Aku benar-benar tidak bisa berpikir panjang dan berakhir tiba di tempat ini. “Di kafe,” jawab Aa. Kakiku terasa lemas dan darahku berdesir mendengar jawabannya. Aku terpaku hingga Aa kembali menyadarkan dengan terus memanggil namaku karena aku membisu. “Sayang,” panggilnya lagi. Mulutku seolah kaku tak mampu berucap. “Nada di depan Aa,” lirihku bersamaan dengan air mataku yang mengalir hanya dengan sekali mengedipkan mata. Setelah mengatakan itu, Aa mengangkat pandangannya mencariku ke segala arah. Aku maju selangkah hingga pandangannya jatuh padaku dan dia terlihat panik. “Pembohong!” Napasku berderu, air mataku jangan ditanya—mengalir tak mau berhenti. Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak dan pergi menuju tempat di mana Satya memarkirkan mobilnya. Begitu masuk ke dalam

