Aksa memanggil jasa cleaning service di rumahnya untuk membereskan barang-barang Raya yang tertinggal. Meskipun sebelumnya mereka telah bercerai, di rumahnya masih ada beberapa barang peninggalan Raya seperti baju, tas dan beberapa pasang sepatu. Aksa akan menyuruh bibi pembersih untuk menyimpan barang-barang itu di lemari.
Aksa memutuskan untuk bekerja dari rumah, alasannya karena ia juga ingin memantau pekerjaan cleaning service yang ia panggil.
“Tuan, saya menemukan buku kecil ini di laci lemari pakaian,” ujar wanita yang menjadi tukang bersih rumah Aksa sehari. Namanya Ita.
Aksa menerima buku bersampulkan bunga daisy, ia menatap buku itu dengan seksama lalu menyuruh Ita kembali melanjutkan pekerjaannya.
Aksa meletakkan laptopnya di atas meja lalu membuka buku bersampul bunga daisy yang cantik. Di halaman pertama ternyata tertulis nama Raya, yang artinya buku ini adalah milik mantan istrinya. Aksa jadi penasaran, apakah ini buku diary kedua milik Raya?
Tanpa membuang banyak waktu, Aksa segera membuka halaman selanjutnya. Terbukti, ini bukanlah sekedar buku diary seperti yang ia duga. Buku itu berisi banyak hal rencana yang akan dilakukan Raya. Tempat-tempat yang ingin gadis itu kunjungi dan juga keinginan gadis itu. Ada beberapa tempat yang telah dicoret yang artinya Raya telah pergi ke tempat itu.
Di halaman terakhir, Aksa tertegun. Halaman itu berisi keinginan Raya untuk memberikan segala harta yang ia miliki ke sebuah panti asuhan bernama Pelita Kasih. Keterkejutan Aksa tidak hanya sampai di situ, tiap deret kata dan kalimat yang Raya tulis sudah seperti wasiat terakhir saja, begitu formal dan serius.
Aksa tersenyum pedih, begitu mulia hati Raya. Raya menuliskan jika ia mati, ia ingin sisa harta yang ia miliki diberikan pada anak-anak yatim. Tanpa berpikir panjang lagi, Aksa meraih ponselnya dan menelepon Salwa, sahabat Raya. Aksa akan mewujudkan keinginan terakhir Raya yang ini.
“Ada apa kau menghubungiku?” tanya Salwa ketus, bahkan tidak berbasa-basi.
“Aku menemukan buku wasiat Raya, datanglah ke rumah. Kau pengacara Raya juga kan? Bawalah beberapa dokumen penting milik Raya,” kata Aksa tegas.
Salwa terdiam beberapa saat. “Bagaimana bisa kau menemukan buku wasiat Raya? Aku tidak percaya padamu,” dengus Salwa jengkel.
Aksa menghela napas berat, tanpa basa-basi lagi ia mengalihkan panggilan telepon menjadi panggilan video. Aksa memperlihatkan buku yang ditemukan Ita tadi. “Ini adalah buku Raya yang tertinggal. Kau bisa melihat isinya.”
Salwa terhenyak, tampak percaya dengan buku yang Aksa perlihatkan. “Baiklah, aku akan ke rumahmu nanti. Alangkah baiknya sekretarismu juga ada di sana. Aku tidak ingin ada di sana seorang diri denganmu,” pungkas Salwa.
“Tentu. Aku akan memanggil Taehoon segera.”
“Aku akan datang ke rumahmu setelah jam makan siang. Sekarang aku masih di kantor.”
“Baiklah, aku akan menunggu.”
“Kalau gitu aku tutup teleponnya!” tanpa menunggu balasan dari Aksa, Salwa langsung mengakhiri panggilan mereka.
Aksa melempar ponselnya asal di sofa, sikap Salwa yang seperti itu membuatnya kesal. Tetapi, Aksa juga sadar betul kenapa Salwa bersikap kasar dan sinis padanya. Gadis itu membencinya, setelah apa yang ia lakukan pada Raya. Jadi wajar, jika ia dibenci.
***
Jam makan siang, Aksa menghubungi Taehoon agar datang ke rumahnya, tidak lupa ia menyuruh sang sekretaris untuk membeli beberapa jenis makanan untuknya. Ita yang bekerja membersihkan barang-barang Raya sudah pulang beberapa menit yang lalu, pekerjaannya sudah selesai, kamar yang dulu di tempati oleh Raya sudah benar-benar bersih. Barang sisa gadis itu sudah tersimpan di dalam kardus dan terletak di lemari.
Taehoon tiba di rumah Aksa bertepatan dengan Salwa yang baru saja keluar dari mobilnya. Sadar akan tatapan sinis dari Salwa, Taehoon hanya bisa melayangkan senyum ramah dan berusaha untuk tidak tersinggung.
“Mari Nona, kita masuk bersama,” kata Taehoon, pria itu mempersilakan Salwa berjalan lebih dulu.
