Tian sangat terkejut mendengar penjelasan dari dokter barusan. Tentang kondisi adiknya saat ini.
"Maksud ucapan dokter apa?" tanya Tian meminta penjelasan.
"Kemungkinan adik Anda akan mengalami kelumpuhan untuk sementara waktu. Akibat cedera yang ia dapatkan di kaki sebelah kanannya. Saran saya, sebaiknya adik Anda harus segera dikonsultasikan ke dokter spesialis yang khusus menangani itu. Karena operasi yang akan saya lakukan sekarang sifatnya hanya untuk menolong nyawa adik Anda. Akibat pendarahan yang ia alami saat ini," jawab Dokter Herman memberikan penjelasan.
"Baiklah dokter, lakukanlah yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa adik saya. Dan setelah operasi selesai, bisakah saya memindahkan adik saya ke rumah sakit yang ada di Jakarta?" tanya Tian.
"Bisa Pak, tapi Anda harus menggunakan pesawat khusus demi kenyamanan pasien dan juga harus didampingi oleh tim medis," saran dari dokter Herman.
"Baik Dokter, saya akan menggunakan helikopter pribadi milik keluarga kami," jawab Tian, yang ingin adiknya bisa segera sembuh seperti dulu lagi.
Kini Tian pun menunggu operasi adiknya dengan perasaan cemas. Tadinya ia ingin sekali menelepon mama dan papanya, tapi segera ia urungkan niatnya. Tian tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir, makanya ia berencana untuk memberi tahu mama dan papanya setelah ia dan Galang tiba di Jakarta nanti.
Drrt! Drrt!
"Halo Assalammu'alaikum Ren."
"Wa'alaikumsalam Bos. Bagaimana kabar Mas Galang sekarang Bos?" tanya Rendi yang juga merasa cemas.
"Kondisinya masih kritis Ren, saat ini dokter sedang melakukan operasi untuk menghentikan pendarahannya. Kemungkinan malam ini saya akan segera terbang ke Jakarta untuk mengurus perpindahan Galang ke rumah sakit yang ada di Jakarta."
"Terus saya bagaimana Bos? Apa saya juga harus ikut ke Jakarta?" tanya Rendi memastikan.
"Tidak usah Ren, kamu di sini saja. Pokoknya kamu jelaskan sama Adelia tentang kepergian saya selama beberapa hari ini. Jika sewaktu-waktu saya memerlukan bantuan mu, saya akan segera menelepon kamu," perintah Tian.
"Baik Bos, kalau begitu saya doakan semoga Mas Galang baik-baik saja."
"Iya Ren, terima kasih atas do'anya." Tian pun segera menutup telpon antara dirinya dan juga Rendi.
***
Tak terasa, dua jam sudah berlalu. Saat ini dokter sudah keluar dari ruangan operasi dengan diikuti oleh beberapa perawat disampingnya.
"Bagaimana dokter operasinya? Apakah berhasil?" tanya Tian yang sudah tidak sabar ingin mengetahui kondisi adiknya.
"Alhamdulillah, operasi adik Anda berhasil Pak," jawab Dokter Herman.
"Lalu apakah malam ini saya bisa membawanya ke Jakarta dokter?" tanya Tian lagi.
"Sebaiknya Anda tunggu beberapa jam lagi Pak, tunggu obat biusnya habis dulu. Barulah saya izinkan Anda memindahkan adik Anda, ke rumah sakit yang ada di Jakarta," jawab dokter itu.
"Baiklah dokter, saya akan mengikuti instruksi dari Anda."
Keesokan harinya, Rendi tetap berkerja di supermarket tanpa kehadiran Tian. Ia melakukan itu karena perintah dari Bos besarnya itu. Sedangkan Adel yang sedari tadi tidak melihat Tian merasa agak sedikit heran. Karena ke mana pun Rendi pergi, Tian pasti selalu bersamanya. Akhirnya Adel pun berniat untuk menanyakan keberadaan Tian kepada Rendi. Ketika ia ingin berjalan menghampiri Rendi, ada seorang pria yang memanggilnya.
"Adelia!" Panggil pria itu dari belakang."
Adel pun segera membalikkan badan. Betapa terkejutnya ia ketika ada seorang teman lama yang memanggil namanya."
"Hai Del! Apa kabar?" Sapa pria itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Robi sahabat Galang dan juga Adel saat mereka masih sama-sama duduk di bangku SMA.
"Robi, alhmdulillah kabar aku baik, Bi. Pasti kamu tahu aku kerja disini dari Galang kan?" ucap Adelia yang bisa menduga.
"Iya Del, kamu benar," jawab Robi.
