Aksa dan Raya berkunjung ke rumah orangtua Aksa di sore hari seperti rencana sebelumnya. Raya memandang keluar jendela, jalanan yang tidak terlalu ramai membuat perjalanan terasa begitu cepat. Keduanya hening, Aksa fokus berkendara sedangkan Raya sibuk dengan pikirannya.
Sesampainya di rumah mertuanya, Raya bergegas turun dan mengambil plastik berisi kue dan camilan sehat lainnya di jok belakang.
Aksa menyusul istrinya, dan mengambil alih plastik itu. "Aku aja yang bawa."
Raya mengangguk singkat dan melanjutkan langkahnya menuju pintu lalu menekan bel. Beberapa detik kemudian pintu dibuka oleh Lia, asisten rumah tangga di rumah itu.
"Selamat datang, Tuan, Nyonya," ucap Lia seraya membuka pintu dengan lebar.
"Terimakasih. Ibu ada di mana, Lia?" tanya Raya.
"Tuan dan Nyonya besar ada di ruang keluarga, Nyonya," jawab Lia.
Raya dan Aksa segera berjalan menuju ruang keluarga.
"Ayah, Ibu," sapa Aksa. Lelaki itu mulai mencium punggung tangan kedua orangtuanya, kemudian diikuti oleh Raya.
Aksa meletakkan plastik yang ia bawa tadi di atas meja lalu duduk di samping Raya.
"Jadi, kapan Ibu bisa punya cucu?" tanya Risa dengan senyum lebar. Menatap putra dan menantunya bergantian.
Aksa dan Raya saling melirik. Mereka baru saja tiba, tapi Ibunya sudah menanyakan hal yang sulit mereka jawab. "Nanti, Bu. Kalau sudah waktunya," jawab Aksa.
"Ibu kira kalian ke sini dengan membawa berita bahagia," ujar Risa pelan.
"Nanti, Bu. Jika Tuhan berkehendak, anak kami nanti akan hadir di rahim Raya." Aksa meraba perut datar sang istri sembari tersenyum kecil.
Raya terkesiap, dan menepis pelan tangan Aksa karena malu. Aksa hanya terkekeh melihat wajah Raya.
"Ibu harap secepatnya ya. Jangan kalian tunda-tunda lagi."
"Bu, jangan mendesak mereka dong." Ayah Aksa mulai bicara. Terlihat, jika pria paruh baya itu berpihak pada putranya.
"Ibu nggak mendesak, cuma nanya doang," sahut Risa membela diri.
"Iya, iya, terserah." Ayah Aksa kembali menyahuti dengan malas.
Topik obrolan mereka pun berubah dengan pembicaraan bisnis yang dimulai oleh Ayah Aksa.
***
Setelah makan malam dan mengistirahatkan perut mereka sejenak setelah makan, Aksa dan Raya memutuskan pulang ke rumah mereka.
Tidak ada obrolan di dalam mobil, hanya terdengar suara radio. "Ray, gimana menurut kamu?" celetuk Aksa tiba-tiba.
"Gimana apanya, Mas?"
"Pertanyaan Ibu tadi, ehem." Pakai ehem, supaya Aksa tidak terlihat gugup dan salah tingkah.
Raya terdiam, tentang anak ya? Sejujurnya Raya ingin memiliki anak bersama Aksa. Tapi ia masih belum siap, apalagi hubungan mereka baru saja terjalin dengan baik dan harmonis.
"Kita lihat nanti ya, Mas. Untuk sekarang, jujur aku masih belum siap," ungkap Raya dengan lirih.
Aksa tersenyum. Seolah tidak keberatan dengan balasan yang baru saja ia dengar. Tangan lelaki itu terulur ke puncak kepala Raya dan mengelusnya.
"Ya, kita ikuti saja alurnya. Pelan-pelan saja hingga kamu siap," kata Aksa lembut.
Raya tersenyum. "Makasih, Mas."
Bertepatan dengan pembicaraan mereka selesai, mobil tiba di garasi rumah. Aksa dan Raya segera turun dan masuk ke dalam. Kini baru pukul sembilan malam, tapi keduanya sudah memasuki kamar yang sama.
"Mas mau mandi?" tanya Raya melihat Aksa yang mengambil bajunya dari lemari.
"Nggak, cuma ganti baju."
Raya mengangguk paham. Membiarkan suaminya ke kamar mandi. Sedangkan ia menuju walk in closet untuk berganti baju juga.
Aksa lebih dulu selesai memakai piyamanya dan berbaring di ranjang, menunggu Raya. Lima menit kemudian, Raya keluar dari walk in closet dan terdiam di tengah-tengah kamar.
"Kenapa diam Ray? Sini." Aksa melambaikan tangannya menyuruh Raya segera mendekat.
Alasan langkah kaki Raya terhenti adalah karena ia gugup, ini adalah kali kedua mereka tidur seranjang. Yang pertama kali saat di kantor. Waktu itu Raya tidak terlalu masalah karena ia terlanjur mengantuk. Tapi kali ini, akan berbeda.
