Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar mengalun di komplek pesantren Al-Hikmah pagi itu. Pukul 03.00 dini hari di pesantren memang sudah ramai. Para santri mulai beraktivitas dengan sejumlah jadwal kegiatannya. Ke mesjid, shalat tahajud lalu tadarus menunggu subuh tiba.
Beda dengan Silvia yang masih asyik dengan bunga tidurnya.
Hindun, teman sekamarnya sudah kehabisan cara agar Silvia mau bangun. Awalnya Hindun kira Silvia berusia lebih tua darinya. Tapi ternyata Silvia seumuran dengannya.
"Sil, bangun... ayo ke mesjid! Yang lain udah pada berangkat."
Gadis itu mengusap lembut punggung Silvia yang masih mendengkur halus. Beberapa usapan halus tidak juga berhasil. Hindun menarik nafas lelah. Kok ya bisa-bisanya Pak Kiyai nyuruh dirinya sekamar sama orang kebo kayak gini!
Oke, sabar ya Allah... bismillah...
Hindun kembali menggoyangkan Silvia, kali ini sedikit lebih kencang. Silvia bergerak. Matanya masih tertutup rapat, hanya mulutnya saja yang menjawab sambil merubah posisi tidurnya.
"Apaan sih lo, Son! Ntar gue potong gaji lo, baru tahu rasa!"
Dahi Hindun berkerut. Sejak kapan namanya berubah jadi Son? Dan apa? Gaji? Dikira dia bosnya apa, pake bahas gaji segala, yang ada malah Hindun nyantri di sini kan bayar, yah, walaupun sedikit mendapat keringanan karena dirinya berasal dari keluarga tidak mampu.
Oke, Hindun kehabisan cara. Mungkin cara yang satu ini bisa berhasil. Hindun mendekatkan mulutnya ke telinga Silvia dan berbisik pelan.
"Silvia, Bang Ziad nungguin lo di depan pintu."
"Hm.... APA??!! ZIAD???"
Hindun sampai menutup kedua telinganya. Silvia bangun lalu merapikan rambut panjangnya. Dia lalu keluar kamar sambil celingukan. "Kok sepi? Mana Ziad?"
"Silvia, itu.. kamu jangan dulu keluar!"
Silvia melirik Hindun. "Apa? Penampilan gue jelek ya? Ah iya, lo bener! Dari kemarin gue belum mandi!"
"Bu-bukan itu, tapi kamu jangan keluar tanpa kerudung seperti itu, dosa!"
Silvia menjentikkan jarinya. Lalu kembali ke kasur. "Ah, gue tahu! Ini kan panti sorga, pendosa kayak gue mana cocok tinggal di sini."
"Hush, nyebut kamu, Sil! Istighfar! Pesantren ini bukan jaminan penghuninya masuk surga. Tapi ini hanya sebagai wadah agar seseorang dapat merubah dirinya menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang Dia perintahkan."
"Wow, oke Bu Ustat, ceramahnya keren, tapi gue cuma mau mastiin aja, lo bilang tadi ada Ziad, mana? Kok gue gak lihat?"
Hindun gelisah. Jemarinya bertaut.
"Maaf, Sil. Aku tadi hanya berusaha bangunin kamu. Dan aku kesulitan, lalu dengan sedikit berbohong, akhirnya aku berhasil bangunin kamu"
"Apa?! Jadi lo bohong? Wah, ini nih! Yang gue gak demen! Ceramahnya panjang lebar, giliran bohong aja gampang banget!"
"Maaf, Sil! Sekali lagi aku minta maaf!"
"Gak, gue gak maafin lo!"
"Lalu, aku harus gimana? Sebab jika kita ingin mendapatkan ampunan dari Allah atas perbuatan mendzalimi orang lain, maka kita harus mendapat maaf dari orang yang kita dzalimi."
"Menarik. Oke, gue bakal maafin lo, tapi dengan syarat."
"Apa itu?"
"Bantu gue kabur dari tempat ini, bisa?"
"Apa tidak ada yang lain?"
"Keberatan? Ya udah, sampe mati juga gak bakalan gue maafin, oh ya Tuhan, sakit hati banget gue dibohongin sama temen sendiri."
