Menjalani kehidupan di desa bukanlah hal susah bagi Aru.Malah menyenangkan. Aru terlihat menikmati setiap momennya. Saat Subuh, dia akan mendengar suara ayam jantan berkokok. Setiap malam, terdengar suara jangkrik mengerik. Yang paling ditunggu Aru adalah setelah hujan. Konser alam.
Tek dung! Tek dung! Tek dung!
Suara kodok saling bersahut-sahutan membuat dirinya seolah berada di konser musikal. Duduk di bangku penonton, berada di dalam gedung mewah. Mendengarkan pertunjukan musik yang indah. Bagaimana para pemain musik profesional dengan alat yang berbeda, mereka saling mengisi dan melengkapi musik menjadi harmoni yang indah.
Lamunan tersebut membuat suasana hatinya sedikit membaik. Setelah kemarin, dunia Aru terasa jungkir balik. Kali ini, Aru berniat menjalani kehidupan tenang selama di kota Sabin.
Dia khawatir pada ibunya. Dia sudah mencoba menghubungi semua nomer yang ada di dunia sana. Tetapi semuanya nomer yang tidak terdaftar. Dia meyakinkan bahwa ibunya baik-baik saja. Dalam keadaan seperti ini dia kangen dengan Dewanti. Gadis itu pasti akan membuatnya lebih semangat.
Terlebih kata - kata Dewanti tentang dirinya akan masuk ke dunia paralel ini membuatnya yakin bahwa dia bisa kembali ke dunianya lagi.
Aru berjalan jalan pagi di sekitarnya. Sebuah kendaraan tanpa atap melaju menyalipnya. Aru belum pernah melihat kendaraan itu sebelumnya. Dibilang mobil bukan, truk juga bukan. Mesin dengan satu pengemudi, di belakang pengemudi itu bukanlah tempat duduk penumpang,melainkan corong -corong berukuran besar. Lagipula laju kendaraan itu sangatlah lambat. Bila berlari, Aru yakin bisa menyalipnya.
Pertanyaan Aru terjawab ketika kendaraan itu berhenti di sebuah rumah. Pengemudi turun dan masuk ke dalam rumah. Ketika si pengemudi ini keluar, dia memanggul sebuah karung di bahunya. Karung itu dibuka dan isinya dituang ke salah satu cerobong di kendaraannya.
Ada tiga cerobong pada kendaraan itu. Suaranya seperti motor yang knalpotnya tanpa saringan.
Det det det! Det det det!
Aru mendekat melihat apa yang dimasukkan ke dalam corong. Ternyata gabah. Gabah yang keluar dari corong, menjadi beras.
Kendaraan itu rupanya alat untuk menggiling gabah. Aru belum pernah melihat ini di kota. Biasanya dia langsung membeli beras di pasar.
Si pengemudi menanyakan sesuatu pada Aru, tetapi suara mesin selep berjalan ini terlalu bising sehingga Aru tidak mendengar.
"Apa Pak?" Aru mengeraskan suaranya supaya terdengar.
Si bapak yang berpakaian lengan panjang dan celana panjang itu serta memakai masker cuma menunjuk nunjuk mesin.
Aru memberi isyarat dengan tangan tidak mengerti.
Si bapak sepertinya mengerti isyarat Aru. Dia kemudian sibuk memindahkan beras setengah jadi dan menuangkan kembali ke corong kedua.
Masing masing corong lubang keluar ditadahi oleh karung.
Mesin dimatikan oleh bapak itu. Ada tiga buah karung hasil dari penggilingan gabah. Hasilnya yaitu rambut atau kulit gabah, beras dan juga bekatul.
Pengemudi itu membuka maskernya. "Baru lihat selep keliling Mbak?"
"Iya Pak." Aru tersenyum rupanya si bapak ini pasti merasa heran Aru mengamati mesin penggilingan padi itu dengan seksama.
Si pengemudi itu menyalakan mesin dan duduk di atas kendaraan. Kemudian selep berjalan pergi.
Aru dipersilakan duduk di teras oleh tuan rumah. Disuguhi singkong rebus dan segelas es teh.
"Rejeki anak baik!" Aru langsung mencomot singkong tanpa malu. Perutnya sudah berteriak sedari tadi. Hanya saja dia masih penasaran dengan mesin huller.
Rencananya dia jalan pagi sekalian mencari sarapan. Tetapi karena ditawari kudapan enak, Aru tentu tidak menolak.
Sekalian dia ingin mencari tahu tentang kota Sabin ini. Mereka bercakap cakap lama. Aru menceritakan dirinya yang sedang mencari kerja paruh waktu untuk tambahan biaya kuliah.
Meskipun Aru masih belum percaya bahwa dirinya adalah mahasiswi. Tetapi mempertanyakan hal tersebut pada banyak orang akan membuat dirinya terlihat aneh. Jadi dia memutuskan untuk mengikuti alur hidupnya.
"Kebetulan, kami sedang mencari orang untuk kasih makan ayam. Mbaknya mau?"
"Boleh, Bu." Aru terlihat antusias dengan pekerjaannya.
"Sehari cuma kasih makan dua kali. Pagi dan sore. Di sini, perempuan terlarang untuk keluar rumah saat gelap."
"Tapi kenapa ya?"
"Jangankan perempuan, saya yang sudah setua ini aja malas untuk keluar malam. Takut," seorang bapak keluar dari rumah.
"Iya Non, bahaya. Ada Wewe," jelas Bu Fatma.
Bu Fatma menceritakan tentang Wewe. Dulu pernah ada perempuan di desa itu yang mau melahirkan saat magrib. Tentu saja warga panik. Bagaimana caranya memanggil bidan atau mengamankan perempuan itu dari Wewe. Para warga berkumpul dan mengawal bidan pergi ke rumah perempuan yang akan melahirkan itu.
Ternyata perempuan itu tidak ada di rumah. Para warga pergi mencarinya, namun karena kondisi yang gelap. Saat itu listrik belum masuk desa. Mereka tidak menemukan apa-apa. Besoknya baru ditemukan jenazah perempuan itu di dekat sungai.
"Korban wewe bukan cuma perempuan yang hamil, Non. Beberapa bulan yang lalu, ada dara sini yang datang dengan luka parah. Dia diboyong oleh pendekar Api abadi. Orangnya ganteng Non."
"Kok malah ngomongin orang ganteng,Buk."
"Lha gimana, memang orangnya ganteng. Gagah pisan."
"Rambutnya panjang kepangan gitu ganteng dari mana? Ganteng aku."
Bu fatma yang merasa gemas dengan tingkah suaminya langsung mencubit perut bapak. "Perutnya ini dikecilin dulu."
Aru tertawa melihat mereka. Membuatnya rindu dengan keluarga. Meski ibunya terkesan dingin. Yang diingat Aru hanya ibu yang selalu dan selalu sibuk dengan televisinya.
Aru mulai bekerja sore harinya. Pekerjaan yang mudah. Tinggal mencampurkan bekatul dengan nasi ditambah air sedikit.
"Gampang banget!"
Aru pergi ke belakang rumah Bu Fatma. Ada beberapa kandang ayam di sana. Ayam di kandang ukurannya kecil-kecil. Untuk ayam yang di kandang, Bu Fatma berpesan untuk memberi pakan wur. Sedangkan untuk yang besar, bisa dengan bekatul.
Aru mengenakan sarung tangan, dia memulai pekerjaannya. Senyum terukir manis di wajahnya.
Setiap wadah makanan ayam yang terbuat dari bambu itu diisi dengan wur. Dia juga mengganti air minum ayam.
Dia senang sekali mengamati anak ayam itu bercicit cicit. Mereka hanya seukuran genggaman Aru.
Aru masuk ke dalam rumah mengambil nasi dan bekatul. Dia menaruhnya dalam ember kecil. Menuangkan air ke dalam adonan tadi dan mengaduknya.
Dia membagi makanan itu pada baskom baskom yang tergeletak di tanah. .
Ketika hendak berbalik, seokor ayam jantan berukuran lebih besar dari lainnya mendekatinya. Ayam jantan lainnya menghadang, kemudian dua ayam jantan itu bertarung.
Aru bingung. Apa yang harus dilakukan. Dia celingukan. Matanya menangkap ada sebuah sapu di sudut luar rumah. Aru mengambil sapu tersebut dan mengarahkan sapu ke dua ayam yang bertarung. Dia berharap ayam itu berhenti dan kabur dari sapunya.
Yang terjadi malah sebaliknya. Ayam jantan yang berukuran besar itu melepaskan lawannya dan mendekati Aru.
Aru mundur beberapa langkah. Dia mengayun ayunkan sapunya ke arah ayam. Ayam itu tidak takut. Seluruh bulunya berdiri. Sayapnya terbentang. Dia siap menyerang Aru.
Aru bergerak ke kanan. Ayam mengikuti. Bergerak ke kiri, si ayam juga mengikutinya.
Aru menelan ludah. Dia melemparkan sapu ke ayam kemudian berlari hendak masuk rumah. Layaknya akrobat, ayam itu menghindari sapu dengan terbang rendah. Kemudian berlari mengejar Aru.
Paruhnya yang kuat mematuk p****t Aru. Aru menjerit ketakutan. Bu Fatma yang mendengar suara Aru langsung mengambil sebuah gayung berisi air dan melemparkan air tersebut ke ayam.
Si ayam terlalu kaget, dia mundur. Namun nyalinya belum ciut. Bu Fatma memanggil bapak. Bapak tergopoh-gopoh menangkap ayam jantan galak itu dan memasukkannya ke dalam kandang.
"Ada yang luka Non?" Bu Fatma memeriksa tubuh Aru.
"Nggak ada Bu. Sakit sedikit dipatuk di sini." Aru menunjuk pantatnya.
Bu Fatma mengeluarkan suara seperti tercekik, dia menahan tawa. "Syukurlah kamu nggak apa-apa." Dia menatap suaminya dengan kesal. "Sudah kubilang, jual saja ayam itu. Lebih galak ayamnya dibanding tuannya."
Suami Bu Fatma masih berusaha mengatur nafasnya. "Iya...yah...ya."