Silvia masih ogah-ogahan di kamarnya. Hari ini hari jumat, hari libur buat para santri. Biasanya sebagian besar santri diberi kesempatan untuk bisa pulang ke rumah masing-masing. Setidaknya jatah mereka pulang adalah 2 minggu sekali setiap kamis sore. Dan bisa kembali pulang ke pesantren pada jumat sore.
Dan libur kali ini Silvia hanya diam di pesantren. Ngapain pulang juga, orang tuanya pasti tak ada di rumah. Beruntung, ia sempet ngumpetin handphone di kopernya dulu. Jadi ia bisa berselancar di dunia maya untuk mengusir bosan.
Silvia tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana ekspresi Ziad melihat dirinya yang membawa handphone. Ia yakin, Ziad pasti akan melaporkannya pada Pak Kiyai.
Bodo amatlah, justru ini yang gue tunggu, biarin si Ustat keren itu sedikit peduli sama gue.
Silvia mengecek akun pribadinya. Ratusan pesan masuk, bahkan dari manajernya. Mata Silvia membulat sempurna melihat kabar dari manajernya bahwa ada tawaran kontrak dengan bayaran hampir setengah milyar lebih untuk sebuah film layar lebar. "Busyet! Gede amat! Lumayan nih, mesti gue ambil."
Silvia mulai membalas manajernya. Ya, ia gak bisa bohong kalo ia merindukan dunia entertainment yang selama ini membesarkan namanya. "Tapi gimana caranya gue keluar dari sini?"
Silvia bermonolog, Hindun teman sekamarnya sedang pulang.
Soni! Manusia setengah jadi itu mungkin bisa sedikit membantunya.
Dengan gerakan lincah, jari lentik Silvia mulai menghubungi nomor Soni.
"Onde mande, demi apa coba eikeu bisa denger suara sorga lo lagi!"
Silvia sedikit menjauhkan handphonenya dari telinga. Lengkingan suara Soni bisa merusak gendang telinganya.
"Gimana kabar lo, Son?"
"Buruk, seburuk kuku jari tangan eikeu yang belon di cat lagi."
"Ck, lebay lo!"
"Napa cyn? Lo napa hubungi eikeu jam segindang? Udah lulus dari buinya?"
"Lo mau duit gak?"
"Hanya orang b**o yang gak mau duit, napa sih cyn?"
"Tulungin gue dari sini bisa gak? Gue dapat tawaran kontrak maen film lumayan gede."
"Aduh my baby syalala-lala! Udeh gue tebak, you pasti masih jadi inceran sutradara ternama, akting you emang jempolan, kalo demi fulus mah eikeu rela jungkir balik juga."
"Makanya lo tolongin gue, gimana caranya gue bisa syuting film tanpa ada orang curiga di sini. Bisa dicincang habis gue kalo bokap tahu gue keluar."
"Berat cyn, berat! Eikeu bantuin anak durhaka ama bapaknya, but demi fulus penyambung hidup, eikeu rela."
"Nah, gitu dong! Oke, gue tunggu jemputan lo!"
Klik. Silvia mematikan sambungan telpon. Biarlah pria gemulai itu mencari cara. Silvia menyeringai, dengan begini, meski kartu kredit gold Papinya udah dicabut, dia masih bisa belanja apapun yang ia mau.
Gila aja, selama di pesantren ini, Silvia cuma dikasih jatah bekal setara bekal anak SMA. Melarat dah pokoknya!
***
Sabtu pagi di pesantren dihebohkan dengan seorang pria mengaku keluarga Silvia, pria itu bilang bahwa saudara sepupu dari sepupu ayahnya yang menikah dengan sepupu maminya Silvia mengalami kecelakaan hebat hari ini. Keadaan ini membuat Silvia harus dijemput.
Dan yah, Silvia tentu tidak kaget. Kabar ajaib itu tentu saja berasal dari manusia jadi-jadian yang menyamar sepenuhnya jadi pria tulen. Yang tentu saja dengan akting andalannya Silvia mampu meyakinkan para pengurus pesantren untuk bisa mengizinkannya pulang beberapa hari.
"Mohon maaf Silvia, kami belum bisa menengok saudara sepupu...apa?" Salah satu Ustadzah berkerudung biru dongker sedikit kesulitan menyebutkan silsilah ajaib yang dijelaskan Soni yang mengaku Sonjaya.
"Ehm, saudara sepupu dari sepupu Papi Sisil yang menikah dengan sepupu Mami Sisil" Soni langsung menyambar memberi penjelasan.
