Aksa menjemput Raya di sore harinya. Lelaki itu menepati ucapannya yang akan menjemput sang istri dari rumah sahabatnya. Perjalanan menuju rumah, hanya keheningan yang tercipta di antara mereka. Aksa melirik Raya yang seperti dibebani banyak pikiran, dahi istrinya terlihat berkerut dalam.
“Kamu lagi mikirin apa?” celetuk Aksa dengan heran.
Raya bergeming, seperti tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan sang suami.
Aksa menghela napas pelan, tangan kirinya terulur membelai puncak kepala Raya. Raya tersentak dan refleks menepis tangan Aksa. Penolakan dari Raya membuat Aksa heran dan tersinggung.
“Eh, maaf Mas. Aku nggak bermaksud nepis tangan Mas Aksa dengan kasar,” ringis gadis itu menyesal.
Aksa menghela napas lagi, pria itu menepikan mobilnya dan menatap Raya serius. “Tadi aku udah manggil kamu, tapi kamu nggak denger. Jadi aku sentuh kepala kamu, malah kamu tepis. Sebenarnya kamu lagi mikirin apa, Ray?”
Raya menatap Aksa dengan pandangan menyesal, ia benar-benar sedang tidak sadar dengan panggilan suaminya itu.
“Maaf, Mas. Pikiranku sedang kacau.”
“Mau cerita?” tawar Aksa dengan senyum lembut. Seolah rasa tersinggung atau kesal karena penolakan Raya tadi sudah lenyap.
Raya menatap Aksa dan mengangguk. “Nanti aku cerita di rumah.”
“Baiklah. Sekarang ada yang mau kamu beli dulu nggak? Mumpung kita masih di luar.”
Raya terdiam dan tampak berpikir. “Beli es krim boleh? Aku butuh yang manis-manis, Mas,” kata Raya.
“Tentu boleh.”
Aksa kembali melajukan mobilnya menuju sebuah cafe yang memang menjual khusus es krim dengan berbagai rasa dan jenis.
Aksa membelikan istrinya es krim dalam porsi yang besar, lalu kembali melajukan mobilnya menuju rumah mereka.
“Mas Aksa mau?” tawar Raya sambil mendekatkan es krim miliknya pada wajah Aksa.
Aksa melihat es krim itu sejenak dan mulai menjilatnya. “Terlalu manis,” komentar lelaki itu. Seketika ia menyesal membeli banyak-banyak, karena terlalu banyak makan makanan manis tidak sehat untuk istrinya.
“Biasa aja kok, Mas. Lidah Mas Aksa aja yang sensitif dengan rasa manis,” bela Raya.
“Iya, iya. Asalkan kamu nggak tiap hari makan es krim, aku nggak masalah.”
Raya mengangguk patuh. Tidak lama kemudian mobil Aksa terparkir di garasi, bertepatan dengan es krim Raya yang sudah habis. Keduanya turun dan memasuki rumah.
“Mandi dulu, baru aku cerita,” kata Raya.
“Iya, sayang. Sekalian makan malam dulu,” sahut Aksa ringan.
Raya mengangguk. “Aku panaskan lauk dulu.”
Aksa mengayunkan kakinya menuju kamar untuk membersihkan dirinya. Sedangkan Raya menyiapkan makan malam mereka dengan menu yang sama dengan tadi siang.
Selesai memanaskan makanan, Raya menata piring dan nasi di atas meja. Beberapa lauk pun ia tata di atas meja.
Aksa datang dengan wajah yang lebih segar. “Gantian, kamu mandi dulu. Sisanya biar aku yang urus,” ucap Aksa.
Raya mengangguk. Bergegas ia menuju kamarnya.
Lima belas menit kemudian, keduanya berkumpul di ruang makan. Raya melayani suaminya terlebih dahulu, mengambilkan apa yang ingin Aksa makan, baru setelah itu ia mengurus miliknya sendiri. Keduanya makan dalam keadaan hening.
Raya tersenyum lebar karena melihat Aksa yang menambah porsi makannya. Apakah masakannya memang begitu enaknya atau karena suaminya yang kelaparan?
Raya terkekeh. “Enak atau lapar, Mas?” tanyanya.
“Dua-duanya,” jawab Aksa santai.
Raya tertawa. Ia sudah menghabiskan makanannya dan membawa bakas pelaratan makannya di wastafel. Raya segera mencucinya agar cucian tidak menumpuk, tidak lama piring serta gelas Aksa menyusul.
“Aku tunggu di kamar ya,” kata Aksa yang diangguki oleh Raya.
Aksa menuju kamar mereka, sementara Raya memperlambat gerakan tangannya mencuci piring. Ia harus memikirkan dari mana harusnya ia memberitahu Aksa tentang kerisauannya ini. Raya berharap Aksa mau mengerti, bukan menjauhi atau bahkan kesal padanya.
Tanpa sadar, semua piring dan peralatan lainnya sudah bersih. Berarti Raya harus bergegas menuju kamarnya. “Baiklah, mari beritahu Mas Aksa,” gumam Raya.
Raya mengayunkan kakinya menaiki lantai atas. Di depan pintu kamar, ia lebih dulu menarik napas dan membuangnya dengan pelan. Menenangkan dirinya sendiri, setelah merasa mantap dan yakin barulah ia membuka pintu kamar.
Cklek!
“Sini, Ray.” Aksa menepuk-nepuk sisi kanan ranjangnya.
“Malam ini Mas nggak sibuk? Belum jam sembilan malam, biasanya masih ada di ruang kerja,” kata Raya saat sudah di samping Aksa.
“Aku nggak sibuk. Malam ini aku akan mendengar cerita kamu dan menghilangkan rasa gundah di hatimu,” ucap Aksa.
Raya mengangguk. “Aku mulai cerita sekarang?”
“Iya.”
“Jadi, aku itu kepikiran dengan kata-kata Ibu kemarin, tentang punya anak. Tadi bersama Salwa aku sempat membahasnya, alasanku menunda bukan cuma karena nggak siap.”
“Lalu?” Aksa masih mendengarkan dengan seksama.
“Aku sebenarnya nggak siap jadi Ibu. Selama ini aku belum pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, jadi aku nggak tahu harus bagaimana nantinya kalau tiba-tiba sudah memiliki anak,” ungkap Raya pelan.
“Aku nggak mau salah mengasuh dan membesarkan anak, aku takut.”
Aksa menarik Raya yang terlihat gusar ke dalam pelukannya. Pria itu mengelus kepala Raya dan menciumnya beberapa kali. “Jadi, itu yang kamu khawatirkan,” gumam lelaki itu.
“Jujur, Ray. Sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana cara menjadi Ayah yang baik, karena aku belum pernah melaluinya. Tapi aku yakin jika melewatinya denganmu, semua akan baik-baik saja. Aku yakin kita akan menjadi orangtua yang baik jika kita saling belajar,” tutur Aksa lembut.
“Aku akan membahagiakan kamu dan anak-anak kita,” lanjut Aksa.
“Kalau kamu takut salah. Tenang saja, semua orang berhak melakukan kesalahan. Namanya juga manusia. Lagi pula, aku akan ada di samping kamu melewati semuanya, jika ada kesalahan aku akan memberitahu kamu dengan lembut agar kita sama-sama belajar,” ucap Aksa. Nada suara laki-laki itu benar-benar lembut, membuat Raya menjadi tenang.
“Mas Aksa janji nggak tinggalin aku? Apapun masalah yang akan terjadi kita harus membicarakannya dengan tenang dan mencari solusinya bersama?” tanya Raya mengulurkan jari kelingkingnya.
Aksa tersenyum dan menautkan kelingkingnya pada kelingking Raya. “Janji.” Pria itu mengecup lembut punggung tangan sang istri.
Raya tersenyum lebar. Bercerita dengan Aksa membuatnya merasa tenang dan seolah beban yang menghimpitnya tadi lenyap. Raya memeluk Aksa dengan erat. “Makasih, Mas. Udah mendengarkan aku.”
“Aku akan mendengarkan kamu selalu jika kamu ingin bercerita,” sahut Aksa.
Senyum Raya semakin lebar dan semakin memeluk Aksa erat.
“Jadi, kamu tidak akan menundanya ‘kan?” tanya Aksa.
Raya tersenyum dan menggeleng. “Selagi bersama Mas Aksa, aku yakin semua akan baik-baik saja.”
Aksa tersenyum lebar, hatinya merasa gembira karena begitu dipercayai oleh sang istri. Lelaki itu menghujami wajah Raya dengan ciuman lembut.
“Terimakasih.”
***
Matahari masuk melalui celah-celah gorden yang tidak tertutup sempurna. Kedua kelopak mata Raya terbuka lebar. Pelukan Aksa pada pinggangnya begitu terasa. Sentuhan kulit bersama kulit pun terjadi. Raya baru ingat, jika kemarin ia menyerahkan mahkotanya pada sang suami.
Blush. Wajah Raya memerah.
Raya menepuk pipinya berkali-kali, menghilangkan bayangan yang terjadi tadi malam. Ia sangat malu!
Raya merasa ada pergerakan di belakang punggungnya. Tubuh Raya menegang mendengar suara Aksa.
“Selamat pagi, sayang,” sapa Aksa.
Raya yang memunggungi Aksa hanya diam tak bersuara.
“Sayang?”
“Honey?”
“Raya?”
Raya memejamkan matanya, Aksa memanggil namanya berkali-kali dengan panggilan sayangnya yang khas. “A-apa Mas?”
Terdengar kekehan renyah dibalik punggungnya. Raya menutup wajahnya.
“Kenapa sih, Mas?” tanya Raya jadi kesal sendiri.
“Kamu pura-pura nggak denger ya? Kenapa? Karena malu?” terka Aksa dengan nada yang terdengar menyebalkan di telinga Raya.
“Tau deh.” Raya yang kelewat kesal karena digoda oleh Aksa memilih untuk bangkit dan segera menuju kamar mandi.
Terdengar siulan dari belakang membuat Raya menoleh. “Kenapa bersiul?” tanyanya kesal.
Tanpa mendengar jawaban Aksa, Raya mengikuti arah pandang lelaki itu. “IH, MAS AKSA TUTUP MATANYA!” teriak Raya sambil berlarian menuju kamar mandi.
Dari dalam kamar mandi, Raya mendengar jelas suara tawa Aksa yang besar. Raya memejamkan matanya, rasanya sangat malu hingga membuatnya ingin menangis.
“Mas Aksa nyebelin!” gerutunya.