Seperti biasanya, Raya akan mengantarkan makan siang untuk Aksa ke kantor. Raya sudah menyiapkan menu makan siang kali ini, yaitu masakan asli Indonesia dengan resep Ibu panti yang dulu mengajarkannya. Raya berharap Aksa menyukai menu kali ini.
Raya berjalan memasuki mobil dan Pak Jani langsung mengemudikan mobilnya menuju kantor Aksa. Sesampainya di kantor, satpam penjaga menyapa Raya dengan ramah. Seluruh orang sudah tahu siapa Raya.
Raya melangkahkan kakinya menuju lift. Pupil matanya sedikit membesar ketika melihat Samuel berada di dalam lift.
"Nggak mau masuk, Ray?" tanya Samuel heran.
"Ini masuk!" Bergegas, Raya masuk ke dalam.
Raya menghadap ke depan, mengabaikan Samuel yang berada di belakangnya. Di antara seluruh teman Aksa, hanya Samuel yang Raya tahu. Tapi berdua seperti ini, membuatnya canggung.
"Makan siang untuk Aksa?" tanya Samuel berbasa-basi.
"Iya." Raya menjawab kalem.
"Wah, enaknya jadi Aksa. Tidur ada yang temenin, makan disiapkan, segalanya disiapkan istri," tutur Samuel dengan nada suara yang iri.
Raya terkekeh geli. "Kamu bisa menikah, dan merasakannya sendiri nanti."
Samuel tersenyum kecil. "Nikah? Nggak dulu deh."
Ting!
Obrolan mereka terhenti karena lift yang sudah berhenti di lantai sepuluh, di mana ruangan Aksa berada.
"Aku duluan," ucap Raya lalu melangkahkan kakinya keluar.
"Nyonya," sapa Taehoon yang kebetulan lewat.
"Apa Aksa ada di dalam, Taehoon?"
"Ada, Nyonya. Saya baru saja keluar dari ruangan Tuan. Beliau menunggu anda," jawab Taehoon.
"Baik, terimakasih." Raya kembali melanjutkan langkah menuju ruangan sang suami.
Cklek!
Saat pintu dibuka, perhatian Aksa langsung tertuju ke pintu. Senyumnya melebar. Pria itu memberi kode pada Raya agar mendekat. Namun Raya masuk ke dalam dan langsung duduk di sofa menata makan siang di atas meja.
Aksa mendengus sebal. Pria itu bangkit dan langsung menghampiri Raya.
"Aku sudah menyuruhmu mendekat padaku, tapi kamu malah ke sofa," sungut lelaki itu.
Raya terkekeh geli. "Iyakan aku mau menata ini dulu, Mas."
Aksa menunggu Raya menyiapkan makanan untuknya lalu ia mulai melahap makanan buatan sang istri. Menu Raya kali ini adalah rendang, cah kangkung dan juga buah apel sebagai pencuci mulut.
"Gimana, Mas? Enak?"
Aksa mengangguk dengan mulut yang penuh.
"Masakan kamu yang terenak!" puji lelaki itu saat mulutnya sudah kosong.
Perasaan Raya jadi melambung tinggi, senang karena masakannya dipuji oleh sang suami.
Lima belas menit kemudian makanan yang tersaji di meja sudah habis tak bersisa.
"Makasih, sayang," ucap Aksa seraya membubuhkan kecupan singkat di pelipis Raya.
"Baguslah, Mas Aksa suka dengan makanannya." Raya merapikan peralatan makan yang digunakan Aksa dan meletakkannya kembali ke paper bag.
Setelah Raya selesai dengan aktivitasnya, Aksa menarik sang istri ke pelukannya.
"Mas?!"
"Sebentar saja. Sebenarnya aku lelah, biarkan aku mengisi tenaga dulu."
Raya menarik sudut bibirnya ke atas. Makin hari suaminya ini membuat detak jantungnya tidak aman. Berlaku romantis di mana saja dan kapanpun.
"Habis dari sini kamu ngapain?"
"Mau ke rumah Salwa, Mas. Udah lama nggak ketemu dia," jawab Raya jujur.
"Dia nggak sibuk?"
Raya menggeleng. "Hari ini dia libur."
"Di antar Pak Jani 'kan?" tanya Aksa memastikan.
"Iya, Mas. Kenapa?"
Aksa menggeleng samar. "Nanti pulang, aku jemput ya?"
"Apa nanti nggak capek? Rumah Salwa jauh lho."
"Nggak apa, nggak capek sama sekali."
Raya mengangguk paham. "Okay. Mas tahu di mana rumahnya?"
Aksa tersentak. Lelaki itu menggaruk kepala belakangnya dan menatap Raya dengan cengiran. "Nggak tahu."
"Astaga, aku pikir Mas Aksa tahu. Kalau gini mah, nggak usah jemput Mas."
"Kamu bisa share lokasi nanti, aku bisa menemukan rumahnya."
"Oh ya udah oke."
Keduanya kembali diam dengan posisi Aksa masih memeluk Raya dari samping.
"Mas, isi tenaganya udah?"
Aksa menggeleng samar. "Belum."
"Tapi jam makan siang udah habis."
"Sebentar lagi."
Cklek!
"Eh, sori, sori. Nanti aku balik lagi." Sang pelaku yang membuka pintu tanpa diketuk bergegas keluar dan menutup pintu.
"Kayaknya Samuel ada keperluan sama kamu, Mas," ujar Raya.
"Biarin aja, nanti juga dia balik lagi."
Raya menyerah, membiarkan suaminya lebih lama memeluk dirinya.
