Dua minggu telah berlalu, hubungan Aksa dan Raya semakin dekat. Meskipun masih ada batas di antara mereka di malam hari, yaitu masih tidur secara terpisah. Tapi hari ini, Aksa berniat menghilangkan batasan itu dengan membawa Raya pindah ke kamarnya.
Hari ini adalah hari minggu, Aksa tidak bekerja. Di pagi hari, lelaki itu sudah mendengar suara berisik di dapur. Raya tengah sibuk menyiapkan sarapan. Aksa berjalan turun menuju dapur.
"Ray, kamu masak apa?"
"Pancake. Soalnya aku lagi kepengen itu, Mas," jawab Raya tanpa menatap suaminya.
Aksa mengangguk kecil. "Aku mau ngomong sesuatu."
"Apa, Mas?"
"Pindah ke kamarku mulai hari ini, kamu mau?" tanya Aksa, sedikit cemas Raya akan menolaknya.
Aksa terkesiap saat Raya berhenti menatap teflon dan berbalik memandang ke arahnya.
"Kenapa tiba-tiba?" Raya bertanya balik.
Aksa menggaruk kepala belakangnya dan menatap ke arah lain. "Emm, sebenarnya tidak tiba-tiba. Aku sudah lama memikirkan ini. Saat kita memutuskan untuk menjalani pernikahan dengan normal, aku berharap di malam hari kita tidak memiliki batasan lain."
Aksa kemudian melirik Raya. "Kalau kamu keberatan nggak masalah," lanjut Aksa cepat.
Aksa kembali mengalihkan pandangannya dari Raya. Ia yakin sekali Raya akan menolaknya, mengingat gadis itu berpikir sangat lama.
Tanpa Aksa duga, Raya memberikan jawaban yang lain dari yang ia pikirkan.
"Oke, Mas. Nanti aku beresin barang-barang aku."
Senyum Aksa mengembang. "Aku bantu sekarang ya? Kamu masak aja."
"Bersama aja nanti, Mas."
"Baiklah," balas Aksa menyerah.
Aksa duduk di kursi pantry dan menatap Raya yang sibuk membalikkan pancake di teflon. Sepuluh menit kemudian, adonan pancake sudah habis. Raya menata hasil pancake buatannya di piring dan meletakkannya di hadapan Aksa.
"Mas mau pakai topping apa?" tanya Raya. Gadis itu beralih ke kulkas dan mengambil kotak es krim untuk dirinya sendiri.
"Kamu yakin pagi-pagi pakai es krim?"
Raya nyengir kuda. "Enak soalnya, Mas."
"Tapi jangan kebanyakan ya? Kalau aku pakai madu aja."
Raya mengangguk patuh lalu mengambil botol madu di kulkas. Raya menuangkan sedikit madu pada atas permukaan pancake. "Mau ditambahin strawberry, Mas?"
"Nggak usah."
"Oke!"
Selesai menyiapkan makanan untuk Aksa. Raya menghias pancake di piringnya sendiri, yaitu dengan memakai es krim dan juga buah strawberry.
Keduanya makan dalam keadaan hening. Hingga Raya teringat akan sesuatu.
"Oh iya, Mas. Tadi Ibu ada telepon, menyuruh kita main ke sana karena udah lama nggak ke sana. Mas Aksa nggak sibuk kan?"
"Hari minggu aku santai," balas Aksa. Pria itu tampak berpikir sebentar. "Selesai kita beres-beres nanti, kita ke rumah Ibu," lanjutnya.
Raya mengangguk setuju dan kembali melahap pancakenya.
Lima belas menit kemudian, keduanya telah selesai makan. Raya segera membersihkan peralatan masak dan makan yang telah digunakan. Sedangkan Aksa berjalan menuju kamar Raya mengambil sesuatu yang bisa ia pindahkan segera.
Untuk awal, hanya tas-tas pemberiannya selama tiga tahun terakhir yang Aksa pindahkan. Memang terkadang saat perjalanan bisnis ke beberapa kota hingga luar negeri, Aksa ada membeli sesuatu sebagai hadiah untuk Raya. Tapi tampaknya hadiah yang ia berikan belum terpakai oleh istrinya itu. Semua masih terlihat baru di lemari walk in closet.
Aksa mengambil beberapa tas dan sepatu dan memindahkannya ke walk in closet yang ada di kamarnya.
"Aku akan merapikan baju-baju dulu, Mas," ujar Raya tiba-tiba muncul di belakang Aksa.
"Iya. Aku akan memindahkan tas, sepatu dan barang-barang yang ada di atas meja rias."
Pasangan itu saling membantu untuk memindahkan barang. Aksa juga memindahkan meja rias di kamar Raya ke kamarnya karena di kamarnya sendiri tidak ada meja rias.
Setelah beres, Aksa bantu mengangkut pakaian-pakaian yang telah disisihkan oleh Raya. Walk in closet di kamar Aksa sangat luas, dan masih banyak ruang yang tersisa. Karena memang kamar ini di design sebagai kamar utama untuk suami dan istri.
***
Saat jam makan siang, Aksa dan Raya sudah selesai memindahkan barang. Tidak mau membuat Raya semakin lelah, Aksa segera memesan makan siang secara online.
Selagi menunggu istrinya selesai mandi, Aksa menunggu di ruang tamu lantai bawah. Perkiraan aplikasi, makanan mereka akan tiba dalam waktu tiga puluh menit lagi.
Aksa memainkan ponselnya. Ia jadi teringat kejadian di masa depan yang pernah ia lalui, dibeberapa kesempatan Aksa terkadang melihat foto pernikahannya. Di ponselnya ini ada sebuah folder foto khusus hari pernikahan mereka. Pandangan Aksa juga beralih pada dinding yang kosong dan hanya ada dipajang tiga lukisan abstrak. Bukankah lebih baik memajang foto pernikahan mereka di dinding?
Aksa tersenyum kecil, ia merasa idenya sangat bagus. Lelaki itu mencari kontak Taehoon dan langsung menghubunginya.
"Taehoon, aku akan mengirimkan beberapa gambar padamu. Aku ingin gambar itu dicetak besar-besar agar bisa di letak di dinding," ucap Aksa to the point.
"Apakah butuh sekarang, Tuan?"
"Tidak. Tapi aku ingin foto itu jadi dalam empat hari."
"Baik, Tuan. Saya akan segera mencetaknya di percetakan."
"Baik, aku tunggu hasilnya."
Aksa memutuskan sambungan teleponnya dan mulai memilih foto apa yang harus ia kirim pada Taehoon. Tapi melihat ekspresi wajahnya difoto saat pernikahan sangat tidak bagus. Kenapa ia berekspresi sangat datar waktu itu?
Hanya Raya yang tersenyum cerah dan bahagia. Tentu saja juga terlihat cantik.
Aksa menghela napas gusar. Ia sendiri tidak menyukai ekspresinya. Melihat wajahnya sendiri, entah kenapa membuat Aksa jadi kesal.
"Mas kenapa?" Tiba-tiba Raya sudah berdiri di depan Aksa dengan raut wajah bingung.
Aksa gelagapan sendiri dan tidak sempat mematikan layar ponselnya. Raya yang penasaran, sudah terlanjur melihat ke layar ponsel sang suami.
"Itu kan foto pernikahan kita," gumam Raya.
"Iya," lirih Aksa.
Raya memiringkan kepalanya ke kiri. "Ngapain Mas lihat foto itu?"
Aksa berdeham. Sepertinya ia harus menceritakan keinginannya pada Raya.
"Aku ingin mencetak foto ini dan dipajang di dinding. Tapi tidak ada satupun foto yang bagus. Wajahku di sini terlihat menyebalkan," ungkap Aksa geram sendiri.
Raya mengambil ponsel Aksa dan melihat-lihat galeri foto suaminya. Senyumnya terbit ketika melihat folder khusus foto pernikahan mereka tiga tahun yang lalu. Ada ratusan foto, dan Aksa menyimpan semua itu. Hati Raya terasa hangat melihat isi galeri di ponsel suaminya.
"Menyebalkan bagaimana, Mas? Kelihatan ganteng kok," ucap Raya memuji.
"Ganteng dari mana? Lihat tuh ekspresinya, masa datar."
Raya tertawa. Gadis itu tidak sedih menyadari bahwa ekspresi Aksa terlihat tidak suka atas pernikahan mereka. Jelas sekali, Aksa ingin cepat-cepat mengakhiri resepsi kala itu.
"Terus gimana? Nggak jadi dicetak?" tanya Raya menahan senyumnya.
Raut wajah Aksa tampak kecewa dan kesal dalam waktu bersamaan. Ekspresi cemberut Aksa sukses membuat Raya tak bisa menahan tawa.
"Kita foto lagi, Mas Aksa mau?" tawar Raya. Gadis itu berusaha menghilangkan ekspresi sedih dan cemberut sang suami.
Tawaran dari Raya terasa menggiurkan untuk Aksa. Tanpa pikir panjang, lelaki itu mengangguk setuju. "Mau!"
"Ya udah, besok kita foto Mas. Aku masih menyimpan gaun pernikahan di lemari. Aku bisa memakainya nanti saat foto."
Raya masih ingat jelas, saat itu gaun pernikahannya hanya dipakai sekali dan saat ini masih tersimpan rapi di lemari kamarnya. Ada satu lemari kecil di kamarnya yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan gaun cantik tersebut.
Kedua sudut bibir Aksa melengkung ke atas. Jelas sekali ia senang. "Okay! Aku juga masih menyimpan tuxedo yang dipakai saat resepsi."
Melihat Aksa yang antusias, membuat Raya juga ikut senang. "Nah, sekarang jangan cemberut lagi."
Aksa terkekeh. Apakah wajahnya tadi terlihat cemberut? Aksa tidak menyadarinya.
"Baiklah aku akan mandi sekarang. Kamu tungguin makanannya ya? Sebentar lagi sampai. Ambil saja uangnya di sini," ujar Aksa sambil menyerahkan dompetnya pada Raya.
"Oke, Mas!"
Aksa bangkit dari sofa dan mencuri kecupan di pipi istrinya dengan cepat. Setelah berhasil, lelaki itu langsung lari menuju kamarnya. Meninggalkan Raya yang merasa terbang dan seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.
Kenapa Aksa bisa berubah seromantis ini sih? Raya jadi tidak bisa menahan perasaannya lagi. Rasanya, Raya ingin terus mendapatkan kasih sayang dan cinta dari suaminya.