"Lalu untuk apa kamu menemui ku? Apa Galang yang menyuruhmu datang kesini?" tanya Adelia yang meminta penjelasan.
"Bukan Del, ini murni keinginan ku sendiri, bukan karena perintah Galang."
"Lalu, jika memang kamu menemui ku karena murni keinginan mu sendiri, untuk apa Bi?"
"Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu Del."
"Tentang apa?" tanya Adelia yang saat ini malas berhubungan dengan orang-orang disekitar Galang. Termasuk Robi.
"Tentang Galang."
Deg!
Adelia sudah menduga. Maksud dari Robi menemuinya.
"Maaf Bi, kalau masih ada hubungannya dengan Galang, aku tidak bisa. Lagi pula kamu lihat sendiri kan, aku sedang sibuk berkerja sekarang," ucap wanita itu.
"Aku tahu Del, aku mohon sebentar saja," pinta Robi dengan nada memohon.
"Ada apa lagi sih, Bi? Lagi pula urusanku dengan Galang sudah selesai. Diantara kami juga sudah berakhir."
"Please Del, kasih aku waktu untuk berbicara sebentar. Setelah itu aku janji tidak akan mengganggumu lagi," pinta Robi kepada wanita itu.
Adel pun tampak berpikir, setelah mendengarkan ucapan Robi barusan.
"Ok baiklah, kita bicara di sana saja," tunjuk Adelia pada salah satu kursi yang tak jauh dari stand-nya.
"Kamu mau bicara apa? Sebaiknya cepat, aku nggak punya banyak waktu?" tanya wanita itu yang malas, jika harus berlama-lama berbicara dengan Robi.
"Galang kritis Del."
Deg!
"Maksud kamu apa, Bi?" tanya Adelia yang seakan tidak percaya mendengar perkataan dari pria itu.
"Kemarin Galang kecelakaan motor akibat lomba balapan yang diikutinya," jawab Robi menjelaskan.
"Apa?! Kamu nggak lagi bohong sama aku kan, Bi?" tanya Adelia.
"Untuk apa aku membohongi kamu Del, itulah kenyataan yang sebenarnya," jawab Robi meyakinkan Adelia.
"Terus sekarang Galang ada di rumah sakit mana Bi?" tanya wanita itu.
"Malam tadi setelah menjalankan operasi, Galang langsung dipindahkan oleh kakaknya ke rumah sakit yang ada di Jakarta Del."
"Lalu, maksud kamu mencari aku untuk apa Bi?" tanya Adelia meninta penjelasan.
"Galang sangat menyesali atas perbuatannya di masa lalu terhadap kamu Del. Terus dia menelpon kakaknya yang merupakan pemilik supermarket tempat kamu berkerja, agar mengizinkan Galang untuk berkerja di sini. Tapi kakaknya sama sekali tidak percaya dengan ucapan Galang, ia menyuruh Galang untuk segera pulang ke Jakarta, dan melarang Galang untuk mengikuti lomba balapan. Tapi Galang tidak mau, ia bersikeras untuk mengikuti lomba, hingga kecelakaan itu pun terjadi."
"Tunggu-tunggu dulu, Bi. Kamu bilang kalau pemilik supermarket ini adalah kakaknya Galang. Apa kamu yakin dengan ucapan kamu?" tanya Adelia penasaran.
"Ya yakinlah Del. Kamu lihat sendiri di depan papan nama tertulis Abraham Group. Abraham itu nama belakang dari kakaknya Galang."
"Nama lengkapnya siapa Bi?" tanya Adelia lagi.
"Hmm." Ketika Robi ingin menjawab pertanyaan Adel, ponselnya pun bergetar. Pria itu pun langsung mengangkat panggilan telepon dari temannya.
"Halo! Assalamu'alaikum Yo."
"Wa'alaikumsalam, lo di mana sekarang Bi?" tanya Tio.
"Gue masih sama Adel Yo."
"Ya sudah, lho cepatan ngomongnya. Soalnya kita harus ke bandara, kalau kamu lama-lama nanti kita bisa ketinggalan pesawat," ucap Tio kepada temannya.
"Iya-iya Yo. Sekarang juga gue OTW ke sana."
"Cepat ya Bi, gue tunggu."
"Iya bawel."
Robi pun langsung menutup telepon dari sahabatnya itu.
"Sorry ya Del, gue harus pulang ke Jakarta Sekarang. Soalnya gue buru-buru takut ke tinggalan pesawat. Gue nemui lo, karena gue pengen lo maafin Galang dengan ikhlas ya. Please, jangan ada lagi kebencian di hati lo terhadap Galang. Dan satu lagi, gue pinta lo do'ain dia ya, semoga Galang bisa sehat seperti sediakala," pinta Robi kepada Adelia.