Taehoon menekan bel beberapa kali hingga Aksa membuka pintu. Pria itu langsung mempersilakan tamunya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Aksa menyerahkan buku milik Raya.
“Aku akan memberimu waktu untuk membaca buku itu, sementara aku akan makan siang. Apakah kau sudah makan?” tanya Aksa.
“Sudah. Kau makan saja sendiri,” sahut Salwa tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Gadis itu bersemangat membaca buku milik Raya.
Aksa mengedikkan bahunya, ia mengambil alih plastik di tangan Taehoon dan membawanya ke dapur, tak lupa ia menyuruh Taehoon untuk mengawasi Salwa di ruang tamu.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Aksa sudah selesai makan. Pria itu berjalan kembali menuju ruang tamu, ia melihat Salwa sudah bersimbah airmata membaca buku Raya. Taehoon yang di sebelah gadis itu hanya diam sembari memberikan tisu beberapa kali.
Kepala Salwa terangkat dan maniknya menatap manik Aksa dengan lekat. “Kapan kau menemukan buku ini?”
“Tadi pagi.”
“Ayo kita tunaikan keinginan Raya. Itu adalah pesan terakhirnya, ia ingin kehidupan anak-anak di panti Pelita Kasih berubah lebih baik,” ujar Salwa dengan parau.
“Pertama, aku akan memastikan dulu, berapa sisa harta Raya? Agar bisa diberikan,” ucap Aksa.
Sebagai pengacara sekaligus teman baik Raya, tentu Salwa mengetahui berapa harta peninggalan Raya sekarang. “Dia memiliki simpanan di bank tiga miliar dan lima ratus gram emas,” ucapnya.
Aksa mengangguk paham. Ia tidak menyangka jika Raya masih menyimpan emas yang ia berikan dan juga tidak banyak menggunakan uang bulanan yang ia berikan selama bertahun-tahun.
“Baiklah, kalau begitu, Taehoon akan mengurusnya. Kau urus bersama dia tentang pencairan uang itu di bank. Kita pergi ke panti Pelita Kasih empat hari lagi,” ucap Aksa tegas. Kalimat yang diucapkan Aksa ini seperti sudah pasti dan ia tidak menerima penolakan atau pengunduran hari.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan coba ke bank hari ini. Setelah itu apa yang akan kita lakukan?”
“Aku tahu kondisi panti tidak begitu baik, ada baiknya beberapa uang itu digunakan untuk memperbaiki bangunan panti dan sisanya dibeli kasur atau perabotan lain agar anak-anak nyaman. Sisanya, berikan pada Ibu panti, dia lebih tahu apa yang akan dibutuhkan untuk pantinya.”
Taehoon dan Salwa mengangguk setuju.
“Hari ini aku biarkan kau cuti Taehoon. Kau urus segera bersama Salwa,” tutur Aksa.
Taehoon mengangguk patuh. “Baik Tuan.”
***
Empat hari kemudian…
Sesuai dengan rencana, hari ini Aksa, Taehoon dan juga Salwa akan ke panti Pelita Kasih. Tidak hanya bertiga, Risa pun turut hadir bersama Aksa. Mendengar permintaan Raya terakhir yang tercatat dibuku kecilnya, membuat Risa ingin ikut dengan putranya menyerahkan harta Raya pada panti.
Panti Pelita Kasih adalah panti yang dulunya sering didatangi oleh Raya dan Salwa. Jadi tidak heran, ketika mereka tiba, anak-anak langsung berlari menghampiri Salwa dan memeluk gadis itu.
“Wah akhirnya kak Salwa datang lagi! Kami rindu kakak!” seru salah satu anak laki-laki.
Seruan itu diangguki oleh yang lain. Tapi ada satu anak perempuan yang tidak ikut memeluk Salwa dan menyambut gadis itu. Nama anak itu adalah Felicia.
Felicia menatap rombongan yang datang ke panti, tapi ia tidak melihat kehadiran perempuan yang selalu ia tunggu-tunggu, yaitu Raya. “Kak Salwa kenapa datang tanpa mengajak kak Raya?” tanyanya polos.
“Oh iya, aku tidak melihat kak Raya!” pekik bocah laki-laki yang baru sadar tidak ada Raya di sekitar mereka.
Anak lainnya juga ikut bertanya-tanya. Senyum kecut terlihat di wajah Salwa, kepalanya tertunduk menatap rumput. “Maaf ya? Kak Rayanya sudah tidak bisa lagi datang ke sini,” ujarnya lirih.
Tidak hanya Salwa, Aksa dan Risa serta Taehoon pun ikut menundukkan kepala mereka. Rasa sesak melingkupi d**a mereka. Anak-anak begitu menyukai Raya, tapi sayangnya Raya tidak akan bisa lagi datang ke panti ini.
“Kak Raya sakit, ya?” tebak Felicia.
“Kalau sakit, ayo kita jenguk bareng-bareng. Aku kangen banget sama Kak Raya cantik,” lanjut Felicia. Saran darinya yang ingin menjenguk Raya, tentu disetujui oleh anak-anak yang lain.
