10. Runtuhnya Pertahanan

1071 Kata
[16+] . . . Ariano menghela napas. Seharusnya ia memang kembali ke kamar hotel saja sejak tadi dan bukannya menghabiskan waktu mencuri pandang ke arah Nadira seperti pengecut. Hingga gadis itu pergi, Ariano tidak mendapatkan apapun bahkan untuk sekadar nama. Secara teknis Ariano memang sudah tahu nama Nadira, tapi itu karena tidak sengaja dan bukan karena mereka berkenalan resmi. Jika ada Jayler di sini, lelaki itu sudah pasti meledeknya habis-habisan. Ariano mengernyit ketika melihat punggung telanjang seorang gadis yang tengah berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi. Itu Nadira. Ariano mengenali gaun backless yang dikenakan gadis itu. Kenapa gadis itu berjalan sendirian seperti orang mabuk di lorong sepi? Apa memang gadis itu mabuk? Ariano terkejut ketika Nadira tiba-tiba saja berjongkok dan bersandar pada tembok toilet di belakangnya. Sepertinya gadis itu tidak baik-baik saja. Apa yang harus dilakukan? Apa dirinya akan terlihat aneh atau bahkan dikira stalker jika menghampiri gadis itu sekarang? Ah s**t, Ariano benar-benar tidak tahu harus bagaimana. "Sudahlah, urusan dituduh itu urusan belakangan." Ariano dengan mantap melangkahkan kakinya menghampiri Nadira. Hanya tinggal dua langkah lagi, gadis itu ternyata tiba-tiba bangkit berdiri dari posisi semula. Gerakan tiba-tiba itu sepertinya membuat gadis itu kehilangan keseimbangan sehingga tubuhnya terhuyung nyaris jatuh menyentuh lantai, tentu saja Ariano langsung bersikap tanggap dan menangkap tubuh itu lebih dulu sebelum hal itu terjadi. Ariano bisa mencium aroma citrus dan campuran peach segar yang menguar dari tubuh gadis itu karena posisi mereka saat ini. s**t. Ini adalah wangi yang sama yang ia cium di bawah gerimis pagi itu. "Nadira, are you okay?" Ariano mengguncang pelan tubuh Nadira yang masih bertopang padanya. Panik karena gadis itu justru menutup rapat matanya. Ariano tersentak ketika Nadira tiba-tiba membuka mata dan pandangan mereka bertemu untuk pertama kalinya di hari ini. Saat ingin memastikan kembali apa gadis itu baik-baik saja, Nadira lebih dulu menyela. "Gue pasti mabuk, kalau nggak... mana mungkin Pak Ariano tahu nama saya." Ariano ingin menjawab dan menjelaskan, tetapi bahkan sebelum dirinya sempat membuka mulut gerakan Nadira lebih dulu membungkamnya. Dengan ciuman. What the f**k is going on? Ariano berkedip, pelukan Nadira pada tengkuknya begitu erat dan ciuman pada bibirnya juga bukan sekedar kecupan. She really kiss him, passionately. Tetapi Ariano bukan laki-laki b******k yang memanfaatkan keadaan dari gadis yang tengah mabuk. Dengan sedikit usaha, Ariano menarik mundur tubuhnya melepaskan diri dari gadis itu. "Nadira, kamu mabuk." Lelaki itu mencoba menyadarkan Nadira yang kini justru menatapnya dengan tatapan sayu. "Memang iya, lalu kenapa? Kalaupun saya nggak mabuk, saya tetap ingin mencium Pak Ariano kok." Nadira menyentuh kerah kemeja Ariano yang malam ini ia biarkan terbuka tidak seperti biasanya. "He's hot, siapa sangka laki-laki cupu berkemeja kembang-kembang dan kacamata itu bisa jadi sehot itu hanya karena ganti penampilan." Nadira sepertinya terlalu mabuk untuk menyadari laki-laki yang ia bicarakan ada di hadapannya saat ini. "O...okay I take it as compliment then." Ariano tidak bisa menahan senyum. Mabuk atau tidak sepertinya gadis ini memang selalu blak-blakan soal memuji orang lain. Hal itu juga yang membuat Ariano terus mengingatnya. "Mau saya antar kembali ke teman-teman kamu?" Nadira merengut. "Why? Memangnya Bapak nggak mau cium saya juga? Saya kurang cantik? Kurang hot? Atau karena kita beda kelas?" tanyanya sambil mencengkram kerah kemeja lelaki itu. Ariano membiarkan Nadira mencengkram kerah kemejanya. Ini