8. Tidak Bisa Lupa

1121 Kata
"Udah denger belum Dir, acara LC Ball diadain minggu depan?" Siang itu, Gisella sengaja mampir ke kubikel Nadira di west wings setelah ada urusan dengan employee service. Nadira sendiri sedang melakukan salah satu pekerjaannya yaitu screening pelamar yang sudah apply di jobstreet. Siapapun yang melamar di Life Care, otomatis harus lulus dulu tahap screening darinya. Jadi pintar-pintarlah membuat CV yang menarik tapi tidak terlalu dilebih-lebihkan juga. Karena jika Nadira merasa oke dengan CV pelamar, masih ada screening berikutnya tahap telepon hingga wawancara langsung. "Udah lah, kan nanti yang nyebar broadcastnya divisi gue." "Oh iya lupa." Gisella mencomot keripik kentang dari toples snack di meja Nadira. Gadis itu harus selalu punya snack di mejanya untuk dicemili saat kerja. Apalagi kalau Nadira lagi punya gebetan, stok snack gadis itu seolah tidak ada habisnya karena selalu diisi ulang oleh mereka. "Kalau gitu nanti cari baju yuk ke GI?" "Males ah, gue nyari di zalora aja nanti." Nadira menanggapi dengan mata yang masih fokus ke layar komputernya. "Sel, lihat deh masa foto CVnya selfie dong!" "Eh ngakak mana selfienya alay lagi!" Gisella tertawa tidak habis pikir. "Eh btw si Raffi lo apain, tuh?" "Hah? Kenapa emangnya?" Nadira kini mengalihkan tatapannya dari layar untuk menatap sahabatnya yang hari itu mengenakan blouse berwarna navy. "Tadi dia nraktir PHD buat se-east wings. Kirain lagi ulang tahun, tapi katanya nggak cuma lagi seneng aja. Terus gue mikir jangan-jangan ada hubungannya sama lo. Jadian ya lo?" "Nggak." Nadira menjawab dengan cepat. "Cuma gue kasih nyusu doang." "Si bego!" Gisella menjitak Nadira. Yang dijitak malah tertawa ngakak tanpa dosa. "Tapi ngomong-ngomong si Raffi kayaknya tajir, mobilnya aja fortuner. I mean kalau anak-anak baru lulus kuliah kayak dia paling bantar mobilnya jazz atau CRV kan." "Bercanda gue. Soal tajir sih kayaknya ya lumayan lah, dia juga kalau ngajak gue makan seringnya ke tempat-tempat fancy. Dan bukan cuma buat impress gue tapi emang itu tempat biasa dia makan sama nongkrong." "Huh, kalau gue belum punya Arka mau deh gue sama brondong tajir kayak dia!" Nadira memutar mata, "Sana gih ambil. Nggak ngelarang gue," katanya sambil menegak air putih dari tumblr tupperware yang selalu dibawanya. "Oh iya si Anya tadi bilang lo kemaren godain Pak Ariano ya di coffee shop lobi?" Nadira tersedak, mendadak panik karena volume suara Gisella tuh besar banget tolong. Saat mereka membicarakan Raffi yang hanya anak magang sih nggak masalah, tapi ini yang lagi dibahas tuh Pak Ariano. Atasan dari segala atasan divisinya Nadira. Nadira siap mencekik Gisella kapan saja. Gisella sepertinya sadar dengan pelototan Nadira dan menutup mulut rapat mulutnya. Dengan cengiran penuh rasa bersalah, Gisella akhirnya memilih pamit dan kembali ke kubikelnya di east wings. Semoga saja orang-orang di sekitar Nadira terlalu fokus kerja dan tidak terlalu mendengarkan ucapannya tadi. Selepas kepergian Gisella, Nadira menatap kosong pada layar komputernya. Kalau diingatkan lagi soal itu, Nadira masih tidak habis pikir. She likes to flirt, iya, tapi bukan dengan cara ngegombalin orang. Nadira saja paling nggak suka digombalin laki-laki. Dan Nadira benar-benar tidak bermaksud flirting atau gombal pada Ariano. Nadira bahkan tidak tahu dari mana kata-kata itu berasal. Seperti yang dikatakannya pada Anya, hari itu Ariano terlihat kikuk dan entah kenapa malah menggemaskan. Cara mata Ariano yang bergerak panik dan tangannya yang menggaruk-garuk tengkuk itu bikin Nadira tanpa sadar menceploskan kata-kata yang... ewh kalau dipikir-pikir cringe abis? "Diabetes karena udah manis?" Nadira menggelengkan kepala. "Dari mana juga gue dapet kata-kata begitu, sih?" *** "Mas, kerjaan