rating: 16+
[t/w: Alcohol and kiss scene]
.
.
.
Pendar cahaya dan alunan lagu memenuhi ruang ballroom salah satu hotel mewah di bilangan Jakarta. Lantai dansanya dipenuhi sesak oleh orang-orang kurang hiburan yang memanfaatkan malam ini sebagai salah satu pelepas penatnya, sedangkan di sudut lain dipenuhi orang-orang yang memanfaatkan malam ini untuk mencicipi prasmanan hotel bintang lima yang mungkin hanya dapat mereka nikmati sekali dalam setahun saja.
Di salah satu dinner table, terisi empat orang perempuan yang malam itu menolak bergabung dalam kubu dansa atau kubu makanan. Di meja mereka hanya terdapat sisa-sisa makanan pencuci mulut dan gelas berisi cocktail. Meski demikian, keberadaan mereka tetap menarik perhatian. Setidaknya sekali atau dua kali mata para kaum adam akan melirik ke meja mereka—sekadar untuk mengagumi atau terang-terangan menghampiri dan mengajak berkenalan. Maklum, acara semacam ini memang biasanya dijadikan ajang aji mumpung untuk mencari gebetan. Dan empat gadis yang tengah berkumpul di satu meja tersebut merupakan gadis-gadis paling menarik di Life Care, Inc yang tentu saja menjadi incaran nomor satu malam ini.
"Tahun ini acaranya boring banget, deh." Anya yang malam itu mengenakan gaun berbahan satin warna merah darah membuka suara sambil menggoyang gelas cocktail di tangannya yang hanya tinggal setengah dan sudah jadi gelas kesekiannya malam ini. Gaun dan lipsticknya benar-benar mencuri perhatian siapapun yang memandangnya.
"Masih mending tahun ini lah, tahun lalu tuh yang apa banget. Live bandnya ancur banget nggak tau lagu-lagunya fourtwnty." Di sebelahnya Gisella menyahut. Gisella bertubuh mungil dengan kulit seputih salju. Gisella ini adalah anak gaulnya ibu kota, hobinya nonton konser dan festival musik. Selera musiknya yang beragam sehingga pengetahuannya soal musisi baik tanah air maupun manca negara cukup luas.
"Acaranya bakal sampai malem banget lagi, gue udah ngantuk!" Kali ini giliran Nadira yang menyatakan keluhannya. "Sekarang kan udah masuk acara bebas, berarti kita bebas dong buat balik?" Malam itu Nadira mengenakan gaun backless panjang berwarna hitam yang melekat pas di tubuhnya. Rambutnya ia biarkan tercepol asal dengan anak-anak rambut yang mencuat ke tengkuknya.
"Ih, pengumuman doorprize beluman tau!" Ivanka yang sejak tadi sibuk dengan pudding coklatnya menyahut. "Lumayan kan kalau menang, dapet macbook pro terbaru!"
"Hai, girls! Kok pada duduk-duduk doang, sih? Nggak ikut turun?" Seorang laki-laki berkemeja hitam fit body muncul dari belakang Nadira, sedikit merunduk agar suaranya tidak kalah dengan musik yang bergema. Nadira yang merasakan tangan lelaki itu menepuk lembut kepalanya memutar mata. Posisinya yang membelakangi laki-laki itu membuat gerakan tadi hanya dapat ditangkap oleh Gisella yang duduk di depannya.
"Nggak Kin, nggak mood!" Gisella menyahut, sengaja memberikan wajah terjuteknya agar Kino tahu kalau salah satu dari mereka terutama Nadira tidak ingin turun ke lantai dansa dengannya.
"Gila si Kino masih aja berani ngelus-ngelus kepala lo padahal udah lo putusin?"
"Gue sama dia nggak pernah jadian." Nadira mengoreksi. "Memang anaknya nggak bisa kalau nggak kontak fisik, makanya gue risih. Tapi kita pisahnya baik-baik jadi ya dia masih friendly begitu."
"Nggak jadian tapi lo sering make out kan sama dia? Ciumannya enak nggak, tapi?"
"Bacot banget lo, Nya!"
Anya tertawa ngakak melihat reaksi Nadira. "Ngomong-ngomong ciuman, lo sama Raffi gimana?" tanyanya mengalihkan topik. "Kok tadi kalian datengnya nggak bareng?"
Nadira memutar mata. "Bisa nggak jangan bahas bocah itu dulu? Pusing gue!"