"Tidur di sini, Ray," ujar Aksa menepuk-nepuk sisi kanan ranjang yang kosong.
"Iya," sahut Raya pelan.
Perlahan, Raya naik ke ranjang dan langsung tidur di samping Aksa. "Mas Aksa udah ngantuk?"
Aksa mengangguk. "Iya, harus tidur sekarang. Soalnya besok pagi ada rapat," balas Aksa.
Raya mengangguk samar. Gadis itu menundukkan kepalanya dan mulai memejamkan matanya. Aksa sedari tadi mengamati wajah istrinya.
"Aku boleh peluk kamu?" tanya Aksa.
Blush.
Kedua pipi Raya memerah. Dengan samar Raya mengangguk.
Aksa mematikan lampu kamar dan kembali ke ranjang, setelah itu ia memeluk Raya. Aksa mencium puncak kepala istrinya dan memejamkan matanya.
"Selamat malam, sayang." Ucapan selamat malam yang begitu santai Aksa ucapkan namun berefek sangat besar untuk Raya.
"M-malam juga, Mas."
Beberapa menit kemudian, Aksa terlihat sudah memasuki dunia mimpi. Sedangkan Raya tidak bisa memejamkan matanya akibat panggilan sayang dari Aksa barusan. Raya membuka matanya, wajahnya sangat dekat dengan wajah suaminya. Aksa benar-benar sudah tidur nyenyak.
Tangan Raya terulur menyingkirkan rambut yang menutupi mata Aksa dengan perlahan.
"Jujur, aku udah suka sama Mas Aksa dari tiga tahun lalu. Kalau sikap Mas Aksa manis seperti ini, nggak lama lagi kayaknya aku beneran jatuh cinta," ungkap Raya pelan.
"Aku berharap sikap Mas Aksa nggak berubah dingin lagi seperti dulu," lanjutnya. Raya berani berbicara seperti itu, karena Aksa sudah tidur.
"Aku boleh cium pipi Mas Aksa?" tanya Raya pelan. Kedua manik Raya menatap wajah Aksa yang tampak damai.
"Boleh."
Raya tersentak kaget. Matanya melotot horor saat kedua mata Aksa terbuka lebar. "Mas Aksa?!" pekiknya.
Wajah Raya sangat merah, ia menutupi wajahnya dengan tangan. Walaupun lampu kamar temaram, tetap saja Raya malu dan tidak ingin Aksa melihat wajahnya.
Aksa melebarkan senyumnya melihat Raya yang salah tingkah.
"Kok Mas Aksa bangun?! Ish, nyebelin banget! Aku malu tahu," keluh Raya menarik selimut hingga menutupi seluruh kepalanya.
Aksa tertawa renyah lalu memeluk Raya dengan gemas. Sejujurnya ia sudah hampir jatuh ke dunia mimpi, hanya saja saat mendengar suara Raya kesadarannya kembali dan membuatnya menahan diri untuk tidak membuka matanya dan memilih untuk mendengar curhatan dari istrinya.
"Kenapa malu? Sini, cium pipi aku coba," tagih Aksa. Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Raya.
Raya menggelengkan kepalanya dan tetap bersembunyi dibalik selimut. Raya merasa sudah tidak memiliki muka lagi untuk berhadapan dengan suaminya.
Aksa terkekeh. Dengan kekuatan yang ia miliki, lelaki itu menarik selimut yang membalut tubuh istrinya. Usahanya berhasil, selimut itu tersingkap.
Aksa dan Raya saling bertatapan. Degup jantung kedua insan itu berpacu dengan cepat.
Perlahan wajah Aksa mendekat, ia mengecup singkat pipi Raya yang bersemu.
"Nah, gantian. Sekarang kamu bisa cium pipiku," kata Aksa sambil tersenyum.
Raya menutup wajahnya lagi dengan tangan, ia masih merasa sangat malu.
"Ayolah, Ray. Selama ini aku selalu melakukannya lebih dulu, sekarang giliranmu," bujuk Aksa memelas. Seperti sangat ingin sekali Raya melakukan itu untuknya.
Mata Raya berubah memandang Aksa sebal karena terus dibujuk. Apakah lelaki itu sengaja pura-pura tidur tadi agar terjadi hal ini?
"Sekali aja," lirih Raya membuat senyum Aksa mengembang.
"Iya, sekali."
Dengan cepat, Raya mengecup pipi Aksa. Bibirnya menempel pada pipi Aksa hanya satu detik saking cepatnya.
"Udah, sekarang tidur. Besok pagi Mas Aksa harus bangun cepat. Awas aja Mas Aksa pura-pura tidur lagi. Aku balik tidur ke kamar yang lama," dengus Raya sebal dan mengancam. Gadis itu membalikkan tubuhnya memunggungi Aksa, ia tidak mau Aksa melihat wajahnya yang memerah menahan malu.
"Iya, sayang, iya." Aksa mengeratkan pelukannya di pinggang Raya.