"I-iya Bi itu pasti."
"Gue cabut dulu Del. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Robi pun pergi meninggalkan Adel yang penuh dengan tanda tanya.
"Aduh, kenapa tadi aku nggak minta nomor ponselnya Robi? Dengan begitu aku bisa menelepon dia, untuk menanyakan tentang kakaknya Galang yang bernama Abraham itu? Aku jadi penasaran dengan pemilik supermarket ini, dia sepertinya berbeda dengan Galang adiknya. Dia lebih perhatian, karena dia tidak segan-segan memberikan bonus sama aku karyawan yang tidak ia kenal sebelumnya. Semoga saja suatu saat Tuhan mengijinkan aku untuk bertemu dengan Beliau. Amin ya Allah," ucap Adel dalam hati sambil memanjatkan do'a-do'anya.
Jam makan siang pun tiba. Saat ini Adel melihat Rendi sedang makan sendirian di kantin kantor. Adel pun memberanikan diri untuk menghampiri Rendi. Sungguh dia sangat penasaran dengan keberadaan Tian sekarang. Rencananya Adel akan menanyakan hal itu langsung kepada Rendi yang Adel tau adalah sahabat dekat Tian.
"Assalamu'alaikum Bang Rendi, sendirian saja," tanya Adelia yang tidak melihat Tian bersama Rendi.
"Wa'alaikumsalam. Iya Del, seperti yang kamu lihat," jawab pria itu.
"Adel boleh duduk di sini nggak Bang?"
"Ya bolehlah Del. Kalau duduk mah gratis, makan baru bayar, hehe," goda Rendi kepada Adelia.
"Hehe iya juga si Bang." Adel pun segera menarik kursi yang ada dihadapan Rendi.
"Oh ya Bang, ngomong-ngomong Bang Tian mana? Soalnya dari pagi tadi Adel nggak melihat Bang Tian?" tanya Adelia yang merasa penasaran.
"Memangnya kenapa Del kamu nyariin Tian? Kangen ya, hehe," goda Rendi sekali lagi.
"Bang Rendi bisa saja. Adel kan, cuma nanya doang Bang."
"Iya-iya Del, Abang cuma bercanda. Tian hari ini memang nggak masuk kerja. Semalam ia pulang kampung," jawab Rendi menjelaskan kepada wanita itu.
"Pulang kampung, kok mendadak banget Bang." Adelia pun kaget mendengar penjelasan yang Rendi berikan.
"Iya Del, soalnya Tian dapat telpyon kalau adiknya kecelakaan. Karena khawatir dan ingin melihat kondisi adiknya yang kabarnya kritis, Tian pun langsung pulang."
Deg!
"Tunggu dulu Bang, kalau nggak salah Bang Tian pernah ngomong kalau nama adiknya adalah Galang. Apa itu benar Bang?" tanya Adelia memastikan, karena rasa penasarannya.
"I-ya Del itu benar, memangnya kenapa?" tanya pria itu.
"Nggak kenapa-napa si Bang. Kalau Adel boleh tahu, penyebab adiknya Bang Tian kecelakaan karena apa Bang?"
"Yang Abang dengar si, penyebabnya karena kecelakaan motor Del."
Seketika Adel pun terdiam setelah mendengar penjelasan dari Rendi.
"Kenapa bisa kebetulan ya? Galang kecelakaan motor dan keadaannya sekarang sedang kritis. Sama dengan Adiknya Bang Tian yang juga mengalami kecelakaan motor dan keadaannya sekarang juga sedang kritis. Yang lebih anehnya lagi, adiknya Bang Tian juga bernama Galang. Apa mereka pria yang sama, yang aku kenal ya? Tapi kayaknya nggak mungkin, bukannya Galang yang aku kenal itu anak orang kaya. Sedangkan Bang Tian, dia bukan orang kaya. Dia pria biasa-biasa saja, pria sederhana," pikir Adelia dalam hati. Ia terus bermonolog merasakan keanehan yang dia sendiri tidak tau kenapa ia bisa berpikir seperti itu.
"Kamu lagi mikirin apa si Del? Kenapa dari tadi cuma ngelamun saja," tanya Rendi.
"Eh, nggak kok Bang Ren. Adel nggak lagi mikirin apa-apa kok."
"Benaran."
"Iya kok Bang. Ya sudah, Adel kembali ke tempat kerja dulu ya."
"Iya Del, Abang bentar lagi nyusul."
