Seminggu di pesantren ternyata belum memberikan efek bagi Silvia. Gadis itu masih cengengesan seperti biasa, apalagi untuk urusan dengan Ziad.
Yeah, salah satu hal yang membuatnya bertahan di pesantren ini adalah menjaili pria itu. Menurutnya pria itu polos banget, asyik buat mainan. Apalagi melihat wajah merah padamnya Ziad, membuat Silvia semakin gencar menggodanya.
Bahkan tak segan dirinya sengaja ngintilin ustadz muda dan keren itu ke rumahnya. Habis itu dia balik lagi karena Sang Kiyai tentu saja sudah berdiri menyambut putra tergantengnya -menurut Silvia- di depan pintu pagar.
Dan demi bisa bertemu dengan Sang Pujaan, Silvia harus selalu mengikuti kegiatan pesantren ini. Dan mau tidak mau, Silvia melakukan semua peraturan di pesantren meski dengan terpaksa. Salah satunya dengan memakai kerudung.
Silvia mematut dirinya di cermin. Ia berpose dengan berbagai gaya. Sudah 1 jam ia mencoba semua pakaian yang disediakan orang tuanya di koper.
"Ah dodol! Kenapa baju jubah semua sih? Gue kan jadi kayak pinguin gini!"
Hindun yang sedang menghafal Al-Quran menoleh dan tersenyum ke arah Silvia. "Kamu cantik kok, Sil."
"Jangan bohong lo, gue udah kayak penguin hamil gini juga dibilang cantik."
"Bener kok, kamu cantik. Kelihatan lebih anggun gitu."
Diam lagi. Silvia mencoba baju berikutnya, pikirannya masih tetap sama, baju gombrong itu terasa merubahnya jadi penguin raksasa. Ia Melempar semua baju lalu kembali mengenakan kaos oblong dan celana jeans, lalu bergabung dengan Hindun yang sedang membaca Al-Quran. "Dun, udah dong bacanya, gue kan gak ada temen!"
"Kamu mau baca juga?"
"Lo bercanda ya? Gue mana bisa baca yang gituan."
"Astagfirullah, jadi kamu belum bisa baca Al-Quran?"
"Gak usah kaget juga kali! Temen-temen gue banyak kok yang gak bisa kayak gue."
Silvia menjawab santai sambil memperhatikan kuku jari tangannya yang lentik dan terawat itu.
"Apa? Terus kamu gak pernah baca Al-Qur'an dong?"
"Duh, Hindun kok lemotnya kadang kumat ya? Ya iyalah, mana mungkin gue baca, orang bacanya juga gak bisa."
Hindun meringis, dipikirannya kok ada ya orang ngakunya muslim tapi gak bisa baca Al-Qur'an, kan aneh? "Kamu pengen bisa gak?"
"Pengen sih, tapi susah, belibet. Ngucapin hurufnya aja gue gak bisa-bisa."
Hindun terdiam lagi. Gadis polos itu merasa prihatin dengan keadaan Silvia. Ia mencari cara agar Silvia mau belajar lebih serius di pesantren ini. Yah, Silvia termasuk santri baru. Jadi pesantren memberi kelonggaran untuk beradaptasi selama 1 bulan dengan padatnya kegiatan. Hal ini bertujuan agar santri baru dapat menyesuaikan diri dengan jadwal kegiatan pesantren. Semacam ada toleransi jika santri baru masih banyak ijin gak ikut kegiatan. Tapi namanya juga Silvia. Masa adaptasi ini malah dipakai buat malas-malasan di kamar seharian.
"Sil, besok subuh ikut kajian ya?"
"Yang bangunnya jam 3 itu? Ogah ah, ntar gue ngantuk, dan ujungnya malah mata gue jadi mata panda."
"Bukan, kalo yang jam 3 itu kegiatan tahajud. Ini beda, kajian di mesjid khusus tahsin Al-Qur'an. Pas banget buat kamu kalo mau bisa baca Al-Qur'an."
"Gak ah. Mending tidur."
Hindun diam. Otaknya berpikir keras. Ia bertekad ingin mengubah teman sekamarnya ini menjadi lebih baik.
"Sil, kamu tahu gak siapa yang ngajarin tahsin nanti?"