***
Raya sudah tiba di rumah Salwa. Sahabatnya sejak kecil itu memang menyewa apartemen untuk ditinggali. Keduanya langsung berpelukan saat sudah bertemu, sangat lama karena memang sudah lama sekali tidak berjumpa.
"Kangen banget," ucap Salwa memeluk Raya erat.
"Aku juga. Kamu sih, sibuk terus. Susah dijumpai," gerutu Raya.
"Ya gimana lagi Ray. Kerjaan banyak, dan klien semakin banyak," sahut Salwa lalu melepaskan pelukan mereka.
"Kok bajumu bau parfum cowok, Ray?!" pekik Salwa. Gadis itu kembali mengendus bau Raya untuk memastikan.
"Sebelum bertemu denganku, kamu ketemu lelaki ya?" tebak Salwa dengan mata yang memicing curiga.
Raya mengangguk santai.
"Astaga Raya, ingat kamu itu udah nikah."
"Aku ketemu Mas Aksa, Sal. Tadi ngantar makan siangnya dulu, terus dia meluk-meluk. Mungkin karena itu parfumnya jadi pindah," jelas Raya dengan canggung.
Kedua bola mata Salwa melotot. "Aksa meluk kamu? Nggak salah?!"
Raya meringis. Jelas sekali Salwa tidak langsung percaya. Karena yang Salwa tahu, Aksa itu lelaki dingin yang tidak mempedulikan istrinya.
"Beneran kok."
"Ada yang belum aku tahu. Sekarang ceritakan!" titah Salwa tegas.
Raya mengangguk paham. "Minum dulu, Sal. Haus nih."
"Oh iya, maaf. Mau minum apa?"
"Air putih aja."
"Okay, bentar." Salwa bergegas menuju dapurnya mengambilkan minuman untuk Raya.
Setelahnya ia kembali dengan dua gelas air putih dan juga keripik singkong balado untuk camilan.
"Aku dan Mas Aksa memutuskan untuk menjalani pernikahan ini dengan normal seperti pernikahan pada umumnya. Dia memperlakukan aku dengan baik, bahkan kami sudah tidur di kamar yang sama," ujar Raya memulai ceritanya.
"Kamu yang memintanya pada Aksa atau gimana?"
"Mas Aksa yang memulainya lebih dulu," jawab Raya mantap.
Salwa bergidik ngeri. Setahunya Aksa adalah orang yang dingin, datar, dan kata-kata yang diucapkan pria itu sangat kejam. Tapi sekarang? Rasanya seperti mustahil.
"Apa dia serius?" Salwa masih terlihat tidak yakin dengan apa yang Aksa lakukan.
"Dia sangat serius, dan dia membuktikannya. Mas Aksa memperlakukanku dengan lembut dan perhatian. Bahkan dia sering menciu-"
Ucapan Raya mendadak terhenti karena sadar dengan apa yang ia ceritakan. Pipinya seketika berubah merah.
"Apa? Kenapa berhenti? Aku sudah tahu apa kelanjutannya!" sungut Salwa kesal.
"Memang ya, yang udah nikah mah beda. Dia mencium kamu tiap saat? Dasar lelaki m***m!" maki Salwa untuk Aksa.
"Eh, bukan begitu!" Raya menyergah cepat.
"Terus? Aku yakin sekali kata selanjutnya itu mencium," dengus Salwa.
"Ya nggak salah sih. Tapi Mas Aksa nggak m***m," bela Raya.
"Kamu udah benar-benar jatuh cinta padanya ya? Membelanya dengan lantang," cibir Salwa.
"Ah tau deh, kamu nyebelin." Raya jadi kesal sendiri.
Salwa terkekeh, berhasil membuat sahabatnya sebal.
"Jadi, Ray. Kamu bahagia?" tanya Salwa serius.
Raya terdiam sejenak dan tersenyum. "Iya, aku bahagia. Aku suka diperlakukan seperti istri sungguhan oleh Mas Aksa. Kami tidak bersikap pura-pura lagi."
"Kalau kamu sebahagia itu, aku tidak bisa mencegahnya. Aku hanya bisa berdoa kamu dan Aksa bahagia," ujar Salwa tulus.
Senyum Raya mengembang. "Iya, terimakasih doa baiknya."
"Kalau hubunganmu dan Aksa sudah membaik seperti itu. Kapan aku bisa mendapatkan keponakan yang lucu dan menggemaskan?" tuntut Salwa tidak sabar.
"Kamu seperti Ibu mertuaku, menanyai cucunya terus."
"Ya habis gimana? Sudah saatnya kalian memiliki anak. Usia kalian sudah tidak muda lagi, jangan menunda-nunda."
Raya terdiam. "Sejujurnya aku takut, Sal."
Dahi Salwa mengerut. "Takut kenapa?"
Raya menggeleng. "Nggak tahu, aku hanya takut dan belum siap."
"Sudah membicarakan ini pada Aksa?"
"Aku tidak memberitahu tentang ketakutanku. Aku hanya mengatakan belum siap."
"Sebenarnya apa ketakutanmu?"
"Aku takut tidak bisa menjadi Ibu yang baik. Aku tidak dibesarkan oleh Ibuku. Aku tidak tahu bagaimana kasih sayang seorang Ibu pada anak itu seperti apa," lirih Raya sambil menunduk dalam.
Salwa mengelus punggung sahabatnya. "Jangan takut. Aku yakin kamu dan Aksa bisa melaluinya, dan aku yakin kamu akan menjadi Ibu yang hebat, Ray."
Raya memandang Salwa ragu. "Em, entahlah."
"Bicaralah pada Aksa. Beritahu alasan dibalik ketidaksiapan kamu ini. Agar Aksa mengerti," saran Salwa.
Raya mengangguk paham. "Aku akan memberitahunya nanti."