Rengganis asyik bercengkrama dengan Arunika. Usia kandungannya sudah memasuki empat bulan, bayinya sudah menunjukkan adanya gerakan. Arunika bahkan sangat senang begitu menyentuh perut Rengganis. Dia merasa tersentuh dengan keajaiban dalam tubuh perempuan.
"Hanya perempuan yang bisa merasakan hal seperti ini. Hamil dan melahirkan. Peristiwa yang ajaib," kata Rengganis.
Arunika setuju. Dan dia merasakan ada ruang kosong di hatinya. Dia ingat ibunya. Arunika tetap berusaha riang di hadapan Rengganis. Menutupi perasaannya yang sakit, karena ingat ibunya. Keberadaan ibu, yang entah itu ada atau tidak.
Arunika tidak bisa mengujungi lama-lama. Sebab Bayu sudah memberikan isyarat dengan menunjuk jam tangannya. Agar mereka segera pergi dari sana. Ada banyak hal yang harus mereka kerjakan.
Renganis memeluk Arunika. Berharap mereka segera bertemu kembali. "Salam kenal buat pacarm ya," kata Rengganis mengedipkan mata.
Arunika tidak harus berkata apa. Apalagi sepertinya Bayu mendengarnya. Arunika bisa melihat ekspresi sombong itu terpasang di wajahnya. Mereka pun meninggalkan tempat perlindungan ibu hamil.
"Dia tidak tahu ya kalau kau itu petinggi?" tanya Arunika untuk mengalihkan pembicaraan begitu mereka berjalan di lorong yang sepi.
"Entahlah. Susah untuk melupakan wajah tampan ini," kata Bayu riang.
Arunika mencibir. "Dasar sok!"
Bayu menyengir. "Kenapa? Harusnya kau bangga punya pacar ganteng dan banyak gunanya."
Arunika tergelak, "Siapa pacar siapa?"
"Kata temanmu, aku pacarmu? Kau bilang begitu padanya?" ledek Bayu. Bayu terus berjalan, dan Arunika mendadak berhenti.
"Hei! Aku tidak bilang begitu ya, dia yang salah paham!" Bela Arunika.
"Iya baiklah. Tidak diakui juga tidak apa. Aku masih tetap berguna untukmu."
Arunika tidak percaya lelaki itu mengatakannya dengan nada sombong. Dia menjadi kesal sekaligus malu.
***
Kiandra merasa aneh. Dia tidak diizinkan untuk kelar dari mansion selama beberapa waktu. Bahkan ayahnya melarang dengan tegas dia juga tidak boleh memasuki gedung satunya. Kiandra tahu, ada beberapa orang yang menginap di sana. Kiandra tidak bodoh.
Dia menyelinap diam-diam, dan mengintip siapa yang tinggal di sana. Dia melihat Panji dan Bayu. Untuk apa mereka di rumahnya. Apakah mereka melakukan hal itu untuk melindunginya? Bahkan Naraya pun tidak muncul setelah mengantarnya ke rumah Bayu. Dia sedikit merasa kesepian.
Dia bisa saja menerobos untuk menyapa Panji. Bagaimanapun, dia pernah tergila-gila dengan Panji. Sekarang, dia tidak terlalu merasa Panji itu sekeren sebelumnya. Namun niat itu dia urungkan begitu melihat Arunika di sana. Keluar mobil bersama Bayu.
Kiandra membekap mulutnya dan berlari kembali ke rumah utama. Dia tidak tahu kalau Arunika juga ada di sini. Apa yang mereka rencanakan?
Meskipun dia terkurung dalam rumah, dia juga mendengar kalau Arunika dicurigai sebagai mata-mata manusia wewe. Tetapi sepertinya ayahnya dan Bayu tidak mempercayai berita itu. Jadi dia memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Dia meminta para penjaga rumah untuk memeriksa kamarnya, sebab dia melihat ada yang aneh. Tanpa curiga, mereka pun meninggalkan pos mereka. Dan Kiandra melesat pergi menuju gedung samping rumah utama.
Kiandra melihat ekspresi Bayu sangat ganjil. Dia tersenyum dan tertawa. Ih, Kiandra merasa merinding. Lelaki sombong dan judes itu bisa bersikap sangat berbeda di hadapan Arunika. Cewek jadul itu memang penyihir. Tunggu, bukankah itu gaun milikku? Gaun itu memang sudah dia singkirkan dari lemarinya. Tetapi tetap saja, itu punyaku! Bagaimana mungkin cewek jadul itu bisa memilikinya?
Kiandra bergerak menyusul mereka memasuki gedung itu.
"Apa yang kalian semua lakukan di sini? Main rumah-rumahan?"tanya Kiandra tajam. Dia berdiri di ambang pintu.
Naraya, Bayu, Panji, Arunika segera menoleh ke sumber suara. Kiandra .
"Kau urus dia," perintah Bayu pada Naraya. "Panji, kau ikut aku." Bayu mengabaikan Kiandra, tuan rumah, dan memilih masuk ke kamarnya disusul oleh Panji.
Arunika pun hanya mengangguk pada Kiandra dan kabur ke dalam kamarnya juga.
Wajah serius Naraya berubah begitu melihat Kiandra. Dia masih dalam kimono dan rambut panjangnya. Dia berjalan pelan dan mengulurkan tangan pada Kiandra. "Duduklah dulu, aku akan berikan penjelasan," kata Naraya.
Kiandra seharusnya bisa menolak. Tetapi ditatap lembut oleh lelaki ini, pertahanannya buyar. Dia bahkan lupa, tentang gaun yang dipakai oleh Arunika. Dia menyambut tangan Naraya, dan mereka pun duduk di sofa.
***
Bayu menyerahkan kotak berisi cincin itu pada Panji. "Benda ini, kau yang simpan saja," kata Bayu.
Panji membuka dan melihat isinya adalah cincin. Dia memandang Bayu bingung. "Ini cincin lamaran?" tanya Panji dengan tampang bloon.
Bayu menggetok kepala keponakannya dengan gemas. "Untuk apa aku melamarmu? Dasar anak bodoh! Ini cincin warisan keluarga Haya. Disimpan oleh Betari dari Lukman."
Begitu tahu cincin apa itu, Panji merasa tersanjung mendapatkannya. "Waw.Ini barang keren."
"Tetapi cincin itu ada kutukannya," gumam Bayu.
Panji melirik Bayu. "Kau ingin aku mati ya?"
Bayu tertawa. "Tidak akan membuatmu mati, kutukan itu bisa dilepas oleh Naraya. Aku rasa kau sudah memiliki takdir untuk mendapatkan cincin itu."
"Apa istimewanya cincin ini?"
"Katanya bisa bertelportasi," gumam Bayu. "Sebaiknya nanti kau tanya Naraya. Sebenarnya tadi aku mau tanya, tetapi nenek sihir itu datang. Jadi sebaiknya kau saja," kata Bayu merasa sebal.
"Baiklah. Apakah besok kita jadi ke tempat Haya?"
"Iya. Aku ingin memastikan soal cincin ini, dan dia ada di pihak siapa?"
"Apakah perlu harus ke sana? Di sana kan, tidak ada sinyal."
Bayu menggetok kepala Panji sekali lagi. "Dasar anak milineal. Kehilangan sinyal saja bingung. Aku hidup di mana belum ada ponsel, harusnya kau belajar dariku."
Panji mendengus. "Makanya kau cocok dengan Arunika, cewek jadul. Dia hanya menggunakan ponselnya untuk telepon dan mengirim pesan saja. Ponsel pintar di tangannya bernasib sia-sia," kata Panji menghina.
Bayu tertawa terpingkal-pingkal.
"Saat aku pertama kali bertemu dengannya, dia masih menggunakan ponsel monokrom kuning itu. Aku heran, dia hidup di zaman apa," cerita Panji.
Bayu sudah bisa menguasai diri. Dia berdeham. "Apakah kau punya ide, bagaimana Lukman bisa mendapatkan cincin ini?"
"Wuah, topiknya melenceng jauh!" Panji mengangkat tangannya.
"Aku memikirkan kemungkinan ini. Lukman juga bagian dari keluarga Haya."
Wajah Panji berubah dari konyol menjadi serius. "Kau bercanda, Paman."
Bayu mengangkat bahunya.
"Sejujurnya aku pernah mendengar kabar tidak baik mengenai Lukman."
Bayu terlihat tertarik. "Apa itu?"
Panji terlihat gelisah. Dia enggan mengungkapkannya. Bagaimanapun kabar itu menjadi sangat kejam.
"Katakan, apa itu?" Bayu menekan Panji.
Panji mengehembuskan nafas keras. "Aku pernah mendengar bahwa dia sendiri yang telah membunuh kedua orangtua."
Bayu terdiam. Dia menatap cincin itu lama sekali. "Kita akan mendapatkan jawabannya besok. Kisah cincin terkutuk ini."