Ustadzah itu meringis. Sedang Silvia mati-matian menahan tawa. Ekspresi wajahnya ia buat sesedih mungkin.
Gila, si manusia nutrijell itu bisa juga bicara gagah. "Gak papa Ustadzah, lagi pula saudara sepupu dari sepupu Papi yang menikah dengan sepupu Mami itu tinggal di Singapura."
Dodol! Si Sonia ribet banget sih ngarangnya, untung gue biasa ngafalin skenario ribet kek gitu!
Ustadzah Mia manggut-manggut. Wajahnya masih menampakkan raut khawatir.
Duh, menumpuk dah dosa gue, ngibulin orang bau syurga kek gini.
Sebenarnya Silvia gak enak hati. Tapi ya mau gimana lagi, dia butuh banget tuh duit.
"Oh di Singapura toh? Berarti Papi sama Mami kamu juga udah di Singapura?"
"Eh, itu.. enggak Ustadzah, Papi punya penyakit jantung. Jadi bisa gawat kalo dikasih tahu berita buruk kek gini."
Sorry, Pi. Aku doain Papi panjang umur banyak rezeki deh!
"Ya Allah, kasihan sekali! Jadi kamu yang ngurusin semuanya?"
Silvia mengangguk dengan raut menyedihkan. Dan berkat drama melow dirinya dan Sonia, akhirnya mereka berhasil keluar dari pesantren. Silvia dan Sonia berjalan menuju gerbang pesantren. "Eh, lo bawa apa kemari?"
"Bawa mobil si Ardi."
"Gila, demi duit lo langsung cerdas bikin kisah melow."
"Nothing impossible for fulus honey, ahaaha..!"
Silvia membekap mulut Sonia yang tertawa lepas. Betapa tidak, dibelakang mereka, Ziad berjalan sambil menatap curiga.
Silvia segera menghampiri Ziad dan memasang tampang memelas.
"Hai Ustat Ganteng? Mau mengajar ya? Duh, maaf ya, sepertinya dua minggu ke depan, saya akan kangen berat sama Ustat!"
"Kamu mau kemana?"
"Itulah Pak Ustat Ganteng, saya ditimpa musibah, saudara sepupu dari sepupu Papi yang menikah dengan sepupu Mami kecelakaan di Singapura."
Kening Ziad berkerut. Silsilah macam apa itu? Ziad melirik Sonia yang mengerling genit padanya. Sontak saja bulu kuduk Ziad berdiri semua.
Silvia yang menyadari tatapan nakal Sonia segera menyikut perut Sonia, dia langsung memperbaiki dandanannya dan yang paling penting merubah suaranya kembali maskulin. "Aw, eh.. ehm! Sorry! Pak Ustadz, saya pinjam dulu Silvianya, doakan juga biar keluarganya segera sembuh."
"Oh, tentu saja."
Sonia mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan. Dengan agak ragu, Ziad menerima jabatan tangan Sonia. Silvia melotot lalu segera menarik tangan Ziad, tak peduli pria itu wajahnya pucat pasi disentuh tangan lembut milik Silvia.
"Udah, jabatannya gak usah lama-lama. Nanti keburu kritis saudara saya, Pak Ustat Ganteng."
Ziad kaget tentu saja. Selama ini ia dibesarkan di lingkungan pesantren, di mana bersentuhan dengan lawan jenis dilarang tentu saja. Bukan muhrim! Dan yang dilakukan Silvia berikutnya adalah menarik tangan Sonia untuk segera menjauh dari Ziad. Tahu aja nih banci kalo sama cowok ganteng!
Mereka bergegas pergi meninggalkan Ziad yang masih shock dengan kejadian barusan.
***
"Gilaaakk! Cakep bener tuh Babang Ganteng! Gak menyangka di dalem penjara syurga ternyata ada bidadara Maha Indah."
Ardi berdecak sebal. "Halah Si Soni tahu aja ama yang bening-bening."
"Sonia ya, Ar! Inget, So-ni-a, you know?"
Ardi memutar bola matanya malas. Dasar banci!
"Udah ah, ribut melulu, tapi ngomong-ngomong lo keren juga jadi macho, Son!"
"Keren apanya Sisil, eikeu tadi berasa jadi gendruwo tahu gak? Gak eikeu banget."
"Lah nih si eikeu, eikeu apa sih nama lo?"
"Eikeu Nurjanah, puas lo, Ar?"
"Prett!"
"Sil, yey punya lakban gak sih? Tuh mulut Si Ardi kentut mulu dari tadi, untung ganteng kalo gak udah eikeu remes tuh wajahnya."