Ivanka mendorong piring pudding coklatnya yang sudah bersih tanpa sisa. "Berantem dia tadi pas mau otw ke sini, drama banget akhirnya Nadira bawa mobil sendiri terus ketemu gue di parkiran." Ivanka mulai menumpahkan teh panasnya.
Teman-teman Nadira kini mengerti kenapa wajah gadis itu suram sejak acara LC Ball dimulai. Gadis itu sama sekali tidak antusias dan lebih banyak diam.
"Eh guys, itu siapa?" Gisella mengarahkan dagu ke depan, membuat ke tiga gadis lain di meja itu termasuk Nadira menoleh ke arah yang Gisella tunjuk. "Damn, he's so hot!"
"Sejak kapan ada cowok sehot itu di kantor kitaaa?" Anya menatap ke arah laki-laki itu takjub. "And damn, that rolex in his hand looks so sexy, yumm!"
"Gila anak divisi mana itu kok gue baru lihat? Tapi kok mukanya nggak asing, sih?"
Nadira mengerjapkan mata. s**t. "Itu Pak Ariano..."
"HAH?"
Nadira langsung mengenalinya karena malam itu Ariano berpenampilan sama seperti di pagi gerimis waktu itu. Tapi malam ini, Ariano kelihatan seratus kali lebih panas daripada hari itu.
Tentu saja pemandangan menggiurkan itu bukan hanya menarik ke empat gadis itu tetapi juga hampir setiap pasang mata kaum hawa yang ada di ballroom. Sebagian tidak mengenalinya saking jarangnya melihat sosok itu di kantor, sebagian lagi ragu apa benar itu Ariano yang sama dengan laki-laki yang selalu mengenakan kemeja bunga-bunga dan kacamata. Wajah Ariano jelas masih dapat dikenali, tetapi orang-orang hanya tidak percaya Ariano bisa bergaya sekeren itu kalau dia mau.
"Dir, asli kalau lo nggak mau deketin biar gue aja deh yang maju!" Ivanka mengajukan diri. "Gila nggak kuat itu dadanya bikin pengen bersandar!"
"Gatel banget sih betina, inget lo udah punya pacar!" Anya menempeleng kepala Ivanka main-main.
"Guys, mau main yang seru nggak? Biar nggak bosen." Anya menjetikkan jari. Senyuman miringnya berhasil membuat bulu kuduk ketiga temannya meremang. Pasti gadis ini punya ide gila, deh!
"Apa dulu, nih? Kalau suruh flirting sama cowok gue ogah ya, gue udah mau kawin coy." Gisella mengangkat tangannya.
"Yah, nggak asik lo Sel. Lo berdua gimana, mau ikutan nggak?"
"Ya ini mainnya main apa dulu, Zevanya."
Anya memajukan tubuhnya, mengarahkan ketiga sahabatnya yang lain pun ikut maju untuk bisa mendengar gadis itu lebih seksama. "Taruhan, Pak Ariano masih perjaka apa enggak?"
"Udah gila, lo!" Ivanka dan Nadira tidak ragu untuk melayangkan sebuah tempelengan untuk gadis itu yang hanya dibalas dengan tawa.
"Bercanda-bercanda! Tapi asli sih, gue kepo. Masih single nggak sih dia tuh?"
"Kalau single soal punya pacar atau enggak gue nggak tahu, tapi kalau istri belum punya." Nadira menjawab cuek. Atau lebih tepatnya sok cuek, seolah dirinya tidak begitu tertarik dengan topik soal Ariano. Jujur, Nadira bahkan tidak mau sampai teman-temannya tahu kalau Nadira masih memikirkan soal gombalannya di kedai kopi tempo hari. Nanti dipikirnya Nadira benar-benar naksir Ariano, males.
"Lo tau dari mana? Nanya langsung?"
"Ya lihat di aplikasi HR, lah." Jawab Nadira sebelum meneguk cocktailnya. "Udah sih kenapa jadi bahas dia? Kalian sendiri yang kemarin ngatain dia norak dan nuduh gue halu pas bilang dia ganteng."
"Kan gue udah bilang juga Dir, dari awal muka dia sih not bad, tapi kemeja kembang-kembangnya aja yang ganggu." Ivanka membela diri. "Tapi nggak nyangka kalau rambutnya dikeatasin gitu dan lepas kacamata gantengnya kelewatan. Pantes lo langsung naksir ya, Dir? Beneran ganteng banget gitu. Eh nggak ganteng sih, manis...dan sexy..."
Nadira memutar mata. "Berapa kali gue bilang, gue nggak naksir!"
"Kalau nggak naksir, berani nggak lo flirting sama dia terus cium dia?"
"Udah gila kali lo, Nya?" Nadira menatap Anya dengan mata melebar.
Anya mengedikkan bahu. "Lo aja bisa sama Kino make out padahal nggak suka, kalau gitu kenapa sama Pak Ariano nggak bisa? Atau lo nggak percaya diri bisa naklukin dia?" Kalau Nadira rubah berekor sembilan, Zevanya atau Anya ini adalah ratu ular. Bisa dibilang Anya dan Nadira 11-12 soal urusan cowok. Mereka memang bersahabat, nggak pernah berebutan cowok juga karena Anya jarang bahkan nyaris tidak pernah menebar pesonanya di kantor. Tapi ya gebetannya di luar sana ada banyak dan tentunya juga hanya cowok-cowok tampan berkualitas.
"Beda, Anyaaa! Lagian dia tuh eksekutif, mana notice dia karyawan rakyat jelata kayak gue? Lo pikir ini novel?"
"Nggak ada yang nggak mungkin, sis, memang lo nggak tahu kalau Vero anak magang tahun lalu tuh ada affair sama Pak Brata? Direktur keuangan sama anak magang yang masih mahasiswa loh!" Anya menopang dagunya, masih setia mengompori. "Lo pikir si Vero deketinnya pas kapan? Pas acara LC Ball tahun kemarin! Nah, mumpung ini acara setahun sekali dan semua kalangan lagi nyampur jadi satu di sini, harus dimanfaatkan."
Ivanka yang sejak tadi mendengarkan hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan teman-temannya ini seolah yang sedang mereka bicarakan adalah strategi bisnis. Gisella bahkan sudah nggak ikut campur dan memilih berburu makanan karena dia juga nggak akan bisa ikutan.
Nadira sendiri bukannya tidak percaya diri karena status sosialnya. Meski jelas bukan dari keluarga konglomerat atau old money, Nadira tidak bisa dikatakan juga dari kalangan menengah ke bawah. Papanya adalah pensiunan BUMN Pertamina, sedangkan mamanya adalah mantan guru acting di sebuah sekolah seni terkenal yang didatangi banyak aktor dan aktris ternama. Keduanya sekarang memilih tinggal di salah satu daerah di Lembang, mengurus kolam ikan lele dan kebun strawberry. Nadira tinggal sendiri di sebuah apartemen di daerah Kuningan Jakarta Selatan meski sebenarnya kakak perempuannya punya rumah di daerah Pejaten. Rumah keluarga mereka yang ditempati saat masa sekolah Nadira di daerah Tebet juga masih ada meski kini dikontrakkan. Jadi secara ekonomi, jelas keluarga Nadira bisa dikatakan dari keluarga berada. Semua juga tahu kalau melihat berbagai tas dan baju branded yang gadis itu punya. Tetapi tetap saja, di kantor gadis itu hanya karyawan biasa. Hanya seorang staff talent acquisition yang baru bekerja selama dua tahun. Bagaimana bisa dirinya dilirik seseorang dari kasta tertinggi di perusahaan? Ya bisa saja mungkin, kalau nekat.
Tapi untuk apa? Nadira kan tidak benar-benar naksir pada Ariano.
"Gimana, Dir?" Anya menaikkan sebelah alisnya.
Nadira menggeleng. "Nggak minat."
"Payah deh, lo. Lumayan kan kalau sampai bisa nambahin nama seorang bos di list lo."
Nadira menenggak habis gelas cocktailnya. "He's out of the list and never be part of it anyways." Entah itu karena efek alkohol yang diminumnya atau karena suasana hatinya yang sedang tidak baik sejak awal datang, Nadira merasa sesak. Dia butuh udara segar, menjauh sejenak dari hingar bingar pesta dan ledekan Anya karena dirinya yang tidak berani menerima tantangan gilanya.
***
Seperti yang pernah dikatakan, keramaian tidak pernah menjadi tempat yang cocok untuk seorang Ariano Mahesa Kusnawan Hartadi. Seberapa sering Jayler dan Ben menyeretnya ke night club atau tempat ramai lainnya untuk nongkrong, Ariano tetap tidak pernah terbiasa dan menyukai tempat-tempat ramai itu.
