Suhu tubuh Aksa benar-benar sudah turun ketika sore hari. Di saat Aksa sedang sakit begini, Raya tidak sekalipun meninggalkan suaminya, terlebih lelaki itu kerap kali memanggil-manggil namanya. Membuat Raya harus terus berada di samping lelaki itu.
Sore ini Ayah dan Ibu mertuanya akan datang, Raya menyempatkan diri memesan kue secara online dan camilan lainnya.
Seharian tidak mandi, dan berkeringat karena panas tubuhnya mereda, Aksa meminta untuk mandi. Selagi menunggu Aksa selesai mandi, Raya memilihkan baju dengan bahan lembut untuk dikenakan suaminya. Beberapa menit kemudian Aksa keluar dari kamar mandi, dan disitulah Raya bergegas meninggalkan kamar suaminya.
Raya berjalan menuju dapur, menyiapkan minuman hangat untuk Aksa dan juga untuknya. Raya juga menata macaron yang ia beli secara online ke sebuah piring kecil.
Terdengar suara langkah kaki mendekati dapur, Raya berbalik dan menemukan Aksa tengah menatapnya dengan intens. Tak ada satupun kata yang keluar dari bibir Aksa, lelaki itu hanya menatap Raya lekat.
“Mas Aksa butuh sesuatu?” tanya Raya memecah keheningan.
Aksa tidak membalas, kakinya melangkah mendekati sang istri. Setibanya di depan Raya, Aksa tersenyum lembut. “Ini benar-benar kamu ternyata,” gumamnya. Suara Aksa terdengar sangat lega.
“Iya, Mas. Ini aku, memangnya Mas Aksa pikir siapa?” sahut Raya enteng. Gadis itu mengambil gelas berisi cokelat hangat dan memberikannya pada Aksa.
“Minum dulu, Mas,” ucap Raya.
Aksa menerima gelas itu dan menatap isinya. Sebetulnya Aksa tidak menyukai minuman yang manis-manis, dan Raya malah membuatkannya cokelat panas. “Aku nggak suka yang manis-manis Ray,” ungkapnya pelan.
Kedua manik Raya terbelalak. “Duh, maafin aku, Mas. Aku nggak tahu, kalau gitu nggak usah diminum Mas.”
Baru saja Raya hendak merebut kembali gelas di tangan Aksa, lelaki itu menghindar dan langsung duduk di kursi. Tanpa mengucapkan apa-apa, Aksa meneguk isi gelas dengan cepat.
“Pelan-pelan Mas! Masih hangat,” tegur Raya.
Aksa hanya tersenyum kecil dan meletakkan gelasnya di meja. Perhatian Aksa beralih pada beberapa macaron warna-warni di piring. “Itu kamu buat sendiri?”
Raya menggeleng. “Tadi aku beli waktu Mas tidur,” jawab Raya singkat.
“Mas mau coba?” tawar Raya sembari mengangkat piring macaronnya.
Aksa mengangguk, ia mengambil satu macaron berwarna pink lalu melahapnya. “Enak,” komentar pria itu.
“Mas Aksa suka?”
Aksa mengangguk dua kali kemudian menambah satu lagi.
“Kalau gitu nanti aku beli lagi deh,” gumam Raya.
“Nggak usah dibeli. Kamu buat sendiri aja gimana? Aku penasaran dengan rasanya kalau kamu yang buat,” tutur Aksa memberi saran.
“Tapi kalau kamu nggak mau buat ya nggak apa-apa dibeli,” lanjut Aksa.
Raya tersenyum samar, ini adalah kali pertama Aksa memintanya untuk membuat sesuatu. Sebelumnya lelaki itu sangat jarang makan di rumah dan apa yang ia buat belum tentu dimakan oleh suaminya ini. Sering sekali Aksa sudah makan di luar bersama dengan sekretarisnya, jadi makanan yang ia buat di rumah hanya dihabiskan olehnya seorang diri.
“Okay, nanti aku coba buat.”
Kringg! Kringg!
Bel rumah berbunyi. Raya menduga itu adalah mertuanya. “Sebentar ya, Mas. Kayaknya Ayah dan Ibu sudah datang.”
Aksa terdiam. Ayah dan Ibu?
Bukankah kedua orangtua Raya sudah tidak ada? Kalau begitu… ini adalah orangtuanya.
Jantung Aksa berdetak dengan kencang, seingatnya sang Ayah sudah meninggal beberapa bulan lalu, sebelum perceraiannya dengan Raya.
Tiba-tiba kepala Aksa berdenyut sakit. Rasa pening menguasai kepalanya. Jika benar ia mengulang masa lalu, apa yang harus ia lakukan?
Aksa sangat takut jika tindakannya di masa sekarang akan merusak masa depan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Deg!
Jantung Aksa berdetak cepat. Lelaki itu baru menyadari jika ia bisa saja mengubah masa depannya dan Raya. Jika sekarang ia memperbaiki hubungannya dan Raya, mungkin perceraian di masa depan tidak akan terjadi, dan ia akan hidup bahagia dengan gadis itu.