Silvia malah sibuk chat sama manajernya, ia menerima tawaran main film layar lebar. Sedikit menantang adrenalinnya tak apa-apa kali ya? Ia bermain film bergenre film action. Dan yah, jangan lupakan adegan syur yang akan di perankannya sebagai gadis jalanan nanti.
Ardi melirik Silvia. "Lo yakin mau ambil kerjaan ini? Gak takut ketahuan sama bonyok tuh?"
"Sejauh ini aman lah, bokap lagi di Jerman. Nyokap juga lagi ke Singapura. Lagian mana ada mereka nonton film gue, bahkan gue yakin gak ada satu pun judul film yang gue bintangi yang mereka tahu."
Ardi dan Sonia langsung mingkem. Raut Silvia membuat keduanya prihatin. Mungkin Silvia butuh semacam pengakuan dari kedua orangtuanya. Hingga gadis itu nekad terjun ke dunia entertaiment yang hingar bingar ini.
***
"Cut! Oke sip, Sil! Sampai di sini dulu, semua istirahat 1 jam!"
Silvia melap keringat di dahinya. Sudah berkali-kali ia mengulang adegan berantem ala preman dengan lawan mainnya.
Sonia dengan kipas khasnya segera menghampiri Silvia dan mulai mengeringkan keringat gadis itu. Tak lupa pula kipas di tangannya masih bekerja memberikan rasa adem pada majikannya.
"Sisilku sayang... yey masih mantap juara kalo urusan akting ya?"
Silvia tersenyum bangga. "Oh jelas dong, kalo mau bayaran mahal itu ya dengan prestasi bukan sensasi."
"Omong-omong nih ye, kemana lawan main yey yang gagah itu?"
"Maksud lo Fadhil?"
"Yoi, bebeb! Fadhil-ku sayang Si Roti Sobek."
"Noh, dia lagi nikmatin pelayanan dayang-dayangnya!"
"Onde mande! Abang Fadhil yang gemesin, terus aja dikerumuni kayak gula ama semut. Mau dong eikeu jadi salah satu semut terhormat yang ikut gigitin Babang keren!"
Fadhil yang menjadi pemeran utama pria memang nampak dikerumuni fansnya. Pria itu dengan sabar melayani permintaan tanda tangan para gadis yang memujanya. Beberapa bahkan sengaja menarik tangan Fadil. Ardi melirik Silvia yang sedang memperhatikan Fadil. Ia berdecak sebal.
"Ck, gayanya so keren! Lebay."
"Napa? Lo ngiri ya, Ar? Makanya ubah hidup lo agak lempeng dikit, biar banyak fans kayak dia."
"Dikerumuni kayak gitu? Ogah gue! Mending jadi diri sendiri, lagian kan ada lo yang ngefans ama gue. Ya gak, Sil?"
"Ngefans dari Hongkong!"
Sonia tertawa puas melihat Ardi cemberut mendengar jawaban Silvia. "Ahaha.. duh Ardi yang ngenes, bukannya sebaliknya ya? Yey yang jadi pemuja rahasianya Sisil. You tahu gak Sil? Selama you di pesantren, Si Ardi kayak orang gila mabok sambil manggil Sisil sayang kapan balik, hahaha... "
Ardi melotot ke arah Sonia. Takut, ia takut si banci ini makin ember.
Silvia memicingkan matanya. "Beneran lo mabok terus, Ar?"
"Eh, enggak. Ngelindur dia!"
"Hahaha.. bener cyn, eikeu gak bohong."
"Diem, bacot mulu lo."
"Semua bersiap kembali!"
Instruksi dari sutradara membuat tawa Sonia mereda. Yah, sedikit menolong Ardi yang mulai terusik. Well, Ardi memang merindukan sobatnya Silvia. Tapi apa benar waktu mabuk dia memanggil-manggil nama Silvia?
***
"Thanks untuk hari ini!"
Silvia duduk melepas lelah. Ternyata bermain film aksi benar-benar menguras tenaga. Gak heran kalo bayarannya cukup menggiurkan.
"Hai, boleh ikut duduk?"
Silvia menoleh. Fadhil berdiri tak jauh darinya. Silvia melirik kursi kosong di sebelahnya. Lalu memberi isyarat untuk membolehkan pria itu duduk bersamanya. "Dil, tahu gak? Perasaan gue pernah liat lo deh, tapi di mana gitu?"
Fadhil diam. Club malam sialan itu! Kenangan memalukan saat dirinya ketahuan pergi ke club dan pulang dengan dijewer Bang Ziad. "Salah liat kali, gue aja baru ketemu lo di sini."