Hindun bergerak gelisah. Gimana ini? Tapi membantu kabur bukanlah hal yang baik.
Silvia mengukir senyum kemenangan.
Polos amat, kibulin dikit aja langsung kena!
Hindun menatap Silvia. Berharap gadis di hadapannya sedikit melunak.
"Apa lo? Mau minta maaf? Ogah, gue masih sakit hati, nyesek tahu gak d**a gue, berasa dikhianati tubuh sendiri."
Jiah..! Keren banget akting gue! Noh si Hindun mulai goyah, ayolah cuman minta tolong buat kabur doang juga, susah amat mikirnya.
"Apa tidak ada opsi lain selain kabur? Sebab, kamu adalah amanah buat Pak Kiyai yang dititipkan orang tua kamu, jika aku membantumu kabur, sama saja mengkhianati guruku sendiri."
Bravo! Gadis pintar! Ternyata lo gak b**o kayak kelihatannya.
Silvia mengusap-usap hidung mancungnya.
Seringaian terbentuk lagi di bibirnya. Dan sungguh, itu membuat Hindun makin khawatir. Akal gila apalagi yang akan keluar dari kepala gadis cantik itu? Silvia memukulkan tangannya ke kasur. Sebersit ide muncul kayaknya.
"Aha, gini aja, berhubung lo tadi bohongin gue dengan Ziad, maka gue minta lo datengin Ziad ke kamar gue apapun caranya."
"Bang Ziad??" Hindun melotot. Anaknya Pak Kiyai? Mana berani dia!
"Deal? Daripada lo mati bawa dosa nyakitin hati gue, hayo?"
Hindun nampak berpikir. Apa yang harus dia katakan pada Ziad kalo ada gadis gila yang menyuruhnya datang ke kamar santri putri? Haduh, bisa dipecat jadi santri!
"Udah, jangan mikir lagi, gue gak punya penawaran lain. Gue mau mandi!"
"Eh, tunggu! Kira-kira apa yang harus aku katakan?"
"Tinggal bohong aja dikit, apa susahnya sih?"
"Bohong lagi? Gak! Aku gak mau nambah dosa."
"Dosanya biar gue yang nanggung!"
"Astagfirullah!"
"Ck, bilang aja kalo gue pingsan dan lo gak bisa ngangkat, kan beres?"
Hindun meringis. Ia melirik jam, celaka! Dia sudah ketinggalan jadwal tahajud berjamaah hari ini! Alamat kena iqob lagi ini!
Baiklah, Hindun nekad. Daripada harinya makin kacau, lebih baik ia segera pergi dan menuruti keinginan gadis semampai itu.
***
Setengah berlari Ziad menyusuri deretan kamar santri putri. Ziad dapat kabar kalau santri baru yang bernama Silvia itu berniat melarikan diri. Ya, kabar dari Hindun menyebutkan kalau Silvia berniat melarikan diri dari pesantren jika tidak bertemu dengan Ziad, dan menurut penuturan Hindun, Silvia kabur sebab sakit hati dengan perlakuan Ziad padanya. Beruntung, Hindun mengatakan berita itu saat ia sedang sendirian. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah untuk yang lainnya. Ziad berhenti di salah satu pintu kamar. Di pintu tertulis nama penghuni kamar tersebut. Sebenarnya dia juga belum faham, kenapa harus dirinya yang ingin ditemui Silvia?
Meski ragu, Ziad mengetuk pelan pintu kamar. Khawatir jelas terlihat dari wajah Ziad, antara takut Silvia benar-benar kabur dan semua penyebab bermuara padanya yang memang pada awal pertemuan, Ziad menunjukkan rasa tidak sukanya pada gadis itu. Lalu khawatir ada orang lain melihat dan berburuk sangka atas apa yang sedang ia lakukan.
Well, mengetuk pintu kamar santri putri? Sudah jelas pikiran apa yang akan mampir di kelapa orang yang melihat semua ini kan?
Ketukan pertama. Ia menunggu, dan 1 menit berlalu tak ada jawaban.
Ketukan kedua. Menunggu lagi, masih tak ada respon.
Ziad mulai gelisah. Apa gadis itu benar-benar sudah kabur?
Oke, harapan terakhir. Ketukan ketiga. Ia menunggu, ini ketukan terkahir.