Silvia menjawab malas sambil tetep merem. "Mana gue tahu! Ngapain juga lo nanya ama gue!"
"Itu... yang ngajarin Bang Ziad lho?"
Cling! Mata Silvia terbuka. Benarkah? Ziad yang ngajarin? "Lo serius?"
Hindun mengangguk. Silvia menyelidik wajah Hindun. "Lo gak ngibul lagi kan?"
Dengan cepat Hindun menggelengkan kepalanya. "Gak, kok. Bang Ziad emang yang suka ngajarin tahsin tiap subuh."
Silvia bangun dan memukul paha Hindun. Senyumnya mengembang. Plak!
"Napa lo gak bilang dari dulu sih? Ah, tahu gini gue bakal bangun subuh tiap hari deh."
Hindun meringis. Maaf, Bang Ziad! Aku pake nama Abang biar Silvia mau ikut ngaji.
"Lo tunggu bentar di sini, ok? Gue pake baju dulu."
Silvia mulai mengobrak-abrik isi lemarinya. Bibirnya mengerucut.
"Kenapa, Sil?"
"Kok baju gue jubah semua sih? Ah, sialan! Gak ada yang lebih seksi apa?"
Hindun melotot. Kok nyari baju seksi sih? "Ngapain kamu pake baju seksi?"
Silvia cekikikan. "Ah lo, masa gak ngerti sih. Kalo mau narik hati pujaan lo ya mesti dimulai dengan penampilan yang menggodalah.."
"Oh, begitu rupanya. Sil, kamu mau tahu pendapatku?"
"Apa?"
"Umm, kalo menurutku, Bang Ziad kurang suka dengan pakaian seksi yang kamu bilang."
"Lho, kenapa?"
"Itu.. maksudnya gini, dia akan tertarik dengan wanita yang memakai jubah dan tertutup."
"Ah, masa sih?"
Kening Silvia berkerut. Kok ada ya selera pria yang begitu? Hindun mengangguk semangat. Dia berharap semoga ini menjadi awal Silvia mau berjilbab, meski dengan niat yang salah. Akhirnya Silvia mengenakan pakaian jubah syar'i berwarna pink muda yang dipadukan dengan kerudung yang senada. Hindun tak henti berdecak kagum. "Kamu cantik banget, Sil."
"Gue tahu, tapi gue gak nyaman pake baju ini, panas banget rasanya."
"Gak papa, lama-lama juga biasa."
Silvia hanya mengangkat bahu. Mereka berjalan menuju mesjid yang sudah ramai dipenuhi santriwan dan santriwati. Silvia melongo. Baru kali ini ia ikut kajian. Dan semuanya berjubah.
Dalam mesjid itu, ruangan dipisah menjadi 2 bagian. Yah, pria dan wanita dipisah.
Silvia celingukan. Ia berbisik ke telinga Hindun yang duduk di sampingnya. "Dun, kok semua orang liatin gue kayak gitu?"
Hindun menjawab Silvia dengan bisikan lagi. "Sebab kamu sangat cantik. Bahkan sebagian santri di sini ada yang jadi fans kamu."
"Masa sih? Tapi kok mereka gak ada yang minta foto bareng gue atau minta tanda tangan?"
"Sebab, Pak Kiyai pernah ngasih kabar pada kami tentang kamu sebelumnya. Kami harus memperlakukan kamu sama seperti yang lainnya."
Silvia ber-o-ria. Suasana yang ribut menjadi tenang seketika.
Silvia meneguk salivanya saat melihat seseorang berjalan menuju kursi yang disiapkan di depan. Tenang dan damai. Begitulah penilaian Silvia pada pria yang duduk di kursi itu.
Siapa lagi kalo bukan Ziad. Pria yang memiliki sedikit janggut di dagunya itu mulai mengucap salam.
Dan pelajaran pun dimulai. Para santri mulai fokus pada Al-Qur'an masing-masing. Kecuali Silvia, tentu saja. Gadis itu malah sibuk memandangi sang guru yang menurutnya mirip aktor Korea.
Ziad tentu saja menyadari kehadiran Silvia. Ini kali pertama gadis itu mau ikut kegiatan pesantren.