"Masa sih? Ya kali ya, perasaan gue doang."
Fadhil meringis. Bisa hancur reputasinya didepan gadis ini jika saja Silvia tahu dirinya pernah menggoda gadis ini dalam keadaan mabuk. Ya, sebuah keuntungan besar baginya sebab saat itu Silvia juga nampak sedang mabuk.
Silvia kembali sibuk dengan handphonenya. Sesekali Fadhil melirik gadis itu.
Yah, gue dikadalin! Padahal banyak cewek yang antri pengen dapet tanda tangan gue, yang ini? Boro-boro!
Dari kejauhan nampak sesosok pria berjalan ke arah mereka. Pria itu berjalan menunduk dengan langkah agak cepat.
Mata Fadhil sukses membulat sempurna melihat siapa yang datang.
Gawat! Bang Ziad datang! Bisa-bisa kena jewer lagi gue!
Silvia tidak menyadari Fadhil yang bangkit dan meninggalkan dirinya begitu saja tanpa pamit. Saat sadar Fadhil pergi ia hanya cuek dan mengangkat bahu tidak peduli.
***
"Abang ngapain kesini?"
"Kapan kamu berhenti dari semua ini, Dil?"
"Bakat aku di sini, Bang!"
"Iya, tapi kan kamu bisa memilih yang lebih syar'i, masih banyak kan film yang bergenre religi?"
"Udah lah, Bang! Langsung aja, Fadhil gak punya banyak waktu, ada apa Abang kemari?"
"Abah sakit, Dil. Dia pengen ketemu sama kamu."
"Paling cuma pura-pura, kesananya ceramah panjang deh."
"Istighfar Fadhil! Kamu gak boleh bilang gitu! Abah benar-benar ingin bertemu sama kamu."
"Kenapa harus sama aku? Kan ada Abang anak kesayangan Abah! Ribet banget sih!"
"Dil, bisa kan kamu menemui Abah sore ini? Dan kamu akan lihat betapa sayangnya Abah sama kamu!"
"Basi deh, Bang! Aku bosan denger Abang bilang kalo Abah sayang sama aku. Tahunya tiap pulang cuma dapet kuliah gratis! Mending dapat saham perusahaan properti Abah kayak Abang, lah ini?"
"Fadhil!! Oke, kamu mau perusahaan properti itu? Baiklah. Abang kasih, tapi ada syaratnya, kamu berhenti jadi aktor dan gantiin Abang mengurus pesantren!"
Fadhil diam. "Ogah! Aku gak bisa berubah jadi malaikat kayak Abang yang anti cewek!"
"Hush! Sembarangan kamu, Dil."
"Lah iya kan? Buktinya Abang bentar lagi jadi bujang lapuk."
Ziad menggelengkan kepalanya. Entah apa yang ada dalam kepala adik bungsunya itu.
"Pokoknya sore ini Abang tunggu kamu di rumah. Kalo gak, Abang telpon Bram buat batalin kontrak film kamu."
Fadil tentu saja kaget. Bram memang sahabat Ziad, Fadhil sendiri terjun ke dunia entertainment ini lewat sahabat Ziad itu yang tanpa sengaja melihat Fadhil.
"Jangan dong, Bang! Mana bisa begitu!"
"Telpon sekarang atau...?"
Fadhil mengangkat tangan tanda menyerah. "Oke, aku datang nanti sore."
Ziad tersenyum puas. Lalu mengacak rambut Fadil.
Fadil melorot dari tempat duduknya. Kepalanya tertunduk. Sebenarnya bukan ia tak mau menemui Abah, hanya saja sejak ia memutuskan terjun ke dunia entertainment ini, Fadil merasa Abah seolah bersikap dingin dan acuh padanya. Sempat ada perdebatan kecil dengan Abah, dan Fadil ngotot melangkah jauh hingga sekarang.
Dan alhasil, dari seluruh keluarga besar pesantren, hanya Bang Ziad yang masih selalu peduli padanya. Bahkan Abangnya pasti selalu ada saat Fadil mulai menyerempet ke jalan yang salah, lalu membawanya lagi ke jalur yang benar.
Mungkin benar kata Abah, Bang Ziad memang berhati malaikat yang tak pernah menyimpan benci padanya sekalipun dirinya seringkali mengucapkan k********r dan u*****n.
Ziad masih saja memperlakukan dirinya sama saat Fadil masih kecil. Mengelus sayang dan melindungi Fadil.