Bunyi kicauan burung menggangu tidur Aksa. Perlahan kedua kelopak mata pria itu terbuka. Aksa menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Pria itu bangkit dari ranjang dan melirik ke arah jam di nakas. Ternyata sudah pukul tujuh pagi.
Fokus Aksa beralih ke kalender, matanya melotot kaget melihat tanggal yang tertera di kalender itu. 10 Juli 2017.
Aksa mengucek matanya berkali-kali, memastikan ia tak salah lihat.
Benar, tertera tanggal 10 Juli 2017.
Jantung Aksa berdetak dengan kencang. Ia mundur perlahan dan meraih ponselnya dengan cepat. Keterkejutannya kembali muncul ketika melihat tanggal di ponselnya sama dengan di kalender.
Seingatnya, sekarang ini tahun 2020. Kenapa malah tahun 2017?!
PRANGG!!
Bulu kuduk Aksa sontak berdiri, tubuhnya menegang mendengar suatu kebisingin di luar kamarnya. Apakah ada maling? Perasaan ia hanya sendiri di sini, ia sudah bercerai dengan Raya, dan gadis itu sudah meninggal.
Mungkinkah arwah Raya?
Aksa meneguk salivanya susah payah, pikirannya mulai memikirkan hal yang tidak masuk akal. Tidak mungkin arwah Raya bukan?
Akhirnya Aksa mengambil tongkat bisbol di sudut ruangan kamarnya. Ia melangkah keluar dengan hati-hati. Suara berisik itu kian terdengar, asalnya lantai bawah. Tepatnya di dapur.
Aksa berjalan cepat menuju dapur dan memeriksa. Tubuh pria itu menegang kaku melihat sosok perempuan di depannya sedang memungut pecahan kaca di lantai.
Aksa semakin syok saat perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap dirinya. Itu adalah Raya, gadis itu tersenyum ke arahnya.
“Ada apa, Mas? Pagi-pagi begini Mas mau pergi main bisbol, ya?” tanya Raya sambil melirik tongkat bisbol di tangan Aksa.
“Raya?” gumam Aksa masih dengan wajah yang syok.
“Iya, Mas?” tanya Raya dengan raut wajah kebingungan dan polos.
Aksa berjalan mendekati Raya. Pria itu menangkup wajah istrinya dan menatap manik gadis itu dengan lekat.
Raya yang ditatap intens seperti itu jadi gugup sendiri. “Mas Aksa? Ada apa?”
“Kamu benar Raya?” tanya Aksa dengan nada tidak percaya. Manik pria itu menelisik dalam mengamati wajah cantik di depannya.
“Iya, Mas. Memangnya siapa lagi? Mas kenapa? Nggak biasanya Mas seperti ini,” ucap Raya kebingungan.
Aksa melepaskan tangannya dari wajah Raya dan berjalan mundur. Ia melihat Raya dari atas hingga bawah, itu benar-benar Raya!
Aksa berbalik dan berlari ke kamarnya. Setibanya di kamar, Aksa melihat sekelilingnya dna juga baju yang ia gunakan. Ini adalah baju di malam itu, ketika ia menangis mengingat Raya. Aksa mendekati tempat tidurnya mencari-cari diary milik Raya yang tidak ia temukan.
“Apa yang terjadi?!” pekik Aksa meremas rambutnya.
Tak habis akal, pria itu berjalan menuju meja kerjanya, seingatnya ada koran tentang kecelakaan pesawat.
Ketemu!
Benar, ini berita kecelakaan pesawat. Bahkan di koran itu ada nama Raya.
Aksa merasa dirinya sudah gila. Pria itu meraih ponselnya dan segera menelepon sang Ibu. Aksa segera bertanya tanggal, hari dan tahun berapa sekarang. Risa menjawab pertanyaan Aksa dengan tenang.
10 Juli 2017.
Aksa meremas rambutnya kasar. Ia kembali ke meja kerja untuk mengambil koran tadi. Namun anehnya koran tiba-tiba itu hilang.
Astaga, apa yang terjadi sebenarnya?!
Terdengar suara langkah kaki mendekat, ternyata Raya menyusul Aksa dengan wajah khawatir. “Mas Aksa kenapa? Apa ada masalah? Atau Mas sakit?” tanya gadis itu cemas.
Aksa terpaku diam di tempat melihat Raya yang berdiri dengan nyata di depannya. Dengan mata yang berkaca-kaca, perlahan Aksa mendekati Raya dan kembali memegang pipi gadis itu. Aksa menyentuh wajah Raya dengan lembut seolah memastikan jika yang ia sentuh itu memanglah manusia, bukan hanya ilusinya saja.
Entah kenapa d**a Aksa terasa sesak hingga membuat airmatanya keluar begitu saja. Lelaki itu terisak kuat kemudian terduduk sambil menunduk. Raya memekik pelan dan ikut berjongkok di hadapan Aksa.
“Mas Aksa ada masalah? Atau tadi bermimpi buruk?” tanpa bisa dicegah, Raya langsung memeluk Aksa dengan hangat.
Tangis Aksa semakin menjadi-jadi merasakan pelukan Raya yang dulunya sangat jarang ia dapatkan. Pria itu membalas pelukan Raya tidak kalah erat.
“Maafkan aku Raya, maaf!” gumam Aksa dengan suara parau.
“Mas Aksa nggak ada salah, kenapa minta maaf?” sahut Raya ringan tanpa beban.
Dengan wajah yang memerah, Aksa melepaskan pelukan mereka dan kembali menatap wajah Raya. Tanpa aba-aba, Aksa mendaratkan kecupan di dahi Raya dengan lembut. Membuat Raya menjadi salah tingkah dan pipinya berubah merah merona.
Tidak sengaja, tangan Raya menyentuh pergelangan tangan Aksa, rasa panas ia rasakan. Raya segera memeriksa suhu tubuh Aksa melalui dahi suaminya itu. Panas sekali.
“Astaga, Mas Aksa demam! Ayo pindah ke kasur,” seru Raya. Gadis itu membopong tubuh Aksa menaiki kasur dan menidurkannya.
Aksa hanya diam menurut sembari memperhatikan Raya. Aksa takut jika ia menoleh sedikit saja ke arah lain, maka Raya akan lenyap dari pandangannya.
Ketika Raya hendak bergegas mengambil air hangat dan kain untuk mengompres, tangan Aksa menahan kuat pergelangan tangan Raya agar gadis itu tidak ke mana-mana.
“Mas Aksa lepas dulu, ya? Aku mau ambil air untuk mengompres dahi Mas Aksa,” ujar Raya lembut.
Hati Aksa terasa terhenyuh melihat Raya yang begitu sigap mengurusnya, bahkan gadis itu menatapnya penuh khawatir.
“Jangan pergi…” lirih Aksa dengan suara serak.
“Aku tidak pergi, Mas. Cuma mau ambil air hangat dan kain,” balas Raya pelan.
Aksa bergeming, dan masih tidak mau melepaskan tangannya. Lelaki itu bangkit sedikit dari tidurnya kemudian menarik Raya kepelukannya.
“Tetaplah di sini,” bisik Aksa tepat di telinga Raya.
Raya terdiam, ia tidak memberontak sekalipun. Pelukan Aksa terasa semakin erat, dan Raya hanya diam saja membiarkan Aksa sesuka hati memeluknya. Beberapa menit kemudian, Raya merasa pelukan suaminya mulai mengendur. Raya membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Aksa.
Benar saja, Aksa kembali tertidur dengan nyaman. Dengan perlahan, Raya melepaskan pelukan Aksa dan berdiri. Gadis itu kembali memeriksa suhu tubuh suaminya, masih terasa sangat panas. Dengan segera, Raya keluar dari kamar Aksa mengambil air hangat dan kain bersih.