“Aksa, badan kamu udah mendingan?”
Aksa tersentak, sontak ia menoleh ke belakang. Suara Ibu yang sudah ia hafal di luar kepala entah kenapa membuat hatinya berdesir, terlebih maniknya menatap sang Ayah. Sosok yang ia rindukan selama beberapa bulan terakhir sejak kepergian sang Ayah.
Sebuah tangan terulur, meraba kening lelaki itu. Aksa hanya melirik tangan Ibunya yang sedang memeriksa suhu tubuhnya.
“Syukurlah udah nggak panas lagi,” kata Risa lega.
Aksa bangkit dari kursinya. Ia tahu ini terlambat, tapi lelaki itu tetap melakukannya yaitu mencium punggung tangan Ayah dan Ibunya bergantian.
“Kita ke ruang tengah aja yuk Yah, Bu,” ajak Aksa.
Pasangan paruh baya itu mengangguk setuju, lantas berpindah ke ruangan keluarga. Aksa menemani orangtuanya, sementara Raya kembali ke dapur untuk membuatkan minum untuk mertuanya. Tidak lupa Raya juga menambah kembali jumlah macaron di piring karena Aksa telah memakan sebanyak enam buah.
“Duh, kamu kenapa repot-repot bikin sirup segala, Ray,” ujar Risa menatap minuman yang dibawakan Raya.
“Tidak repot sama sekali, Bu. Ayo diminum,” balas Raya.
Menghargai usaha Raya, kedua orangtua Aksa langsung meminum air yang telah dibuatkan. Perhatian Risa kembali fokus pada putranya. “Oh iya, Aksa. Tadi pagi kamu ada telepon Ibu, aneh sekali kamu menanyakan tanggal dan hari dengan nada panik seperti itu. Memangnya ada masalah apa?”
Raya menatap suaminya dengan penasaran, jujur saja ia ingin tahu alasan dibalik Aksa bersikap aneh sejak pagi tadi. Namun, Aksa tampak enggan menjawab pertanyaan dari Ibunya.
“Semua baik-baik saja Bu.”
“Satu saja yang pasti, jangan terlalu memaksa energimu. Jika lelah, istirahat yang cukup. Jangan sampai jatuh sakit yang membuat kamu meracau tidak jelas seperti tadi,” nasihat Ayah Aksa tegas.
“Iya. Aku akan mengingatnya, Yah.”
Setelah itu, tidak ada lagi pertanyaan untuk Aksa tentang sikap anehnya tadi pagi. Topik berganti pada pembahasan pekerjaan yang asik dibicarakan oleh Aksa dan Ayahnya. Bosan mendengar tentang pekerjaan, Risa mengajak sang menantu menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
“Tadi siang kamu masak apa, Ray?” tanya Risa.
Raya meringis lalu menggeleng. “Aku nggak sempat masak, Bu. Tadi pagi cuma buat bubur untuk mas Aksa, dan siangnya pesan makanan aja,” jawabnya.
“Lho, kenapa nggak sempat masak?”
Raya terdiam. Haruskah ia jujur jika Aksa menahannya selama berjam-jam? Aksa memeluknya sangat erat, sulit bagi Raya untuk lepas. Karena sedikit bergerak saja, Aksa langsung tersadar dan bergumam tidak jelas. Hanya ada beberapa kesempatan saja Raya bisa lepas dari Aksa dan tidak lama setelah lepas dari Aksa, lelaki itu akan memanggilnya dengan mata tertutup dan memeluknya lagi.
“Kenapa Ray? Ada masalah?”
Raya buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Bu. Aku nggak sempat masak karena Mas Aksa dari pagi manja banget. Minta ditemanin terus, jadi aku nggak bisa lama-lama di dapur,” jelasnya cepat. Raya tidak ingin Risa jadi salah paham, menganggap ia memiliki masalah dengan Aksa, ia tidak ingin itu terjadi.
Mulut Risa terbuka. Wanita yang tak lagi muda itu menatap sang menantu tidak percaya. “Aksa manja? Nggak salah dengar Ibu, Nak?” kekehnya.
“Bener, Bu. Aku nggak mungkin bohong. Mas Aksa kayak anak kecil, mau dipeluk terus,” ungkap Raya yang sukses membuat Risa tertawa.
“Sudah lama Aksa tidak bermanja-manja. Mendengarnya langsung dari kamu membuat Ibu merasa gemas. Tapi itu bagus, Aksa jadi bergantung padamu, Ray.”
Raya terdiam dengan wajah yang memerah. “E-emangnya kapan terakhir kali Mas Aksa bertingkah manja, Bu?”
“Tentunya sebelum kalian menikah, saat dia masih kecil. Itu sudah lama sekali,” balas Risa.
Raya mengangguk paham. Jujur saja, kenyataan ini membuat perutnya tergelitik. Raya merasa ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya dan merasa senang karena Aksa bertingkah manja padanya.