CHAPTER 7

1471 Kata
Seharian telah beristirahat, keadaan Aksa keesokan harinya benar-benar sudah pulih. Lelaki itu akan kembali bekerja hari ini. Raya menyiapkan sarapan untuk Aksa walau tidak yakin lelaki itu akan memakannya, karena suaminya itu sangat jarang sarapan di rumah. “Kamu buat apa, Ray?” Raya terlonjak kaget. “Mas ngegetin aku aja!” dengusnya. “Maaf.” Manik Aksa menatap Raya tidak enak kemudian beralih pada masakan Raya di wajan. “Nasi goreng?” Raya mengangguk, gadis itu kembali fokus pada masakannya dan menuangkannya di dua piring. “Mas Aksa mau minum teh atau kopi? “Teh hangat,” balas Aksa. Pria itu duduk di kursi dan menatap Raya yang kembali sibuk membuat minuman untuknya. Piring berisi nasi goreng telah diletakkan istrinya di meja. Tiga menit kemudian, Raya meletakkan secangkir teh di hadapan Aksa. “Terimakasih.” Raya tersenyum dan mengangguk. Keduanya melahap sarapan masing-masing tanpa bicara apapun, hingga nasi goreng di piring telah habis tak bersisa. “Nanti kamu sibuk, Ray?” tanya Aksa sembari menyeka mulutnya dengan tisu. Raya menggeleng samar. “Enggak, Mas. Kenapa?” “Antarkan makan siang ka kantor ya. Kamu nggak keberatan, kan?” tanya Aksa dengan sedikit cemas, ia takut Raya akan menolaknya. Mengingat selama ini ia sering mengabaikan makan siang dari Raya. “Eh? Mas nggak makan siang dengan Taehoon seperti biasa?” Aksa menggeleng kemudian berdeham pelan. “Bosan makan di luar terus, jadi pengen makan masakan kamu.” Raya tersenyum kecil. “Okay, nanti aku antar ke kantor.” Jawaban pasti dari Raya itu sontak membuat Aksa tersenyum. “Nanti minta di antar sama Pak Jani aja ya. Jangan naik taksi,” pesan Aksa. Jani adalah supir di keluarganya yang akan datang ketika dipanggil. Jadi di rumah ini memang hanya ada Aksa dan Raya, untuk pekerja mereka akan datang ketika dipanggil. “Okay, Mas.” Aksa bangkit lalu meraih tas kerjanya. Raya ikut bangkit dan menyusul Aksa menuju pintu depan. Selagi suaminya memakai sepatu, Raya melirik dasi Aksa yang miring. Tangannya sangat gatal untuk memperbaiki posisi dasi tersebut, tapi ia tidak berani. Takut mendapat penolakan dari suaminya itu. “Kenapa, Ray?” tanya Aksa yang bangkit dari kursinya usai memakai sepatu. “Emm, itu dasinya. Boleh aku rapikan?” tanya gadis itu meminta izin. Aksa melirik dasinya dan tersenyum kecil. Pria itu mengangguk singkat. “Tentu boleh. Ngapain minta izin dulu?” Raya tersenyum lebar. Tanpa membuang banyak waktu, ia langsung merapikan dasi Aksa. Aksa yang melihat senyum Raya seketika terpana, ia tidak menyangka Raya memiliki senyum yang sangat manis. Kenapa ia baru sadar sekarang? Refleks, Aksa mendekatkan wajahnya pada wajah Raya kemudian mengecup dahi istrinya dengan lembut. Tubuh Raya menegang kaku, merasakan ciuman di dahi dari Aksa untuk yang kedua kalinya. Sebenarnya apa yang terjadi pada suaminya ini hingga bertingkah bukan seperti biasanya. “Aku tahu sikapku membingungkan untukmu Ray. Tapi aku akan mengatakan ini dengan serius,” ujar Aksa menjeda kalimatnya. Lelaki itu menatap Raya dengan intens. Raya membalas tatapan Aksa dengan penasaran dan dengan jantung