Setelah mendapatkan apa yang ia butuhkan, Raya kembali ke kamar Aksa dan mengompres dahi suaminya hingga panasnya mulai menurun.
***
Aksa masih tidur, sementara Raya membuatkan bubur untuk suaminya itu. Selagi menunggu bubur buatannya matang, Raya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Memorinya kembali mengingat kelakuan Aksa tadi pagi. Kenapa Aksa bertindak layaknya orang panik ketika melihatnya dan sampai menangis seperti itu? Apakah mimpi yang suaminya dapatkan terlalu menyeramkan?
Tanpa bisa dicegah, pipi Raya tiba-tiba bersemu merah mengingat Aksa mencium dahinya dengan lembut dan terasa hangat. Astaga, kenapa Aksa melakukan hal yang sangat jarang lelaki itu lakukan sebelumnya?
Raya tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara panggilan di ponselnya. Nama Ibu mertua muncul di layar ponsel. Gadis itu langsung menerima panggilan dari sang Ibu mertua.
“Iya, bu? Ada apa?”
“Apa Aksa baik-baik saja, Ray? Entah kenapa perasaan Ibu tidak tenang, apalagi tadi Aksa sempat menelepon Ibu dengan nada panik.”
Raya terdiam, mungkinkah Aksa menghubungi Ibunya ketika berlarian menuju lantai atas?
“Mas Aksa demam, Bu. Tapi aku sudah memberinya kompresan, Bu,” jawab Raya.
“Apa dia kelelahan sekali sampai demam seperti itu?”
“Sepertinya iya, Bu. Tadi malam, Mas Aksa pulang sangat larut,” sahut Raya.
“Baiklah, tolong jaga Aksa ya Ray. Nanti Ibu dan Ayah akan ke sana.”
“Tentu saja, Bu.”
“Kalau begitu, Ibu matikan teleponnya.”
“Iya, Bu.”
Pip!
Sambungan telepon terputus, Raya mematikan kompornya ketika melihat bubur buatannya telah matang.
“Raya! Raya!” suara teriakan dari lantai atas terdengar sangat nyaring, membuat Raya seketika panik dan berlari menuju kamar suaminya.
Cklek!
Ketika ia membuka pintu kamar, Aksa langsung menubruknya dengan pelukan erat seolah tidak akan membiarkannya pergi.
“Mas Aksa?” gumam Raya pelan.
“Jangan tinggalkan aku, Ray,” kata Aksa pelan.
“Aku di sini, tidak ke mana-mana, Mas.” Raya membalas pelukan Aksa dan menepuk-nepuk punggung suaminya dengan lembut.
“Kita kembali ke kasur, ya? Mas Aksa masih butuh istirahat,” ajak Raya lembut.
Aksa mengangguk dan masih tidak melepaskan pelukannya.
Raya meraih air putih di atas nakas dan menyerahkan gelas itu pada Aksa. “Minum dulu, Mas.”
Tanpa melepaskan tangan kirinya di pinggang Raya, Aksa menerima gelas itu dan meneguk airnya hingga tandas lalu mengembalikan gelasnya pada Raya.
Raya melirik jam di dinding yang ternyata sudah pukul setengah sepuluh pagi. Kurang lebih, Aksa sudah tidur selama dua jam.
“Mas makan dulu, ya? Dari pagi perut Mas Aksa masih kosong,” ucap Raya yang dibalas gelengan kepala dari Aksa.
“Di sini aja,” balas Aksa.
Raya menggeleng dengan tegas. “Mas Aksa harus makan. Aku udah buatin bubur tadi, sebentar aku ambilkan dulu.”
Aksa menahan pinggang Raya, tidak membiarkan gadis itu pergi dari kamarnya. Sikap Aksa yang seperti itu tentu membuat Raya gemas sendiri karena Aksa yang mendadak bertingkah manja dan tidak mau ditinggal olehnya.