Sebab dalam aturan Islam, jika hendak bertamu hendaklah mengetuk sebanyak 3 kali. Jika 3 kali ketukan tak ada jawaban, maka penghuninya enggan menerima tamu. Maka tindakan selanjutnya adalah jangan memaksa.
Masih tak ada jawaban. Apa gadis itu kabur? Atau jangan-jangan gadis itu pingsan di dalam? Dan berbagai pikiran buruk lainnya mulai menghinggapi otak Ziad.
Baiklah, Ziad nekad mendobrak pintu kamar.
"Bismillah..."
Bruk!!!
Dengan sekuat tenaga ia kerahkan badannya menubruk pintu yang ternyata tidak dikunci!!
Dan detik berikutnya membuat detak jantung Ziad berhenti sesaat, bagaimana tidak, karena ia mengeluarkan tenaga penuh saat mendobrak pintu yang tak dikunci, wajah Ziad sukses terjatuh tepat di b****g empuk seseorang yang sedang tertidur pulas.
Sang empu b****g bangun dan menyeringai.
"Wah-wah, sekarang Babang Ziad mulai nakal ya?"
Ziad refleks bangun dan mengerjap kaget. "Astagfirullah- astagfirullah...! Maaf, saya tidak sengaja."
"Ck-ck, gak usah kaget Babang Ganteng, gue gak keberatan kok! Sini mau tidur bareng?"
"Innalillahi..!"
"Woi, gue belum mati, napa lo ngatain gue?"
"Kamu tidak berniat kabur kan?"
"Apa?"
Silvia nampak berpikir sejenak. "Ah, itu. Memangnya apa yang gadis berjubah itu katakan padamu? Sorry, gue intimidasi dia dikit buat bohong ama lo."
Silvia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya seraya tersenyum manis.
Kali aja si abang tampan lumer dengan senyuman maut gue.
Sedang Ziad yang tadinya tegang dan khawatir berbalik memasang wajah kesal dan marah.
"Astagfirullah! Jadi itu semua akal-akalan kamu?!"
"Yah, abang tampan kok marah sih? Aih, walau marah tampannya kok gak luntur ya? Malah makin seksi!"
Dengan kesal Ziad melangkah pergi hendak membuka pintu.
Tapi, sebelum pergi ia harus memastikan satu hal pada gadis itu. Ziad berbalik dan tercengang saat tiba-tiba Silvia tepat berada di belakangnya. Yang tentu saja membuat jarak mereka begitu dekat, bahkan hidung mereka hampir bersentuhan.
"Eh, tunggu! Gu-gue..." Silvia yang biasanya cengengesan juga tergagap. Mata Ziad yang tajam membuatnya tak berkutik.
Ziad terpaku menyaksikan pahatan indah Sang Maha Pencipta di depan matanya. Namun Ziad segera menguasai diri. Dia menarik tubuhnya ke belakang.
"Kamu, jangan pernah mengulang perbuatan seperti ini lagi!"
Ziad melangkah keluar dari kamar Silvia, meninggalkan Silvia yang terbengong-bengong sambil memegang dadanya.
Yah, namanya juga Silvia, yang masuk ke otaknya bukan peringatan Ziad, tapi malah pesona pria itu yang membuat jantungnya berdebar gak karuan.
"Anjir! Itu mata tajem amat, nusuk banget, Bang! Ini lagi jantung gue kenapa?"
Silvia melorot duduk di depan pintu kamarnya.
"Gila, mak! Belom apa-apa si Ziad udah menebar bara api di d**a gue! Kok ya rasanya geli-geli gimana gitu ya? Hihi, kalo gini caranya, mana mungkin gue mau kabur?"
Silvia kembali melempar tubuhnya ke kasur dengan wajah yang merona. Mulai mesem gak jelas, otaknya mulai merancang sejuta rencana.
Salah siapa memantik bara api asmara di hatinya, membuat Silvia menginginkan pria itu. Yang jujur saja, ini kali pertama dari sederet keinginan Silvia yang berhasil terpenuhi, ia menginginkan seorang pria.
Dan tentu saja, seperti kebiasaannya, jika ada hal yang ia inginkan, harus ia dapatkan. Bagaimana pun caranya itu.