yang berdetak tidak karuan. “Aku ingin kita mengulang semuanya dari awal. Lupakan soal pernikahan kita yang diatur oleh Ayah. Maukah kamu serius menjalani pernikahan ini seperti pernikahan sungguhan yang dilakukan suami istri di luar sana Ray?” Kedua mata Raya terbelalak kaget. Ia tidak menyangka Aksa akan berucap seperti itu. Ini terlalu mendadak baginya, dan kenapa Aksa tiba-tiba berubah pikiran? Lelaki itulah yang pertama kali menyatakan jika ini adalah pernikahan yang terpaksa dia lakukan. “Kamu mau kan?” tanya Aksa menuntut jawaban. Tidak bisa dipungkiri jika Aksa sangat gugup sekarang. Ia takut mendapat penolakan dari istrinya, mengingat selama ini ia selalu melakukan hal itu. Raya tidak akan membalas penolakan yang sering ia lakukan bukan? Tanpa Aksa duga, Raya tersenyum dan mengangguk dua kali. “Iya, Mas. Aku mau.” Senyum Aksa merekah. “Baiklah, ayo kita hidup dengan bahagia mulai sekarang. Aku tahu jika diriku di masa lalu sangat buruk, tapi aku berharap banyak kamu mau memaafkanku.” “Yang lalu, kita biarkan saja berlalu, Mas. Tidak perlu Mas Aksa risaukan lagi,” ucap Raya tenang. “Baiklah. Aku akan pergi sekarang, sampai jumpa nanti siang!” tutur Aksa semangat. Sekali lagi, lelaki itu mencium dahi Raya dan mengelus kepala istrinya. Aksa memasuki mobilnya dna perlahan kuda besinya meninggalkan pekarangan rumah. Hari ini, Aksa memang sengaja membawa mobil sendiri dan tidak dijemput sekretarisnya. Karena sepulang dari kantor ia memiliki rencana lain. *** Dengan suasana hati yang begitu bahagia, Raya mulai memasak makan siang untuk Aksa. Setelah kebingungan hendak membuat menu untuk hari ini, ia memutuskan untuk membuat chicken cordon bleu dengan mashed potato. Itu adalah makanan kesukaannya, ia harap Aksa juga menyukainya nanti. Asik membuat makanan untuk sang suami, tidak terasa jam terus berputar hingga menunjukkan pukul sebelas siang. Bertepatan dengan ia yang sudah selesai memasak semua menu dan memotong beberapa jenis buah. Raya memasukkan hasil masakannya ke dalam kotak bekal, tidak lupa ia menyiapkan air putih. Setelah semua makanan Aksa beres, Raya bergegas menuju kamarnya untuk mandi. Bau badannya sangat tidak enak, karena ia berkeringat banyak sekali setelah masak. Secepat kilat, Raya menyelesaikan kegiatannya bersih-bersih. Gadis itu memakai dress selutut berwarna biru laut. Raya juga melepaskan ikatan rambutnya, dan membiarkan rambut halusnya tergerai. Setelah penampilannya rapi, Raya kembali ke dapur mengambil bekal. Pak Jani selaku supirnya sudah tiba beberapa menit yang lalu. Tidak membuang banyak waktu, Raya segera masuk ke mobil. “Ke kantor Mas Aksa ya, Pak.” “Siap, Nyonya.” Raya membuang pandangannya keluar jendela. Setelah tiga tahun pernikahan, ini kali pertama ia datang ke kantor suaminya. Pernikahan mereka dulu juga dilakukan tertutup, apakah orang-orang di kantor nanti akan mengenalinya? Sibuk melamun, membuat Raya tidak sadar jika mobil sudah berhenti di depan gedung perusahaan milik suaminya. “Makasih Pak Jani. Tunggu sebentar ya, Pak.” “Iya, Nyonya.” Raya bergegas keluar dari mobil dan masuk. Sebetulnya Raya