“Lepasin Mas. Aku cuma mau ke dapur kok, terus balik ke sini lagi,” ucap Raya memberi pengertian pada Aksa agar mau melepaskannya.
Aksa hanya diam, tidak membalas. Tapi pelukannya semakin erat.
“Kalau gitu, Mas Aksa juga ikut aja ke dapur ya?” tawar Raya.
Aksa tampak tertarik dengan penawaran itu, lelaki itu mengangguk pelan. Raya menghela napas lega karena Aksa berhasil dibujuk.
Raya bangkit terlebih dahulu disusul oleh Aksa. Tanpa melepaskan tangannya dari tubuh Raya, Aksa berjalan keluar dari kamar. Sesampainya di dapur, terpaksa Aksa melepaskan Raya dan duduk di kursi menunggu istrinya itu menyiapkan bubur di piring untuknya.
“Duduk di sampingku, Ray,” pinta Aksa ketika ia sudah mendapatkan buburnya dan Raya malah duduk berjauhan darinya.
Tidak ingin ada perdebatan di antara mereka, Raya pun pindah ke samping Aksa.
Aksa menyuap buburnya dengan cepat. Sejujurnya ia tidak terlalu suka dengan bubur, tapi karena Raya telah membuatkannya, ia harus makan. Tapi sekuat apapun Aksa memaksa bubur itu masuk ke dalam perutnya, tekstur bubur yang lembek membuatnya merasa mual.
“Udah, Ray.”
Raya melirik piring di depan Aksa lalu mengangguk, gadis itu tidak akan memaksa suaminya untuk menghabiskan buburnya.
“Sekarang minum dulu Mas. Lalu kembali ke kamar,” kata Raya yang langsung diangguki oleh Aksa.
Setelah puas minum, Aksa memegang tangan Raya dan mengajak istrinya ke kamar. Aksa memaksa Raya agar berbaring di sebelahnya dan menemaninya, untung saja Raya tidak terlalu memprotes. Raya berbaring di samping Aksa tetapi menghadap jendela, membelakangi suaminya. Sedangkan tangan Aksa perlahan melingkari pinggang sang istri.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Aksa kembali memasuki dunia mimpi, meninggalkan Raya yang dilanda kebingungan atas sikap Aksa yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Raya bergerak menghadap ke arah Aksa. Maniknya menatap wajah Aksa yang tampak polos ketika tidur, seperti bayi. Ucapan dan sikap Aksa selama ini terputar di dalam memorinya. Biasanya, Aksa bersikap dingin padanya, tidak pedulian dan enggan bersentuhan dengannya. Tetapi hari ini benar-benar berbeda, seperti bukan Aksa saja.
Walaupun heran, Raya tidak mempermasalahkan perubahan sikap Aksa, justru hati kecilnya merasa bahagia. Apakah setelah tiga tahun pernikahan dinding kokoh yang dibangun Aksa benar-benar runtuh? Bisakah mereka hidup dengan bahagia setelah ini?
Ah, Raya sangat menantikan kebahagian di dalam pernikahan mereka. Ia dan Aksa harus bahagia, terlebih jika ada seorang anak nanti. Raya yakin, mereka akan menjadi keluarga yang bahagia.
Namun, di saat pikirannya terpusat merangkai masa depan dengan harapan di dalam hati. Harapan-harapan yang ia pikirkan mendadak membuat Raya patah semangat. Ia tidak boleh terlalu berharap, karena ia tidak tahu setelah bangun nanti apakah sikap Aksa berubah dingin lagi padanya? Siapa tahu lelaki itu bertingkah manja hanya karena sedang sakit.
Raya tersenyum kecut. Ya, mungkin saja seperti itu. Ia tidak boleh terlalu terbawa perasaan. Nanti hanya hatinya yang merasa sakit.
Raya tidak boleh berharap terlalu banyak. Ia harus menyelamatkan hatinya dari kehancuran yang kapan saja bisa terjadi padanya.