Ariano juga bukan peminum yang baik. Tubuhnya tidak toleran dengan alkohol sehingga seteguk wine saja sudah bisa membuat wajahnya memerah dan kepalanya pusing. Untuk itu di setiap sesi nongkrongnya bersama Ben dan Jayler, Ariano lebih memilih mendengarkan ledekan Jayler tentang dirinya yang anak mami yang hanya cocok minum jamu buyung upik ketimbang menenggak alkohol. Lagipula jika laki-laki itu minum, yang repot nanti juga pasti mereka sendiri karena Ariano betulan payah.
Acara LC Ball masih jauh dari kata selesai. Kebanyakan anggota direksi yang sudah berumur sudah kembali ke kamar hotel masing-masing sehingga kini ballroom didominasi oleh para karyawan yang lebih muda. Biasanya Ariano sudah kembali bersama para staff direksi yang lain, tetapi anehnya malam ini Ariano ingin sedikit lebih lama bertahan di sana. Tentu saja bukan karena dirinya mendadak jadi suka pesta melainkan untuk curi-curi lirik ke arah meja di arah jarum jam sembilan.
Iya, Ariano sedang curi-curi pandang ke meja Nadira. Menyedihkan. Laki-laki itu tidak punya keberanian untuk sekedar mendekat. Terlalu banyak pikiran negative di kepalanya yang membuat laki-laki itu harus puas hanya dengan memandangi gadis itu dari jauh. Gimana kalau dia mikir aneh-aneh tentang gue kalau gue tiba-tiba ke sana?
"No, tumben kamu masih stay jam segini. Biasanya selesai makan malam kamu langsung kabur ke kamar hotel."
"Iya nih Pak Brata, lagi pengin aja."
Lelaki berkepala lima itu mengangguk lalu menepuk pundak Ariano. "Ya sudah saya mau balik ke kamar kalau gitu, sudah umur, jam segini bawaannya sudah ingin merem. Duluan ya!"
Selepas kepergian Pak Brata, Ariano kembali melirik ke arah meja Nadira. Tetapi sayangnya gadis itu sudah tidak ada lagi di sana dan hanya menyisakan ketiga temannya. Kemana dia?
***
Nadira tidak menyangka kalau kandungan alkohol di dalam cocktailnya cukup tinggi. Biasanya Nadira tidak gampang mabuk, meski gadis itu termasuk jarang minum tetapi tubuhnya punya daya toleransi cukup tinggi terhadap alkohol. Tetapi malam ini, kepala Nadira rasanya berputar dan jalannya pun sedikit limbung.
Nadira niatnya ingin ke toilet, tetapi ketika dirinya berhasil sampai ia justru memilih berjongkok di depan toilet dan bersandar ke tembok di belakangnya yang terasa dingin menyentuh punggung telanjangnya. s**t, kenapa di saat begini dia malah kepikiran kata-kata Anya?
"Mencium Pak Ariano? Udah gila kali si Anya. Dia aja belum tentu kenal sama gue." Nadira kemudian tertawa, tidak habis pikir dengan ide gila sahabatnya itu. "Gue beneran butuh cuci muka kayaknya." Nadira mencoba berdiri, lupa kalau dirinya punya anemia sehingga tubuhnya langsung terhuyung nyaris ambruk menyentuh lantai karena gerakan tiba-tiba tersebut kalau saja tidak ada sepasang tangan kekar yang menangkap tubuhnya dengan cepat.
Nadira membuka mata setelah berhasil mengembalikan pandangan matanya yang sempat mengabur. Matanya berkedip ketika irisnya bertatapan dengan sepasang mata teduh itu. Mata itu, hidung itu, bibir itu...
"Nadira, are you okay?"
Suara itu. Suara yang sama yang Nadira dengar di bawah guyuran gerimis pagi itu. Suara yang sama yang menyatakan kepanikannya untuk mengganti kopi Nadira yang ia minum.
"Gue pasti mabuk, kalau nggak... mana mungkin Pak Ariano tahu nama saya." Nadira tahu kalau alkohol tidak pernah baik untuk dikonsumsi, tetapi Nadira tidak tahu kalau efeknya bisa seberbahaya ini. Yang Nadira tahu, mabuk telah membuatnya tanpa sadar mengalungkan tangan ke leher Ariano dan mempertemukan kedua bibir mereka dalam sebuah ciuman panas.