Bunyi alarm berdering nyaring. Semua orang di ruangan yang semula berkutat dengan pekerjaan masing-masing termasuk Nadira berdiri dari kursinya. Suasana yang semula hening berubah jadi panik ketika suara alarm tanda emergency itu terus berdering.
"s**t, kebakaran?" Ivanka yang memang meja kerjanya tidak jauh dari Nadira menghampiri gadis itu dengan panik.
"Kayaknya simulasi." Nadira menjawab cuek. Kantornya rutin mengadakan simulasi evakuasi kebakaran sehingga dirinya sudah tidak terlalu panik lagi ketika ini terjadi. Sesuai dengan arahan dan aturan yang ada, Nadira bersama dengan para pegawai lain mulai mengevakuasi diri mereka melewati tangga darurat. "Untung gue pake flatshoes."
"Mampus banget yang di lantai direksi turun dari lantai dua puluh, gempor dah tuh."
"Orang lantai direksi kan bapak-bapak berumur semua, apa nggak habis tuh napas mereka pas sampai bawah."
"Alah anggota eksekutif mana ikutan simulasi beginian."
Nadira dan rekan-rekannya sampai di lantai dasar dengan napas terputus-putus. Di bawah, para pegawai lain sudah berkumpul di halaman gedung kantor membentuk kerumunan. Siapa sih yang punya ide bikin simulasi kebakaran di jam dua siang begini saat matahari sedang terik-teriknya?
Gedung kantor Nadira adalah gedung kantor dua puluh lantai yang terletak di Sudirman Central Business District atau yang lebih kerap disebut SCBD. Gedung ini sendiri ditempati oleh beberapa perusahaan lain juga dan sialnya, kantor Nadira sendiri menempati delapan lantai teratas gedung tersebut.
"Tapi gue seneng nih simulasi begini, tuh anak-anak kantor asuransi lantai tiga. Seger-seger banget bosku." Anya yang sudah bergabung dengan Nadira dan Ivanka mengedikkan bahu ke arah kerumunan pemuda dari salah satu perusahaan yang menempati gedung itu. "Gue tag yang kemeja biru langit, please!"
"Bisa-bisanya si dodol mikirin cowok di saat kayak gini." Gisell menggeleng tidak habis pikir. Gadis itu sibuk mengibaskan tangan, kegerahan karena terik matahari yang terasa menusuk plus tenaganya yang habis terkuras karena harus menuruni ratusan anak tangga.
Tim pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana DKI Jakarta yang memimpin kegiatan ini memulai sesi arahan tentang pentingnya evakuasi saat terjadi bencana. Nadira dan teman-temannya tidak terlalu memperhatikan, malah sibuk kipas-kipas karena tidak tahan panas. Maklum lah, princess Ibu Kota yang sudah terlalu dimanja AC jadi ogah berlama-lama di kondisi terik begini.
"Raffi!" Nadira memanggil salah satu anak intern yang sedang magang di kantornya. "Sini bentar deh."
Yang dipanggil pun menurut tanpa protes. Ya sebagai anak magang yang baik, tentu saja yang laki-laki itu bisa lakukan hanya menuruti seniornya di kantor. Apalagi yang manggil senior cantik. "Ya mbak? Ada yang bisa dibantu?" tanyanya sopan.
"Berdiri di sini deh!" Nadira memegang bahu lelaki itu dan memutarnya untuk menghadap ke depan. "Nah kamu stay di sini aja udah jangan ke mana-mana!" Nadira menepuk lembut bahu lelaki yang seketika menjadi tegang dan salah tingkah itu.
"I—iya mbak..."
"Dasar geblek!" Ivanka menempeleng pelan kepala Nadira. Bisa-bisanya gadis itu memanfaatkan anak magang untuk melindunginya dari sengatan sinar matahari. Dasar rubah ekor sembilan!
Nadira sendiri hanya tertawa. Itu namanya cerdas. Kalau ada yang bisa dimanfaatkan kenapa tidak.
"What the hell!" Anya menutup mulutnya sendiri yang secara refleks mengumpat. Gadis itu menyikut Nadira di sebelahnya. "Lo harus lihat itu siapa di depan!"
"Apa sih? Siap—Oh My God!" Nadira menganga, kehabisan kata-kata bahkan untuk sekedar mengumpat ia tidak bisa. Padahal baru beberapa hari yang lalu gadis itu tidak menyangka kalau lelaki yang baru saja bergabung masuk ke barisan di paling depan itu cukup tampan, hari ini rasanya Nadira ingin menarik segala pujiannya untuk laki-laki itu.
"Dir serius, gue rasa pagi itu lo halu deh. Yang begitu lo bilang ganteng?" Gisella geleng-geleng kepala.
Ivanka di sebelahnya sudah tidak bisa menahan diri untuk tertawa. "Sebenernya kalau dilihat mukanya doang tuh emang lumayan ganteng loh, tapi itu... ampun deh bajunya!"
"Lo yakin dia beneran kelahiran 1989? Aplikasi HRnya error, kali? Itu mah mirip banget sama gaya bajunya bokap gue! Pake kacamata item lagi, pede amat!"
Anya menyikut Nadira lagi untuk menggodanya. "Boss lo tuh modelnya begitu. Kalah sama Pak Edward yang udah kepala lima tapi fashion sensenya masih oke banget."
Nadira sendiri tidak habis pikir. Apa Ariano itu tidak punya istri atau pacar yang mau memberitahunya kalau selera berpakaiannya tuh... nggak banget? Umur tiga puluh untuk laki-laki itu ibarat lagi di usia matang dan jaya-jayanya, waktunya tebar pesona apalagi kalau sudah punya karir sebagus Ariano. Kalau begitu, siapa juga yang mau?
"Kok gue ikutan malu ya padahal dia bukan siapa-siapa gue," ujar Nadira tidak percaya.
"Deketin gih, Dir, terus lo make over dia biar jadi cakep kayak kata lo kemaren."
"Nggak deh, makasih!"
***
Ariano mengelap jejak keringat di dahinya dengan sapu tangan yang selalu ia bawa di dalam kantung celana bahannya. Dirinya sudah lama tidak olahraga, sehingga turun tangga sebanyak itu ternyata berhasil menguras tenaganya lebih dari yang ia kira. Pantas saja Jayler sering meledeknya seperti bapak-bapak padahal usianya baru di awal kepala tiga. Sepertinya Ariano harus mulai kembali ngegym atau minimal berenang untuk meningkatkan stamina tubuhnya.
Kegiatan simulasi bencana kebakaran yang diadakan gedung kantornya telah selesai, kini semua pegawai berangsur kembali ke ruangan dan lantai kerja masing-masing. Sambil menunggu lift tidak terlalu penuh, beberapa orang memilih duduk-duduk santai di lobby. Ariano pun memilih berjalan ke kedai kopi yang terdapat di lobby kantornya, segelas ice americano mungkin akan memberinya sedikit tenaga.
Setelah memesan, Ariano duduk untuk menunggu pesanannya dibuatkan sambil memainkan ponselnya. Fokusnya terpaku beberapa saat kepada laman berita yang tengah dibacanya sampai ia mendengar namanya dipanggil barista.
"Pak Ariano!"
"Kak Nadira!"
Ariano lebih dulu meraih gelas di atas meja dan menusukkan sedotan hijaunya tanpa memperhatikan gelas yang ia ambil. Ariano pun dengan santai menyedot kopinya sambil berlalu tanpa sadar bahwa ia telah mengambil gelas yang salah.
"Pak! Pak Ariano!"
Ariano menghentikan langkah ketika merasa namanya dipanggil. Matanya sedikit terbelalak ketika melihat siapa yang telah memanggilnya dan kini berjalan ke arahnya. Gadis yang berbagi payung dengannya hari itu!
"Ya?"
"Uhm maaf Pak, pesanan kita ketuker." Nadira menyodorkan gelas di tangannya yang ternyata milik Ariano. Pantas saja kopi pesanannya terasa manis padahal dia memesan tanpa gula
"Ah, maaf. Kopi kamu sudah saya minum." Ariano menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidar sadar dirinya berubah jadi kikuk. "Kalau begitu minuman kamu saya ganti, ya?"
"Eh, nggak usah Pak." Nadira menggerakkan tangannya, "Saya minta extra syrup aja nanti ke baristanya. Tapi bapak nggak apa-apa minum kopi saya? Manis loh itu."
"Nggak apa-apa, saya bisa minum manis."
"Takut diabetes Pak, kan bapak udah manis." Nadira tersenyum lalu mengangguk kecil, "Duluan Pak." Lalu seperti tanpa dosa, gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Ariano yang terpaku di tempatnya.
"What the hell was that?" Ariano berucap pelan sambil memandangi punggung Nadira yang semakin menjauh. Lelaki itu masih mencoba untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia menatap gelas kopi di tangannya yang sudah tinggal setengah. Di gelas itu terdapat tulisan yang ditinggalkan barista untuk gadis itu.
Kak Nadira
Have a nice day =)
Oh, jadi namanya Nadira?