Adel pun melanjutkan langkahnya menuju stand tempat dia ditugaskan. Di dalam perjalanan pikiran Adel benar-benar tidak menentu. Dia masih kepikiran tentang Tian laki-laki yang berhasil menyita pikirannya saat ini.
***
Saat ini di Jakarta kedua orang tua Tian datang ke rumah sakit dengan perasaan cemas. Setelah mendapatkan kabar dari putra sulungnya itu. Tentang Galang yang mengalami kecelakaan.
"Tian, bagaimana dengan keadaan Galang adik mu nak?" tanya Mama Lina ketika baru saja tiba bersama Bagas suaminya.
"Alhamdulillah Galang sudah melewati masa kritisnya Ma. Cuma saat ini dia belum sadarkan diri dari komanya. Tian juga sudah berkonsultasi dengan dokter yang menangani Galang saat ini. Dokter bilang, mereka akan melakukan operasi pada kaki sebelah kanan Galang, tapi setelah kondisi Galang lebih stabil," jawab Tian menjelaskan kepada kedua orang tuanya.
"Ya Tuhan anakku. Terus kenapa dia bisa sampai kecelakaan, Nak?" tanya Lina penasaran.
"Galang ikut balapan di luar kota Ma. Padahal malam sebelum Galang balapan, dia menelepon Tian untuk menyampaikan niatnya agar bisa berkerja di supermarket Tian yang ada di luar kota. Tapi Tian larang, Tian menyuruh dia untuk segera kembali ke Jakarta tapi Galang menolak. Dia bilang besok dia akan balapan dan dia langsung menutup teleponnya."
"Dasar anak berandalan itu, bisanya menyusahkan saja. Dia bilang mau kerja di kantor Papa, pantas saja dari kemarin tidak kelihatan batang hidungnya. Rupanya dia ikut balapan ke luar kota." Ucap Pak Bagas penuh emosi melihat kelakuan putra bungsunya itu.
"Sudah Pa, jangan emosi seperti itu. Lagi pula saat ini Galang masih belum sadar dari komanya. Kita do'akan saja semoga anak kita bisa segera sembuh."
"Iya Ma, tapi Papa nggak suka melihat kelakuan Galang. Papa benar-benar pusing harus bagaimana lagi mendidik dia. Mama lihat sendiri kan kelakuannya, gara-gara perbuatannya dia mencelakai dirinya sendiri."
"Iya Pa, Mama mengerti. Galang memang susah untuk dibilangin, kita selaku orang tua harus sabar menghadapi anak itu."
"Pokonya setelah Galang sadar nanti, Papa Akan segera mengirim Galang ke rumah opanya yang ada di London," ucap Bagas yang merasa kesal dengan kelakuan putra bungsunya itu.
"Tapi Pa, Mama yakin Galang pasti tidak mau. Papa tahu sendirikan kalau didikan orang tua Papa. Apalagi Papa Abraham itu sangat keras," jawab Lina yang kurang menyetujui rencana suaminya.
"Iya Ma, Papa tau. Tapi kita tidak punya cara lain. Mungkin itu satu-satunya cara agar Galang mau berubah."
"Iya Ma, apa yang diucapkan Papa itu benar. Tian setuju dengan pendapat Papa. Kalau Galang masih tetap tinggal disini bersama Papa dan Mama, Tian nggak yakin Galang bisa berubah. Mama lihat sendirikan nggak ada diantara kita yang ditakuti oleh Galang. Dia selalu bersikap seenaknya tanpa mau mendengarkan omongan Papa, Mama dan juga Tian."
"Ya sudah deh, terserah kalian. Mama ikut saja, tapi Mama minta sama Papa tunggu Galang sembuh total dulu ya Pa, baru dia dikirim ke rumah Papa Abraham," pinta Lina kepada suaminya.
"Iya Ma, pasti. Papa juga akan memberikan pengobatan terbaik untuk kesembuhan Galang.
Sudah tiga hari ini Tian berada di Jakarta. Selama itu ia habiskan waktunya untuk memantau kondisi adiknya Galang. Tian juga harus disibukan dengan pekerjaan kantor yang menumpuk akibat kepergiannya menjalankan misinya bersama Rendi.
Sementara Adel selama kepergian Tian, ia merasa ada sesuatu yang kurang di dalam hidupnya. Selama tiga hari ini ia juga tidak mendapatkan kabar dari Tian. Ia ingin menanyakan langsung keadaan Tian dengan Rendi, tapi ia merasa sedikit agak malu. Hingga akhirnya ia melihat Rendi sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Adel pun memberanikan diri untuk mendekati Rendi.
Bersambung.