Kemajuan yang bagus. Pikir Ziad. Sekitar satu jam pelajaran berlangsung. Dan tahu apa yang terjadi? Saat semua bubar, seseorang nampak masih betah sujud di tempat duduknya. Tak peduli kalo di tempat itu udah gak ada siapa pun kecuali dirinya.
Ziad yang selesai membereskan semua bahan ajarnya mengerutkan kening. Ngapain gadis itu sujud lama sekali?
"Silvia, bangunlah! Bersegera untuk persiapan kegiatan dhuha!"
Tapi yang dibangunkan masih anteng dengan sujud khusyunya.
Dengan alat penunjuk terbuat dari bambu, Ziad menyentuh lengan gadis itu.
"Diem Dun, gue masih ngantuk!"
Ziad melongo. Gadis itu bukan sujud! Nyatanya malah tidur! Dasar pemalas! Dengan gusar, Ziad memukulkan penunjuk bambunya ke papan tulis hingga menimbulkan suara dan tentu saja sukses membangunkan Silvia. Brak!!
"MALING! EH MALING!!! Ehh... abang ustat yang ganteng! Hehehe, kirain ada maling," jawab Silvia sambil mengusap pipinya barangkali ada iler nyangkut di sana.
Ziad hanya menggelengkan kepala lalu berjalan meninggalkan Silvia yang masih melap ilernya.
Bah, gini dah jadinya kalo super model disuruh nyantri, ileran deh gue!
"Eh Abang ustat mau kemana?"
"Saya mau persiapan mengajar lagi."
Silvia memegang dahinya. Wahai otak jenius berpikirlah! Biar bisa deketan terus sama Ziad!
Ah, Silvia dapat ide! "Bang ustat, tunggu!"
Ziad berhenti dan menoleh ke arah Silvia. "Kenapa?"
"Saya boleh belajar privat gak sama Bang Ustat?"
Kening Ziad berkerut. "Maksud kamu?"
"Maaf ya ustat, saya ini gak bisa baca Al-Qur'an, makanya tadi diam terus tuh karena emang gak bisa."
"Makanya kamu ikut semua kegiatan pesantren, insya Allah kamu pasti bisa."
Silvia cemberut. Alamat gagal dah gua!
Ziad hendak kembali melangkah, lagi-lagi Silvia memanggilnya.
"Tunggu, Ustat yang ganteng, tolong dong, bantuin saya belajar ngaji kek, mau ya?"
"Kenapa harus saya? Kan kamu bisa belajar ke Ustadzah Mia."
"Sama guru yang jubahnya kegedean itu?"
"Kenapa memangnya?"
"Ya ampun, Ustat ganteng! Kenapa gak ngerti sih? Kalo mau belajar itu harus ada motivasi biar semangat, lha ini? Masa disuruh belajar sama emak-emak sih?"
Ziad mulai kesal. "Ok, kalo kamu gak mau, kamu bisa belajar ke Ustat Sukri kalo gitu."
"Yang gendut dan plontos itu? Hadeuh! Gak deh, yang ada mata saya ntar seret liat dia tiap hari. Mending sama Ustat Ganteng deh, biar saya makin semangat ngajinya, ya?"
Ziad menggelengkan kepala lalu memilih pergi meninggalkan Silvia yang cekikikan. Dengan langkah cepat Silvia segera mengejar Ziad. Salahkan kaki Ziad yang sangat panjang hingga langkahnya sangat lebar dan cepat, membuat Silvia sedikit kesulitan mengejarnya.
Sebersit ide segera muncul di otak Silvia. Ziad nampak menghentikan langkahnya. Tangannya merogoh saku celana. Benda pipih berwarna hitam keluar dari sakunya. "Hallo?"
"Hai Ustat Ganteng, jalannya jangan cepet-cepet dong!"
Ziad menoleh dan matanya hampir keluar menyadari Silvia tepat dibelakangnya. Alhasil wajah mereka hampir bersentuhan.
"Astagfirullah!" Refleks Ziad mundur menciptakan jarak dengan Silvia.
"Simpan nomornya ya? Dah, saya pergi dulu pak Ustat Ganteng." Silvia meninggalkan Ziad yang masih mematung kaget. Gadis itu benar-benar membuatnya jantungan setiap hari!