“Anak-anak, coba lihat. Paman itu membawakan banyak sekali hadiah untuk kalian. Apakah kalian ingin membuka kado?” tanya Salwa berusaha berteriak dengan riang dan mengalihkan perhatian anak-anak.
Usaha Salwa berhasil, semua mata anak-anak tertuju pada Taehoon yang tersenyum ramah. Sontak mereka berlari menghampiri Taehoon yang membuka bagasi mobil di mana banyak kado berada. Di saat semuanya fokus pada hadiah, Felicia tidak demikian. Anak perempuan yang sangat menyayangi Raya itu tetap pada posisinya dan menatap Salwa dalam diam.
“Kak Salwa, beritahu aku di mana kak Raya berada? Aku ingin melihatnya,” pinta Felicia memelas.
Salwa terhenyak, bingung hendak merespon pertanyaan dari Felicia. Melihat kebingungan yang melanda Salwa, Risa pun berinisiatif merespon.
“Nama kamu siapa sayang?” tanya Risa ramah.
“Felicia Tante,” ucapnya pelan.
“Panggil Oma saja. Kita main ke sana yuk!” Risa menunjuk taman panti yang tak jauh dari mereka.
“Felicia mau kak Raya,” ujar Felicia keras kepala.
“Nanti Oma kasih tau di mana kak Raya berada. Sekarang temani Oma duduk di ayunan itu ya?” bujuk Risa masih dengan wajah ramah dan suaranya penuh akan kelembutan.
Felicia menatap Salwa dan wanita yang menyuruhnya memanggil Oma. Ketika Salwa mengangguk, gadis kecil itu menerima uluran tangan Risa. “Oke, Oma.”
“Kalian pergilah bertemu pengurus panti, aku dan Taehoon akan mengurus anak-anak ini,” suruh Risa pada Aksa dan juga Salwa.
Aksa yang sedari tadi hanya diam langsung mengangguk. Pria itu berjalan mengikuti Salwa menuju ruang pengurus panti asuhan.
Kedatangan mereka, diterima dengan baik oleh pengurus panti. Pengurus panti asuhan bernama Anne mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Salwa tentang Raya. Tidak hanya Salwa, Aksa pun juga ikut berbicara.
Seperti yang sudah diduga, Anne begitu terkejut mendengar kabar kepergian Raya. Wanita itu juga tidak menyangka jika salah satu korban dari pesawat jatuh yang ia lihat di televisi tempo lalu adalah Raya.
Aksa mengurus tentang pesan terakhir Raya yang ada dibuku, seluruh harta yang dimiliki oleh Raya akan diberikan sepenuhnya untuk panti asuhan. Anne tidak kuasa menahan tangis atas kejadian yang menimpa Raya dan tidak percaya dengan kebaikan yang diberikan oleh gadis malang yang sudah tidak ada itu.
Aksa dan Salwa meminta pada pengurus panti untuk memberitahu anak-anak dengan baik mengenai Raya. Agar mereka tulus mendoakan Raya yang sudah pergi. Semua orang di panti pun tahu, jika sosok yang anak-anak kagumi adalah Raya.
Aksa merasa sedikit lega di hatinya, karena melihat kebahagian yang Raya berikan pada panti ini. Ia juga tidak menyangka jika Raya dulunya sering mengunjungi panti ini. Raya tidak pernah bercerita apapun padanya, dan salahnya juga yang tidak bertanya tentang keseharian yang Raya lalui. Hubungan pernikahan mereka memang sekaku itu, dan Aksa masih menyesalinya sampai sekarang.
***
Urusan panti asuhan telah selesai, permintaan Raya berhasil Aksa, ibunya dan juga Salwa penuhi. Aksa sedang berbaring di atas kasurnya, ia memikirkan Raya lagi. Aksa berharap di surga sana, Raya tersenyum bahagia melihat anak-anak di panti yang begitu bahagia mendapatkan banyak hadiah hari ini.
Meskipun ia merasa senang, Aksa juga merasa sedih. Lagi-lagi ia sangat menyesali hubungan pernikahan mereka yang kaku. Andai saja ia terbuka pada Raya, dan gadis itu juga terbuka padanya. Pastilah hubungan mereka berjalan dengan harmonis.
Trauma Aksa di masa lalu sebelum bertemu dengan Raya, juga benar-benar membuatnya memiliki rasa penyesalan terbaru. Seandainya ia berani melangkah ke depan tanpa memikirkan masa lalunya yang buruk, pasti semua akan baik-baik saja.
Andai Aksa lebih berani dalam berhubungan dengan perempuan. Andai saja ia tidak menganggap pernikahan ini enteng hanya karena perjodohan dari mendiang Ayahnya. Pasti semuanya berbeda.
“Raya, aku harap kamu di sana memaafkanku. Jika waktu bisa diputar kembali, aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik lagi dan berusaha mencintaimu seperti kamu mencintaiku,” gumam Aksa.
Perlahan, rasa kantuk mulai menyerang Aksa, hingga kedua matanya tertutup dan ia memasuki dunia mimpi.