tidak tahu di mana letak ruangan Aksa, lelaki itu tidak memberitahunya. Raya merogoh tas kecil yang ia bawa untuk mengambil ponsel, sayangnya benda pipih itu tidak ada di dalam. Tidak ada cara lain selain menanyakan ruangan Aksa pada resepsionis. “Permisi, ruangan Aksaraya di mana ya Mbak?” “Maksud anda ruangan presdir, Nona?” tanya resepsionis wanita itu. Raya mengangguk. “Iya, benar.” “Apakah sebelumnya anda sudah membuat janji dengan sekretaris presdir?” Raya menggeleng. “Maaf, saya tidak bisa menunjukkannya pada anda. Jika anda ingin bertemu dengan presdir, alangkah baiknya membuat janji terlebih dahulu.” “Tidak perlu membuat janji, saya istrinya.” Resepsionis wanita itu menatap Raya dari atas hingga bawah, raut wajahnya tampak meremehkan Raya dan tidak percaya atas ucapan gadis itu. “Bisakah anda membuktikan pada saya jika anda istrinya? Saya tidak bisa percaya begitu saja,” ujar resepsionis itu menyebalkan. Raya merengut. Dengan apa ia harus membuktikan? Ponsel tidak ia bawa, ia tidak bisa menunjukkan foto pernikahannya dengan Aksa. Tidak kehabisan akal, Raya kembali keluar dan masuk ke dalam mobil. Pak Jani yang sedang bersantai sambil mendengarkan musik tersentak kaget. “Cepat sekali, Nyonya?” “Aku belum kasih bekalnya, Pak. Boleh aku pinjam ponsel Pak Jani? Aku nggak dibolehin masuk, mau telepon Mas Aksa.” Pak Jani segera mengangguk dan menyerahkan ponselnya. Raya segera menelepon Aksa dan syukurnya langsung diangkat oleh lelaki itu. “Ada apa Pak Jani?” tanya Aksa dari seberang. “Ini aku, Mas. Aku udah sampai, tapi resepsionisnya nggak bolehin aku ke ruangan kamu,” adu Raya kesal. “Tunggu sebentar ya, aku akan ke bawah.” “Oke, Mas.” Raya mengembalikan ponsel Pak Jani dan kembali turun dari mobil. Gadis itu melangkah penuh percaya diri masuk ke dalam perusahaan. Mata Raya kembali berhadapan dengan manik sang resepsionis yang menatapnya tajam. Hal itu membuat Raya kesal sendiri, berani sekali dia menatapnya sinis. Tidak butuh waktu lama, Aksa datang dengan langkah lebar. Lelaki itu mendekati Raya dan menatapnya khawatir. “Kamu udah lama di sini?” Raya menggeleng. “Nggak juga sih. Baru sepuluh menitan, Mas.” Aksa mengangguk. “Ya udah, ayo masuk ke dalam.” Raya melirik ke arah resepsionis yang membuatnya kesal, dapat ia lihat wajah wanita itu memucat. Raya tersenyum miring. “Raya?” Raya tersentak. “Eh iya, Mas, ayo!” Aksa mengikuti arah pandang Raya tadi, dalam satu detik ia langsung paham. Aksa menautkan telapak tangannya dengan tangan Raya dan berjalan menuju meja resepsionis. “Ingat baik-baik wajah istri saya. Lain kali jika istri saya bertanya, langsung dijawab dan beritahu dengan baik. Ini peringatan pertama dan terakhir untukmu.” “Ba-baik, Tuan. Tolong maafkan saya Nyonya.” Wanita itu berucap dengan panik. “Iya, saya maafkan. Ambil ini sebagai pelajaran ya.” Wanita itu mengangguk. Aksa menggandeng istrinya berjalan menuju lift. Banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menyapa sang bos dan menanamkan dalam pikiran jika Raya adalah istri Aksa yang harus mereka hormati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN