KITR.04 AKU ADALAH PRIA PENYUKA SESAMA JENIS
Terlalu sibuk di hari pertama bekerja membuat hariku begitu cepat berlalu. Aku menoleh keluar jendela kaca ruanganku yang begitu besar yang menghadap ke Victoria Harbour. Terlihat matahari mulai terbenam di arah barat memancarkan cahaya kuning keemasan yang menyinari langit kota Hong Kong yang kini mulai menggelap. Sebuah pemandangan yang sangat indah di lihat dari ketinggian, seperti dari puncak gedung Crown Corp ini, dimana ruang kerjaku berada.
Melihat hari sudah sore, aku teringat dengan janjiku pada Mommy Freya yang akan menemani beliau makan malam bersama temannya. Beliau mengajakku makan malam bersama sekaligus bertujuan untuk memperkenalkan aku pada anak perempuan teman beliau. Sebuah kegiatan yang membosankan bagiku, tapi aku tidak berani menolaknya. Hatiku terasa enggan untuk pergi malam ini, namun aku tidak ingin mengecewakan wanita cantik yang sangat menyayangiku itu.
Aku melirik arloji yang melingkar di lengan kiriku. Terlihat jarum pendek jam telah menunjukkan pukul 6 sore. Dengan segera aku menutup map dokumen yang ada di hadapanku, mengambil kunci mobilku, dan melangkah keluar ruangan. Sebelum pergi keluar perusahaan, aku melangkah terlebih dahulu ke ruangan asistenku untuk memberi tahunya apa saja yang harus ia kerjakan selama aku pergi.
Aku membuka pintu ruangannya dan memanggil namanya, “Duscha…”
Melihat kedatanganku yang sangat tiba-tiba ke ruangannya membuat Duscha Dushenka kaget. Ia yang sedang duduk sambil memakan mie instan, terperanjat dan menumpahkan kuahnya di atas beberapa lembar dokumen yang ada di meja. Dan ia pun berteriak karena terkena kuah mie instan yang panas itu. “Awh…”
Spontan aku melangkah dengan cepat menghampirinya. Lalu mengambil lembaran dokumen yang telah kotor itu dari atas mejanya. Melihat beberapa dokumen penting itu kotor membuatku marah dan meneriakinya, “Astaga, Duscha! Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik? Kamu mengotori dan merusak dokumen-dokumen ini.”
“Ma-maaf CEO Steve. Aku tidak sengaja menumpahkan mie nya. Aku hanya merasa kaget melihat kedatangan CEO yang begitu tiba-tiba.” Duscha Dushenka berbicara dengan wajah menunduk karena merasa bersalah sambil membersihkan kuah yang tumpah itu dengan tissue. “A-aku akan memperbaiki dan memprint kembali dokumen yang kotor itu.”
Aku terdiam cukup lama melihat tubuhnya yang gemetar tengah sibuk membersihkan tumpahan kuah dan barang yang berantakan di atas meja kerjanya. Kemudian aku melihat salah satu tangannya yang putih itu memerah seperti terkena luka bakar. Melihat tangannya yang memerah karena tersiram kuah mie instan yang panas, tanpa berpikir panjang aku pun membalikkan tubuhku kembali melangkah ke ruanganku yang ada di ujung koridor.
Aku mengambil kotak obat yang tersedia di dalam lemari yang ada di ruanganku. Lalu dengan langkah besar aku berjalan kembali ke ruangan Duscha Dushenka untuk membantu mengobati luka bakarnya tersebut. Saat aku sampai di ruangannya, meja kerjanya telah kembali rapi dan bersih. Aku tidak lagi melihatnya yang sedang membereskan barang-barang yang berantakan tadi. Namun sekarang ia duduk dengan mata berkaca-kaca sambil meniup tangannya yang sepertinya terasa sakit karena tersiram air panas.
Aku yang telah berada di dalam ruangan dan berdiri di sampingnya, membungkukkan sedikit tubuhku dan menarik tangannya ke arahku sembari berkata, “Biar aku lihat tanganmu.”
Kemudian aku membuka kotak obat dengan sebelah tangan dan mengoleskan cream khusus luka bakar di tangannya. Aku mengoleskan cream itu dengan sangat hati-hati karena iba melihatnya. Sedangkan Duscha Dushenka hanya diam termenung melihat ku mengobati tangannya. Dan setelah selesai aku pun meluruskan punggungku dan bersuara, “Oke selesai.”
“Terima kasih.” Duscha Dushenka berkata sambil mengangkat wajahnya menatapku yang sedang berdiri.
Aku hanya mengangguk menanggapinya sambil membereskan kotak obat. Kemudian aku kembali berkata, “Duscha, aku akan pergi keluar. Kamu kerjakan kembali dokumen yang telah kamu kotori itu. Dan rapikan laporan keuangan bulan lalu yang dibuat oleh sekretaris pendahulumu. Kemudian cetak kembali dan simpan di map yang baru. Aku ingin kedepannya semua laporan di kerjakan dengan rapi. Ganti semua map dokumen lama dengan yang baru agar tertata rapi di lemari.”
“Baik, CEO Steve.” Duscha Dushenka menganggukan kepalanya.
Setelah memberinya beberapa pekerjaan, aku pun melangkah keluar ruangannya. Namun saat aku baru sampai di pintu ruangannya, aku teringat dengan mie instannya yang tumpah tadi. Sekarang sudah lewat jam kantor, pasti sekarang ia sangat lapar. Aku membalikkan tubuh mengahadapnya dan kembali berkata, “Duscha…”
“Ya, CEO.” Duscha Dushenka yang tengah duduk di kursinya kembali menatapku dengan wajah kaget.
“Jangan makan mie instan lagi. Tidak baik untuk kesehatanmu.”
“Baik, CEO Steve.”
Aku mengambil ponsel yang ada di saku celanaku. Lalu memesankan makanan untuk Duscha Dushenka via Food Panda, salah satu aplikasi terkenal di Hong Kong yang melayani customer dalam memesan makanan secara online dan mengirimkannya langsung ke alamat dengan banyak pilihan restoran yang menerima pemesanan secara online. Karena aku baru mengenalnya hari ini, aku tidak tahu apa yang ia suka atau tidak suka. Di lihat dari wajah dan gaya bicaranya, aku rasa ia bukan orang Hong Kong asli. Jadi aku memesankan makanan Western untuknya dari restoran favoritku. Setelah memesan makanan dan membayarnya secara online, aku pun kembali berkata, “Aku telah memesankan makanan untukmu. Paling lama setengah jam lagi datang. Makanlah dengan baik.”
Dengan wajah canggung Duscha Dushenka pun menjawab, “Terima kasih CEO.”
“Sama-sama. Aku pergi dulu.” Aku berbicara sambil menutup pintu ruangannya.
Setelah meninggalkan gedung Crown Corp yang ada kawasan Hong Kong Island, aku pun mengendarai mobilku menuju Lantau Island. Aku pergi ke kediaman keluargaku, sebuah villa mewah yang ada di kawasan Silvermine Bay, tempat dimana aku di besarkan. Sudah beberapa minggu terakhir aku tidak pulang ke villa yang memiliki banyak kenangan itu. Karena semenjak bekerja dengan Uncle Ahmed Ali, sahabat Daddy Abraham Xander, hingga aku telah menjadi CEO dari Crown Corp milik beliau seperti saat ini, aku memilih tinggal sendiri di penthouse milikku yang ada di bangunan tertinggi di Hong Kong. Tepatnya di Distrik Kowloon yang lebih dekat dengan kantorku yang ada di Hong Kong Island.
Selain ingin tinggal sendiri, aku juga sangat enggan sering bertemu dengan kakak iparku Exel Wang. Setiap ia dan kakakku Ariella Xander pulang ke Hong Kong, mereka pasti akan tinggal di villa. Setelah kejadian ia menggagalkan pernikahan kakakku dengan Samuel Arthur beberapa bulan lalu, di tambah lagi banyak kejadian yang telah terjadi yang merugikan kakakku sebagai wanita, hingga saat ini aku belum bisa memaafkannya. Aku juga belum bisa menerimanya sebagai anggota bari keluarga Xander meski sekarang ia telah sah menjadi kakak iparku. Tapi karena Daddy Abraham Xander dan Mommy Freya telah merestui hubungan mereka yang rumit dan banyak drama itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut merestuinya.
Aku mengendarai mobilku dengan tenang sambil menikmati alunan music rock yang memenuhi seluruh ruangan mobil. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan rendah agar sampai di villa terlambat. Aku sengaja melakukannya berharap makan malam bersama teman Mommy Freya di batalkan. Namun di saat aku sedang sibuk mengendarai mobilku, ponselku pun berbunyi. Ponselku berbunyi karena ada panggilan masuk dari Calvin Carter, sahabatku.
“Hallo…” Aku membuka pembicaraan setelah menekan tombol speaker pada audio mobil untuk menjawab panggilan.
“Steve, kamu ada di mana?”