kamu sekarang udah kosong?" "Ibu... kerjaanku nggak mungkin sampai benar-benar kosong. Kalau sampai kosong ya berarti bangkrut." "Kamu nih! Ibu serius, Maaas! Udah lowong belum kerjaan kamu? Masa kamu sibuk terus sih, memangnya kamu nggak punya pegawai? Kan kamu tuh direktur, Mas, masa semua kerjaan kamu yang pegang?" "Ya nggak gitu, Bu, kan semua karyawan termasuk aku punya job desk masing-masing. Memang kenapa, Bu?" "Anaknya temen Ibu, yang kuliah di Oxford minggu depan mau pulang ke Solo. Itu loh, anaknya Mbak Ningrum. Yang pernah Ibu ceritain itu, Mas!" Ariano mengernyit. Mencoba mengingat-ingat siapa yang dimaksud ibunya. Karena jujur saja, Ibunya sudah terlalu banyak bercerita soal anak-anak temannya sampai Ariano tidak ingat ada berapa orang yang sudah pernah diceritakan. "Mas!" "Hmm, iya inget mungkin kalau lihat fotonya." "Yaudah nanti Ibu kirimin fotonya. Nah, intinya dia bakalan stay di Indonesia sebulan dan minggu depan bakal ke Solo. Kamu kan minggu depan jadwalnya pulang, jadi kamu ketemuan ya sama dia? Terus kamu ambil libur kira-kira seminggu lah buat temenin dia selama di sini." "Ya ampun Bu... memangnya harus banget seminggu? Aku nggak yakin bisa libur selama itu." "Mas kamu tuh jarang bahkan nyaris nggak pernah pakai jadwal cuti kamu tahu, nggak? Bahkan liburan lebaran aja kamu nggak ambil cuti! Pokoknya kalau kamu sayang sama Ibu, kamu minggu depan harus pulang dan cuti seminggu." "Ibu..." Ariano menggaruk kepalanya, frustasi. "Minggu depan aku ada acara anniversary kantor. Nggak mungkin aku nggak datang." "Jadi kamu lebih sayang sama kantormu itu daripada Ibu? Kamu mau ya lihat Ibu meninggal lebih dulu sebelum sempat ketemu cucu Ibu, iya?" "Nggak gitu, Bu..." Ariano mengusap wajahnya, "Gini deh Bu. Acara kantorku itu weekend, aku bakal ke Solo hari Seninnya. Oke aku akan ambil cuti tapi cuma tiga hari aja, gimana?" "Tapi berarti kamu mau kan Mas ketemu sama anaknya temen Ibu itu?" "Iya Bu..." "Awas ya kamu kalau ingkar. Ibu mau kabarin Mbak Ningrum kalau begitu. Yaudah Mas kamu lagi sibuk kerja, kan? Jangan sampai lupa makan terus jamu dari Ibu diminum jangan cuma kamu simpen di kulkas!" "Iya Bu. Ibu juga jaga kesehatan, jangan terlalu pusing mikirin soal jodoh aku. Kalau udah waktunya menikah aku pasti menikah." "Ya tapi kalau nggak ada usahanya Tuhan juga mana mau ngasih, Mas! Udah pokoknya kamu harus sehat sampai hari-H nanti! Udah ya, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Ariano geleng-geleng kepala setelah panggilan diputus. Ibunya ini pasti langsung menyiapkan banyak hal seolah Ariano benar-benar akan menikah minggu depan. Padahal mereka baru akan kenalan dan bertemu. Ariano sendiri bahkan tidak ingat wajah gadis yang akan ia temui ini. Satu buah notifikasi pesan masuk di ponsel Ariano dari ibunya. Sebuah foto seorang gadis mengenakan terusan bunga-bunga yang sedang tersenyum manis ke arah kamera. Ibunya memang selalu memilihkan calon yang tidak hanya pintar—karena biasanya lulusan universitas ternama bahkan luar negeri—tetapi juga berparas cantik. Kadang Ariano jadi merasa insecure sendiri apa gadis-gadis hebat seperti mereka mau dikenalkan padanya yang membosankan begini? Tapi kata Nadira gue manis... Ariano langsung menggelengkan kepala. Lagi-lagi dia mengingat pertemuannya dengan gadis itu di kedai kopi. Ariano memang sering mendengar pujian mengenai dirinya yang manis, tentu saja hanya saat dirinya melepas kacamata dan tidak menggunakan kemeja bunga-bunga kesukaannya. Tapi Nadira adalah satu-satunya orang yang mengatakannya manis saat dirinya menggunakan keduanya, saat dirinya bergaya seperti biasanya. Dan itu juga pertama kalinya bagi Ariano bertemu orang yang berani mengatakannya secara langsung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN