Kukejar Kau

1439 Kata
"Kakak, lihat aku bisa memotongnya," kata anak itu dengan wajah sumrigah. Candy sangat syok dengan apa yang dilihatnya. Anak yang sangat dia sayangi, anak yang sangat halus hatinya. Yang tidak sanggup membunuh semt sekalipun, kini bisa memotong boneka, seolah sudah biasa. "Aaapa yang kau lakukan?" kata Candy terbata-bata. Anak itu berdiri dan melemparkan seluruh potongan boneka itu ke udara. "Aku akan bisa mengalahkan para orang jahat itu, Kak." Matanya yang polos berubah keji. "Aku akan potong-potong mereka seperti boneka ini. Aku sudah menusuk kakak itu, rasanya menyenangkan," anak itu tertawa. Candy, sekali lagi, dia merasa jantungnya berhenti berdetak. *** Bagaskara menyuruh rekannya memutar mobil kembali ke asrama. "Aku melewatkan sesuatu. Sial, ayo kembali! Cepat!" Bagaskara memberi aba-aba. Jalanan raya itu memang lenggang. Wilayah Haya memang bukan area yang banyak di datangi orang. Sejauh perjalanan datang tadi, hanya mobilnya yang melaju di jalan ini. Begitupun ketika Bagaskara akan kembali ke kota. Hanya ada mobilnya, dan mobil Bayu di depan. Bagaskara menelpon Bayu. "Bayu, aku menemukan jejak aneh di asrama. Aku akan kembali." Dari seberang Bayu setuju dan menyuruhnya berhati-hati. Perkiraan Bagaskara benar. Jejak aneh itu di sana. Jejak hitam yang datang bersamaan dengan Panji terluka. Kalau firasatnya benar, tersangka ada di sana. "Kenapa baru sadar sekarang?" geram Bagaskara. Ketika mobil itu berhenti di halaman. Bagaskara dan rekannya, Soni melihat anak-anak mengeremuni sesuatu. Mereka bergegas ke sana, dan melihat Candy tergeletak. Anak-anak itu semuanya histeris. Mereka menangis dan meraung-raung memanggil nama Candy dan Dina. Soni mendekati Candy yang terbaring miring, ketika dia membalikkan tubuh Candy, dia sangat kaget. Perut Candy berdarah. Darah yang sangat banyak. "Kau urus dia!" teriak Bagaskara dan berlari mencari Dina. Dia menyusuri koridor dan membuka setiap ruang yang dilewati. Memanggil nama Dina berulang kali namun tidak ada jawaban. Ketika sampai di kantor Dina, dia mendengar suara jeritan. Bagaskara mendobrak pintu itu. Dia melihat pemandangan yang mengerikan. Tangan Dina berlumur darah, dia memeluk seorang anak dan menjerit minta tolong. Bagaskara mendekat. Dina bercucuran air mata. "Tolong dia, dia...dia kerasukan," ucap Dina. Dengan perlahan, Bagaskara mengambil anak itu dari pelukan Dina. Anak itu tidak sadarkan diri. Bagaskara meletakkan anak itu di sofa dan mengucapkan mantra. Sebuah simbol lingkaran besar muncul dari bawah sofa. Simbol lingkaran itu bersinar terang. Setiap huruf simbol itu melayang di udara dan menempel erat di tubuh anak itu.Pendar - pendar cahaya seperti bertarung satu sama lain. *** Soni membopong Candy ke sebuah ruang. Anak-anak mengikutinya sambil menangis. Mereka mengajukan banyak pertanyaan, namun Soni tidak menjawab satupun. Dia hanya memberikan elusan di setiap kepala anak. Soni membersihkan luka Candy. Lukanya cukup dalam, sepertinya dia diserang tanpa perlawanan. Soni merawat luka Candy dengan hati-hati. Dia juga menggunakan mantra untuk menyembuhkan luka tersebut. Ketika dirasa cukup dia mengambil notes di tasnya, dan menulis sesuatu. "Bisakah kau jaga dia? Aku akan segera kembali" Kertas itu ditunjukkan pada anak-anak. Dan mereka mengangguk serentak. Soni pergi menyusul Bagsakara. Anak itu masih dalam proses ritual. Bagaskara menayakan kepada Dina apa yang terjadi. "Aku melihat dia, membawa pisau berlarian menuju lapangan. Dia anak yang sangat baik, aku tidak tahu kenapa dia membawa pisau. Pisau itu dihunuskan pada teman-temannya. Candy berlari untuk mencegahnya. Kami kira, dia hanya marah karena suatu hal. Lagipula anak itu sangat dekat dengan Candy. Dia pasti akan menurut apa kata Candy. Namun ketika Candy memintanya baik-baik, anak itu marah. Dan entah bagaimana pisau itu m1y n qh. Ternyata dia berbalik memburuku. Aku mengambil pisau itu dari tangannya. Namun dia juga menolak. Mantra pelindung tempat ini bekerja, dia menyerang anak ini." Bagaskara mengelap wajah dengan kedua tangannya. Penyerangan ini pasti sudah xlama.AAqw *** Mereka bertiga terdiam begitu mendapat telepon dari Bagaskara. Panji bahkan tidak mengeluarkan gurauan sedikitpun. "Apa kita perlu kembali ke asrama?" tanya Arunika. Bayu mengelus lehernya. Rasanya kepalanya semakin hari semakin berat. "Tidak, kita hars kembali ke kota." Bagas menoleh ke Arunika yang duduk di kursi belakang. "Bagaskara akan mengurusnya. Jangan khawatir." "Paman, sebaiknya kau segera menentukan petinggi agung. Dengan demikian, perintah bisa dilakukan dalam satu komando," kata Panji memberi saran. "Kau benar, aku akan segera melaksanakannya." "Apakah rapat tidak bisa dilakukan secara daring? Harus bertatap mukakah? Bagaimana dengan keluarga Haya?" tanya Arunika. Bayu berpikir sejenak. "Usul yang bagus, Kita bisa melakukannya, rapat secara daring." Bayu memberi Arunika jempol. Arunika belum merasa tenang. Dia masih khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan diaman Dewanti? Kenapa dia menghilang begitu lama. "Apakah kita akan langsung ke markas?" tanya Arunika. "Tidak. Kalian berdua akan kuantar ke rumah Airlangga. Dan aku kembali ke markas sendirian." "Tapi, Paman," "Tidak ada tapi-tapian, bocah! Kondisimu belum pulih sepenuhnya." Nada suara Bayu membuat Panji tidak berani membantah. Bayu menyetir dengan kecepatan penuh. Panji dan Arunika harus berpegangan kuat pada hand grip mobil. Perjalanan yang harus ditempuh sekitar empat jam. Kini berkurang setengahnya. Arunika dan Bayu merasa perut mereka diaduk-aduk, makanan yang belum dicerna itu seperti akan keluar dari mulut mereka. Belum lagi kepala rasanya dihinggapi ribuan semut. Bayu menurunkan Panji dan Arunika di depan rumah Airlangga. Dan mobil Bayu pun berhembus seperti angin. Dalam hitungan detik, mereka sudah tidak bisa melihat mobil Bayu. *** Arunika dan Panji masuk ke rumah samping. Bukan rumah utama, seperti sebelumnya. Rumah itu sepi. Para pelayan hanya datang untuk membersihkan dan menyiapkan makanan, kemudian mereka kembali ke rumah utama. Arunika mengempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Sedangkan Panji berlari ke kamar mandi. Dia memuntahkan semua isi perutnya. Dia terkulai lemas di kamar mandi. Arunika khawatir dan menggedor-gedor pintu kamar mandi. "Panji... kau kenapa?"teriak Arunika. Panji menyalakan flush toilet dan mencuci mukanya. Dia melihat pantulan wajahnya di cermin. "ungtunglah, masih ganteng," gumamnya. Dia membuka pintu kamar mandi. Wajah Arunika lebih pucat darinya. Panji menyeringai kecil. "Kau seperti melihat hantu," kata Panji. Arunika mendengus. Rugi telah mengkhawatirkan Panji. Dia pun kembali ke sofa. Merebahkan tubuhnya di sana. "Hei, cewek jadul," panggil Panji. Dia pun duduk di sofa dekat Arunika. "Hmmm." "Apakah kau masih ingin mencari tahu bus yang kau tumpangi dulu?" tanya Panji. "Entahlah. Banyak yang kupikirkan sekarang. Aku bahkan sudah lupa dengan bus itu." "Kau sudah menyanai pedangmu? Dia kan pasti tahu banyak." "Dia itu kayak lautan. Misterinya banyak. Capek nanyain dia," jawan Arunika kesal. Arunika menegakkan duduknya. "Hei Panji, apakah tidak ada cara untuk membantu Bayu. Masalahnya makin banyak." "Saat ini aku tidak bisa berpikir." Panji pun tertidur. *** Bayu mengumpulkan semua para petinggi. Dia memberikan beberapa perintah untuk memperketat penjagaan. Sekaligus untuk menyelanggarakan rapat secara daring. Tentu saja mulanya ada yang menolak. Tetapi Bayu bersikeras untuk menggelar rapat sekarang juga. Para petugas pembantu ke sana ke mari kelabakan untuk membuat sambungan daring. Mereka menggabungkan teknologi dan mantra untuk membuat sambungan yang aman dan tidak bisa bocor. Bayu menghadap monitor besar di sana. Beberapa orang sudah di depan komputer untuk mengawasi jalannya pertemuan. "Di mana Betari?" tanya Bayu pada beberapa orang di sana. Mereka semua menggeleng tidak tahu. Ketika para semua perwakilan para keluarga sudah hadir di sana. Minus keluarga Haya. Bayu membuka percakapan yang membuat mereka terkejut. "Aku mencalonkan diriku sendiri sebagai petinggi Agung," kata Bayu dengan angkuh. Beragam reaksi mereka. Ada yang setuju, ada juga yang tidak. Sebab pada rapat sebelumnya Bayu menolak menjadi pengganti Lukman. Dan meminta mereka untuk mengajukan satu nama. "Kenapa mendadak sekali, Bayu? Bukankah ini berbeda dengan hasil rapat kemarin?" tanya Jangkung. Ada raut marah di sana, namun dia bisa menahannya. "Sebab musuh kita telah menyerang langsung. Bahkan menyerang para anggota sepuluh keluarga. Termasuk di antaranya para pendekar." "Kami mendengar, Laksaman dan Panji diserang. Bagaimana keadaan mereka?" tanya Gardapati. Bayu berusaha menjaga ekspresinya tetap kaku. Sebab dia tahu, yang menyerang Laksamana adalah Dewanti. Dengan alasan yang berbeda dengan musuh mereka. Namun dia tidak ingin membeberkannya pada rapat ini. "Selain itu, keluarga Haya pun sudah diserang. Musuh menggunakan anak kecil untuk menyerang dari dalam," kata Bayu. Sesuai dugaan Bayu, para perwakilan ini semuanya terkejut. Dan memang saat itu keluarga Haya tidak muncul dalam rapat daring. Bayu harap mereka tidak akan memberikan keberatan terhadap pecalonannya. "Tapi kami tidak bisa memberikan izin untuk seterusnya. Dalam artian, karena kondisi mendesak, kami setuju membiarkanmu menjadi petinggi agung. Tetapi hanya untuk sementara. Bagaimana yang lain?" tanya Jangkung. "Aku setuju," kata Philip dan Semanggi. "Kalau hanya untuk sementara, baiklah. Deal," jawab Oriza Sativa. "Aku tidak setuju, aku lebih memihak pada Airlangga," kata Candra. "Kau kalah suara, Candra. Aku tidak mau jadi petinggi," balas Airlangga. "Apa yang akan kau lakukan, Bayu?" tanya Pakubumi. "Aku butuh bantuan kalian semua, untuk mengejar musuh," geram Bayu. Mereka semua mengangguk. "Apa yang bisa kami bantu?" Bayu tersenyum menang. Setidaknya dia bisa mendapat bantuan dari para keluarga untuk menangkap tikus yang merusak di Kota ini. Dia tidak membiarkan musuh lolos kali ini. Dia akan mengejar, mengulik, dan menangkap musuh. "Aku akan mengejarmu, sampai dapat," gumam Bayu dengan marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN