidak lagi berkata apa-apa. Ia hanya diam duduk di sampingku sepanjang perjalanan menuju apartemen penthouse ku. Wajahnya juga terlihat bersedih karena penolakanku tadi. Ia adalah pria yang memiliki perasaan sensitive, jadi ia akan mudah merasa sedih saat aku bersikap dingin atau marah kepadanya. Aku yang mengetahui sifatnya itu hanya diam tanpa membujuknya. Karena jika aku membujuknya, ia akan semakin menjadi-jadi bahkan menangis. Saat ini aku sedang menghindari pertengkaran dengannya, karena masih banyak hal yang lain yang harus aku kerjakan.
Setelah sampai di basement gedung apartemenku, aku pun mengantarnya memasuki kediamanku dengan membantu membawa barang bawaannya. Untung saja di gedung apartemen milikku ini, aku memiliki akses khusus dan lift pribadi menuju penthouse milikku. Jadi tidak ada orang lain yang akan melihatku membawa Oliver Bastian ke kediamanku.
Aku meletakkan barang-barang miliknya di sudut ruangan kamar. Lalu menyiapkan beberapa hal yang mungkin ia butuhkan selama aku tidak ada di kediamanku ini. Kemudian aku kembali menghampirinya yang tengah duduk di sofa di tengah ruang penthouse ku sembari berkata, “Olive, aku sudah menyiapkan semua keperluanmu. Bahan makanan dan minuman sudah tersedia di dalam kulkas. Kamu bisa menggunakannya kapan pun yang kamu mau. Alat masak juga ada di dapur.”
“Baiklah.” Oliver Bastian menjawab dengan wajah menunduk. Sepertinya saat ini suasana hatinya masih belum baik.
Aku yang masih ada urusan lainpun sedang tidak ingin membujuknya, karena biasanya ia akan baik dengan sendirinya. Kemudian aku melangkah ke depn pintu apartemen sembari berkata, “Olive, istirahatlah! Aku pergi dulu.”
Oliver Bastian yang duduk di sofa mengangkat wajahnya menatapku dan bertanya, “Steve, kamu mau kemana?”
“Aku masih ada urusan.”
“Bagaimana denganku?”
“Kamu di sini saja. Nanti malam aku akan menyuruh supirku untuk menjemputmu kemari.”
Dengan wajah cemberut Oliver Bastian bangkit dari sofa dan melangkah menghampiriku. Ia berdiri di belakangku dan memelukku dari belakang sembari berkata dengan suara manja, “Steve, aku masih merindukanmu. Sudah berbulan-bulan kita tidak bertemu. Tapi kamu malah pergi sekarang. Apa kamu tidak merindukanku?”
Aku tersenyum tipis melihat tingkah Oliver Bastian yang begitu manja. Lalu aku membalikan tubuhku menghadapnya. Aku menyentuh wajahnya dengan kedua belah tanganku sembari berkata, “Tentu saja aku merindukanmu. Tapi masih ada hal lain yang harus aku selesaikan. Nanti malam kita akan bertemu kembali di pesta penikahan kakakku.”