“Aku sedang di jalan, Calvin. Ada apa?”
“Aku baru saja kembali ke Hong Kong. Aku ingin mentraktirmu untuk merayakan kepulanganku.”
“Maaf Calvin, aku tidak bisa pergi bersamamu. Malam ini aku sudah berjanji akan menemani Mommy makan malam bersama temannya.”
Dari seberang terlepon terdengar suara tawa Calvin Carter, “Hehehehe… Tumben sekali kamu pergi dengan Mommy mu.”
“Iya. Mommy akan memperkenalkanku dengan anak temannya.”
“Apa itu wanita?”
“Ya, begitulah.”
“Aku rasa kamu tidak tertarik dengan wanita Steve. Kenapa kamu pergi untuk berkenalan dengan wanita?”
“Aku hanya ingin memenuhi janjiku pada Mommy. Aku tidak ingin mengecewakan beliau karena menolaknya. Setelah kejadian beberapa bulan lalu yang aku ceritakan padamu waktu itu, semua orang di rumahku sibuk mencarikan wanita untukku. Tapi tak satu pun yang aku sukai. Ini adalah wanita ke sepuluh.”
“Hehehehe… Terima saja. Kedua orang tuamu hanya ingin yang terbaik untukmu. Begitu juga denganku. Kedua orang tuamu ingin kamu kembali ke kodrat yang sebenarnya. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya memiliki prilaku menyimpang.”
“Aku juga tidak meminta diriku seperti ini. Ini bukan prilaku menyimpang, Calvin. Ini adalah masalah perasaan. Aku bebas memilih jalan hidupku sendiri, termasuk ingin menjalin hubungan dengan siapa pun yang aku mau. Jadi jangan katakana lagi kalau itu perbuatan menyimpang Calvin.” Aku mulai merasa kesal mendengar Calvin Carter yang berbicara seolah mengguruiku.
“Oke-oke… Aku tidak akan mengatakan hal itu lagi. Tapi sebagai sahabatmu yang telah berteman denganmu selama belasan tahun, aku berharap kamu berubah Steve.”
Seketika aku semakin kesal mendengar ucapan Calvin Carter. Ia malah mengungkapkan harapannya kepadaku, yang menurutku itu terlalu mencampuri urusanku. Ia telah memasuki ranah pribadiku yang seorang pun tidak boleh menyentuhnya. Dengan nada tinggi aku pun kembali berkata, “Calvin, jika maksudmu menghubungiku hanya untuk mengguruiku, lebih baik aku akhiri saja panggilan ini.”
Sebelum Calvin Carter menanggapi ucapanku, tanpa berpikir panjang aku pun mengakhiri panggilannya dengan menekan tombol pada audio mobil. Ia telah berani menyinggungku dan menyentuh ranah pribadiku. Dari pada aku melontarkan kata-kata lebih buruk lagi padanya, lebih baik aku mengakhirnya. Aku tidak ingin memperburuk suasana atau bertengkar dengannya. KArena ia adalah teman baikku yang sangat mengerti aku selama ini. Aku tidak ingin karena masalah ini hubungan pertemananku dengannya menjadi buruk.
Calvin Carter adalah sahabatku sejak kami masih duduk di bangku sekolah. Kami selalu sekolah di tempat yang sama dan duduk di meja yang sama hingga kami menamatkan sekolah menegah atas. Namun saat kami akan mengecap pendidikan di perguruan tinggi, kami berpisah. Aku pindah ke London dan tinggal bersama Grandma dan Grandpa. Aku kuliah di London untuk mendalami ilmu bisnis. Sedangkan Calvin Carter kuliah di Califonia untuk mendalami ilmu psikologi. Dan sekarang ia telah menjadi psikolog ternama di Hong Kong ini.
Dari dulu hingga sekarang, hubunganku dengan Calvin Carter sangat baik. Ia sangat tahu tentang diriku. Hampir semua hal ia tahu tentangku, termasuk hal terkecil. Bahkan ia juga tahu bahwa aku memiliki selera berbeda dalam urusan pasangan. Tapi selama ini ia bisa memakluminya dan selalu menaruh harapan besar untukku agar aku bisa berubah. Hingga beberapa bulan lalu, saat ia masih berada di California, aku sempat menghubunginya untuk menceritakan masalahku. Aku menceritakan sebuah kejadian yang membuat kedua orang tuaku dan kakakku begitu shock. Bahkan Mommy dan Daddy sempat sakit setelah mengetahui dan melihat sendiri bahwa aku adalah pria penyuka sesama jenis.