pertama kali dirinya berurusan dengan wanita mabuk, jadi sebetulnya Ariano tidak benar-benar tahu harus bagaimana. "First thing first, kamu mabuk Nadira. Kamu tidak sepenuhnya sadar apa yang kamu lakukan." "Nggak menjawab pertanyaan. Just say you don't want to kiss me, loser." Bibir Ariano berkedut menahan senyum. Apa orang mabuk memang seharusnya jadi semanis ini? Atau memang dirinya yang sudah ikut hilang akal? "Apa kamu bilang? Loser?" "Iya, loser, payah." Nadira menekan telunjuknya pada d**a bidang lelaki itu. "Bukan cuma cupu ternyata Ariano Mahesa juga payah." Ariano tidak tahu dari mana dirinya tiba-tiba mendapatkan keberanian untuk menghimpit tubuh Nadira ke pintu di belakangnya. Sebelah tangannya memeluk pinggang ramping gadis itu dan sebelahnya lagi menyentuh tengkuk jenjangnya. "Kamu akan menyesal ketika sadar nanti, Nadira." "Kalau gitu buat saya nggak menyesal, Nino." Bukannya merasa takut atau terintimidasi, Nadira justru mendongakkan wajah dan menatap lelaki itu dengan tatapan menantang. Tidak sadar kalau bibirnya yang tersapu lipstick merah darah itu sudah nyaris menghilangkan akal dan pertahanan diri laki-laki di hadapannya. Sebaliknya, Ariano terkejut ketika mendengar gadis itu menyebut nama pendeknya. Tidak ada orang kantor yang memanggilnya demikian. Ariano bahkan tidak tahu bagaimana Nadira bisa tahu nama itu. Tapi apa itu penting sekarang? Saat bibirnya dan bibir Nadira hanya berjarak beberapa senti lagi sebelum benar-benar bisa bertemu. Ariano mendekatkan dahinya pada Nadira hingga menempel namun tetap menyisakan jarak yang sangat tipis untuk bibir mereka. Dalam jarak sedekat ini, mereka jelas bisa merasakan deru napas masing-masing. "Kamu benar-benar bisa bikin saya gila, Nadira." Lalu setelah itu Ariano mendorong pintu kamar mandi di belakang Nadira dan membawa gadis itu ikut serta. Ariano tahu seharusnya ia menghindar selagi bisa. Seharusnya ia tidak membiarkan otaknya kalah dengan tubuhnya sendiri. Apa yang akan terjadi saat gadis itu sadar nanti? Bukan hanya tuduhan penguntit, bisa-bisa Nadira menuduhnya rapist. Meski gadis itu yang menggodanya, tetapi gadis itu tidak sepenuhnya sadar. Ariano yang seharusnya bisa mengontrol diri. Tapi bagaimana bisa dirinya berhenti saat ini? Saat kedua bibir mereka saling berusaha mencecap rasa bibir satu sama lain. Saat tubuhnya sudah setengah mati menginginkan gadis itu untuk dirinya sendiri. "s**t!" Ariano melepaskan ciuman mereka. Menyadarkan diri bahwa mereka kini sama-sama sedang di tempat umum dan cepat atau lambat pasti akan ada orang lain yang melihat mereka kalau ini diteruskan. Nadira mengerjap, membuka mata saat kehilangan nikmat rasa bibir Ariano dari bibirnya. Gadis itu mencoba memajukan lagi wajahnya, meminta, tetapi lelaki di hadapannya menahan wajahnya. Nadira menggeram frustasi, bibir itu berada sangat dekat dari bibirnya tetapi menolak memberinya ciuman lagi. "Please?" Gadis itu meminta dengan wajah penuh belas kasih seperti anak kecil yang minta sebuah permen. "Nadira, kita ada di toilet umum." Ariano mengingatkan. Tetapi bertolak belakang dengan tindakannya, suara serak dan rendahnya justru menandakan jelas bahwa dirinya juga sedang merasakan hal yang sama seperti yang Nadira rasakan. "Demi Tuhan, saya juga ingin kamu. But we can't do this, here," ucapnya begitu dekat dengan bibir gadis itu. "Then bring me somewhere else, somewhere we can be alone so you can 'do' me." "Shit." Lelaki itu mengumpat untuk ke sekian kalinya malam itu. Hal yang jelas sangat jarang dilakukan oleh seorang Ariano Mahesa Kusnawan Hartadi. Dengan gerakan cepat, Ariano melepaskan tangannya dari pipi gadis itu untuk menggandengnya. "Ayo kita ke kamar saya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN