Cincin Kutukan

1595 Kata
Dor dor dor! Terdengar letusan meskipun pelan. Panji dan Arunika mendengarnya. Mereka berdiri dari duduknya. Mereka saling berpandangan bingung. Suara apa itu? Apakah di dalam markas pun bisa dimasuki musuh secara terang-terangan? Panji bertanya pada salah satu pelayan cafetaria yang sedang membersihkan meja di samping mereka. Suara apakah itu. "Oh itu hanya, convety, Kak. Mungkin ada yang ulangtahun," kata lelaki jangkung itu. "Sejak para ibu hamil dipindahkan kemari, suasana di sini lebih ramai dan berisik," katanya lagi. "Suaranya terdengar sampai di sini?" Gumam Panji. "Iya, memang begitu Kak." "Ibu hamil? Rengganis?" Gumam Arunika riang. Berarti dia bisa bertemu dengan Rengganis. "Di mana ruangan ibu hamil itu, kami bisa mengunjunginya kan?" Tanya Arunika penuh harap. "Oh tidak bisa, Kak. Ruangan mereka dijaga ketat. Tidak bisa sembarangan orang bisa masuk," jawabnya. Lalu dia pamit untuk kembali ke pekerjaannya. Arunika kecewa. "Kita tunggu Bayu saja. Aku juga nggak punya akses ke sana," cetus Panji. "Lama banget dia, bahas apa saja sih?" Arunika menggerutu. *** Setelah membereskan Laksamana. Dan mengirimnya kembali ke rumah. Bayu kembali ke ruang rapat. Pembahasan terkait laporan keuangan telah selesai dipegang oleh Betari. Bagus sekali, Betari datang. Sehingga dia bisa menyusul Arunika. Eh ternyata malah menemui Laksamana yang bertindak buruk di dalam markas ApiAbadi, di bawah kekuasaannya. Airlangga mengusulkan Bayu tetap meneruskan pekerjaan Lukman. Sebab dia menilai tidak ada yang bisa menggantikan posisi Lukman. Bayu masih belum berkenan. Lainnya pun sepertinya juga punya pilihan sendiri. "Kita akan membahas di pertemuan selanjutnya terkait penggantian Lukman. Usulan tetap kami buka, dan akan dilakukan voting. Untuk sementara, aku tetap dalam posisiku," kata Bayu menutup rapat. Begitu semua orang pergi dari ruangan. Betari menghembuskan nafas keras. "Kenapa Bet?" Tanya Bayu duduk di meja dengan santai. "Kehilangan Lukman membuat kita semua bingung. Kukira tugasku sudah ribet. Ternyata tugas yang diemban Lukman lebih banyak dan tentu lebih ribet," keluh Betari. Bayu tertawa. "Dia memang begitu. Yang berat selalu dia pikul sendiri." "Aku harap kau tetap memegang kendali, Bayu. Memangnya kau mau pergi kemana?" Betari mengumpulkan semua berkas jadi satu. Dan mendekapnya di d**a. Bayu diam saja. Pandangannya menerawang. "Kalau kau ingin mencari manusia Wewe itu. Lakukan saja. Biar kantor aku yang urus. Tetapi kau akan meneruskan pekerjaan Lukman," saran Betari. "Kenapa aku harus mencarinya? Dia akan datang sendiri." Betari memandang Bayu dengan geli. "Ah, kalau kau menganggap aku anak kecil. Tidak apa. Tapi aku ini sudah bisa membaca situasi. Dan aku akan memberikanmu sebuah benda yang bagus. Tunggu di sini." Betari berjalan cepat ke luar ruangan. Semua berkas dia bawa. Beberapa menit kemudian terdengar sepatu heelsnya kembali. "Ini buatmu saja," kata Betari menyodorkan sebuah kotak pada Bayu. Bayu memandang kotak itu tanpa minat. "Apa ini?" Betari tersenyum. "Hadiah ultahku. Tetapi kau pasti lebih butuh," kata Betari yakin. Bayu membukanya. Kotak itu berisi sebuah cincin dengan permata berlian. Dari desainnya, ini cincin kuno. "Benda apa ini, apa kegunaannya?" "Teleportasi," kata Betari. Bayu tersentak, dia turun dari meja. Dan menatap cincin itu lekat-lekat. "Ini dari Lukman?" "Benar. Darimana kau tahu?" "Aku pernah dengar, keluarga Haya memiliki benda yang bisa membuat mereka menghilang. Tapi benda itu apa dan bagaimana, tidak pernah disebutkan. Katanya benda itu telah hilang sudah lama." Betari bingung. "Aku pikir itu benda milik keluarga Candra. Kenapa milik Haya? Kenapa Lukman memilikinya dan memberikannya padaku?" "Entahlah. Apa yang dipikirkannya aku pun tak tahu." "Apa ini artinya dari keluarga Haya yang memasukkan mata-mata?" Bayu memegang cincin, dan memutar mutarnya. Mengamati lebih teliti. "Entahlah." *** Laksamana pulang ke rumah dengan tubuh terluka. Para asistennya menyambut dengan suka cita. Mereka berebut memberikan perhatian. Tetapi Laksamana masih marah. Dia marah karena tidak mendapatkan gadis itu. Marah karena Bayu membuangnya. Dan lagi, anak nakal itu. Dia akan menghukum mereka semua. Para asistennya berkumpul dan menawarkan jasa. Pelan-pelan amarah Laksamana mulai reda. Kutukan penebar benih lebih menguasai dirinya. Dia baru saja akan melemparkan dirinya ke dalam kehangatan, ketika tubuhnya terangkat dan melayang dengan posisi terbalik. Kepala ada di bawah. Para asisten itu berteriak meminta tolong. Mereka panik dan meninggalkan Laksamana yang melayang layang di udara. "Ampun! Ampun! Siapapun tolong aku!" Jerit Laksamana takut. Dia sampai terkencing di celana. Celananya basah sampai ke bajunya. Laksamana kemudian jatuh terpelanting ke lantai. Terangkat lagi dan dijatuhkan berulang kali. Dia merasakan kepalanya sakit karena menghantam lantai terus-terusan. Dan rasa pusing yang membuatnya akan muntah. "Tolong, aku akan berikan apapun," pinta Laksamana. Tetapi tubuhnya tidak mau berhenti. Kepalanya terus menghantam lantai sampai berdarah. Dan dia pun pingsan. Para asisten itu datang dengan para pengawal. Mereka sangat syok melihat tubuh Laksamana basah, bau pesing dan juga kepalanya nyaris hancur. Mereka melatikannya ke rumah sakit dan menghubungi Bayu. *** "Sebaiknya kita pulang saja. Kalau besok jadi ke tempat Haya. Kita akan butuh banyak tenaga, karena perjalannya lumayan jauh," kata Panji memijat ponselnya. Mereka sudah berada lebih dari dua jam di cafetaria. Namun Bayu belum muncul juga. Arunika diam. Dia masih ingin bertemu dengan Rengganis. Tetapi sepertinya mereka belum bisa bertemu sekarang. Kondisi saat ini markas sangat memperketat penjagaan ibu hamil. Mereka tidak bisa memberikan izin siapapun masuk, termasuk para pendekar. "Baiklah ayo pulang," kata Arunika menyerah. Ponsel Panji berdering. Arunika melihat Panji males menerima telepon. Namun ponselnya terus berdering tanpa henti, maka dia pun terpaksa menerimanya. "Apa? Baiklah. Terimakasih informasinya." Panji menutup telepon dengan kening berkerut. "Ada apa?" Tanya Arunika. "Laksamana masuk rumah sakit, lehernya patah," kata Panji dengan raut bingung. Mereka saling berpandangan dan tercetus satu nama yang sama. "Bayu!" Teriak mereka berdua bersamaan. Yang dipanggil tiba di cafetaria. Dia melambai ke setiap orang yang menyapanya. Pesonanya tidak mirip seperti pemimpin. Namun lebih mirip artis idola. Bayu berjalan dengan badan Tegap namun santai. Dia tersenyum cerah ketika melihat Arunika dan Panji. Tetapi dia mulai bertanya ketika melihat wajah Arunika dan Panji terlihat panik. "Ada apa?" "Kau yang melakukannya?" Tanya Panji sambil menunjuk ponselnya. Bayu bingung. "Ponsel apa?" "Bukan ponsel. Tapi buaya darat itu. Si Laksamana," kata Arunika. Bayu mendengus. "kenapa dia?" "Kau membuatnya tulang lehernya patah?" "Apa? Siapa?" "Kau?" Tuduh Arunika. "Tentu saja bukan." "Terus siapa?" Tanya Panji dan Arunika. Bayu duduk di meja dan memanggil pelayan. Dia menyebutkan pesanannya. Melihat dua orang itu masih berdiri bingung. Bayu menyuruh mereka duduk. "Kalian nggak capek berdiri?" Tanya Bayu. Panji menggeser kursi lebih dekat dengan Bayu. "Apakah kau tidak ke sana?" Tanya Panji ingin tahu. "Nanti. Kalau waktuku longgar," jawabnya dingin. Arunika merasa mereka berdua aneh. Mendengar kabar keluarga mereka mengalami kecelakaan, tetapi mereka berdua nampak tenang. Tanpa panik. Tanpa merasa buru buru harus menengok. "Hmm, kalian nggak mau menjenguknya?" Tanya Arunika hati-hati. Panji mengangkat bahunya. Dia tidak punya alasan untuk melakukannya. "Yang penting dia masih hidup. Semuanya akan baik," kata Bayu. Dia memandang Arunika. "Dia akan baik baik saja." Arunika duduk di kursinya. Dia masih merasa aneh. Namun dia tidak melanjutkannya pertanyaanya. "Katanya kau ingin bertemu dengan Rengganis. Setelah ini, kita ke sana," kata Bayu. Arunika mengangguk senang. Mereka kemudian berbicara tentang rencana kunjungan menuju keluarga Haya. Bayu menyebutkan tempat di sana seperti pedesaan biasa. Tidak ada mall, gedung bertingkat. Lebih banyak tanah lapang, Padang rumput. "Apakah di sana juga ada Wewe?" Tanya Arunika polos.  "Tentu saja ada. Makanya di setiap wilayah ada keluarga yang menjaga dan melindungi warga," terang Panji.  Bayu menyisir rambutnya ke belakang. "Sebab sudah menjadi hukum wajib bagi kaum bangsa untuk memerangi wewe. Meskipun ada juga oknum yang memihak Wewe," kata Bayu.  "Hukum wajib?"  "Orang lain menyebut kami, istimewa, yang terpilih atau apapun itu. Aslinya hukuman untuk kaum bangsawan," kata Bayu tertawa sinis.  "Beruntungnya kami," tambah Panji dengan senyum miring.  "Apakah kalian terpaksa melakukannya?"  Panji dan Bayu hanya menjawab dengan senyum. Bayu meminum jus dengan sekali genggam. Kemudian mengajak Arunika mengunjungi Rengganis.  Panji meminta izin untuk pulang. Sebab malam ini harus bertugas. Sedangkan Arunika masih dibebastugaskan sebab dia menjadi gadis yang dicurigai.  Arunika dan Bayu melewati lorong dengan kekuatan sihir. Ada lingkaran merah yang tebal menyelubungi tempat itu.  "Lingkaran merah yang kita buat itu, baru aktif setelah Lukman meninggal. Proteksinya sangat kuat. Jadi kukunya ibu hamil untuk tinggal di sini. Sampai tempat baru untuk mereka siap." Bayu memberikan penjelasan ketika mereka berjalan berdua menuju tempat ibu hamil.  "Kenapa baru aktif setelah Lukman meninggal?"  "Sebab segel tempat ini, Lukman kuncinya."  "Sekarang kau jadi kuncinya?" Tanya Arunika menggosokkan tangannya. Dia merasa udara menjadi dingin.  Bayu meraih tangan Arunika dan menggenggamnya. "Bukan hanya aku. Tapi juga kau dan sepuluh keluarga."  Arunika mengerti sekarang. Alasan kenapa Lukman meminta mereka membuat segel bersamaan. Sebab dengan begitu, kunci tidak bisa dibuka sembarangan.  Ada dua orang yang menjaga pintu ruangan itu. Arunika mengenal mereka. Mereka adalah dua pendekar dari sepuluh keluarga.  "Mereka adalah Gardapati dan Jangkung," kata Bayu.  "Itu bukannya nama keluarga mereka?" Bisik Arunika.  "Iya, itu seperti nama belakang mereka. Lebih mudah, aku memanggil begitu," kata Bayu.  Keduanya mengangguk pada Bayu. Dan membuka pintu. Lapisan pintu yang membuka ada sekitar sepuluh lapisan.  "Setiap lapis pintu ini diperkuat dengan mantra," kata Bayu lagi.  Arunika tercengang, ruangan ini sangat bagus. Lebih bagus dibanding asramanya. Ada meja bundar yang sangat besar. Dan di belakang sana, ada kamar-kamar dengan tempat tidur susun.  Arunika melihat Rengganis sedang merajut bersama ibu-ibu. Dia terlihat senang berada di sini. Di sudut ruang ada lemari kaca besar, berisi senjata senjata yang digunakan ibu hamil waktu melawan Wewe kemarin.  "Arunika," panggil Rengganis. Dia berdiri dan berjalan hendak menghampiri Arunika.  "Aku akan tunggu di luar," bisik Bayu. Dia baru melepaskan tangan Arunika dan pergi.  Arunika baru sadar saat tangannya dilepas. Jadi sejak tadi, mereka melewati dua pendekar dan berada di ruang penuh orang ini, tangannya masih digenggam? Arunika merasa wajahnya panas. Dia merasa sangat malu. Pantas saja, dia mendengar dua pendekar berbisik setelah mereka lewat.  "Siapa dia? Pacarmu?" Rengganis meledek Arunika menutup wajahnya. Dia merasa sangat sangat malu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN