Panji mendengar suara pamannya tertawa. Punggungnya terasa terbakar, tubuhnya juga tidak bisa digerakkan. "Paman," rintih Panji.
Bayu bergerak mendekati Panji. "Gimana perasaanmu?"
Panji berkata lirih. "Aku masih hidup?"
Dalam cahaya remang, Arunika bisa melihat Bayu tersenyum geli dengan pertanyaan Panji.
"Tentu, kau masih harus berburu Wewe, sayangnya," jawab Bayu.
"Aku tidak bisa melihat siapa yang menusukku. Tidak terdeteksi auranya," bisik Panji.
"Kita bicara lagi nanti. Sekarang pulihkan dirimu dulu."
Panji mengangguk dan terlelap lagi.
Arunika mencolek bahu Bayu, mengajaknya keluar kamar.
Mereka pun bicara di teras,dengan suara lirih. Tidak ingin membangunkan Panji.
"Bagaimana mungkin Panji tidak bisa merasakan kehadiran orang yang akan menyerangnya?" Tanya Arunika.
Bayu mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Dia tidak menjawab pertanyaan Arunika.
"Kau juga tidak tahu kenapa?" Ulang Arunika.
Bayu mengelus kepala Arunika. "Tidurlah lagi. Besok bantu Dina mengurus anak panti."
Bayu kembali ke kamar Panji dan menutup pintu.
Arunika memandang kepergian Bayu dengan sejuta pertanyaan.
Bagaskara tiba di asrama keluarga Haya menjelang makan siang. Dia tidak datang sendiri melainkan bersama rekannya.
Arunika menjerit terkejut saat melihat Bagaskara.
"Kenapa dengan tanganmu?" Pekik Arunika.
"Kecelakaan kecil," kata Bagaskara. Dia tidak ingin membuat Arunika khawatir. "Arunika, kau temani temanku. Dia lelah menyetir mobil beberapa jam. Aku akan bicara dengan Bayu."
Arunika tahu Bagaskara berbohong. Dan mereka ingin berbicara tanpa diganggu olehnya. Arunika mendengus kesal, tetapi sadar diri. Tahu banyak hal pun, dia tidak bisa membantu. Jadi dia melakukan yang dipinta Bagaskara untuk mengurus temannya.
Dina menunjukan arah menuju kamar Bayu. Dina ingin mngantary, tetapi ditolak oleh Bagaskara. "Tidak perlu diantar, anak-anak itu lebih butuh kehadiran ,Ibu," kata Bagaskara sopan.
Bagaskara melesat cepat menuju kamar Bayu. Dia mengetuk pintu, dan suara dari dalam menyuruhnya masuk.
Alis Bayu terangkat tinggi begitu melihat tangan Bagaskara diperban. "Kenapa tanganmu?"
"Nanti saja. Aku bantu Panji dulu," kata Bagaskara.
Hanya menggunakan tangan kiri, dibantu oleh Bayu. Mereka mengobati Panji dengan mantra mantra.
Pendar api milik Bagaskara perlahan membakar luka Panji. Panji memekik perih. Api terus berada di luka itu sampai luka itu menutup.
Bagaskara mengucapkan banyak mantra untuk memulihkan Panji. Setelah dirasa cukup, dia terbaring di sofa. Nafasnya terengah-engah.
Luka di punggung Panji menutup. Masih ada nanah merah dan bau busuk, tetapi kondisinya jauh lebih baik.
"Kau diserang siapa?" Tanya Bayu tajam.
"Tidak tahu. Dia tidak bisa dikenali. Ada lima orang yang diserang. Hampir semua pendekar dari sepuluh keluarga diserang secara langsung," jelas Bagaskara.
Bayu mengepalkan jarinya dengan kuat. "Aku belum terima laporan apapun," geram Bayu.
"Sejujurnya, aku sangat sibuk sampai tadi pagi. Markas heboh. Semua berusaha hubungi kau, Bayu. Tapi tidak terhubung. Dan entah kenapa Arunika bisa."
Panji membuka matanya, dia merasa lukanya sudah tidak terlalu sakit. Dia mendengarkan percakapan Bagaskara dan Bayu sedari tadi.
"Karena dia kan beda," sambar Panji. Dia berbalik badan, dan duduk di ranjang. Dia sudah lelah tidur posisi mengkurep.
"Wah, Laksamana emang beda. Dengan luka seperti itu, sudah bisa duduk sendiri!" Puji Bagaskara.
"Beruntungnya aku," kata Panji menyeringai.
"Panji, bagaimana kau bisa teleportasi ke sini?" Tanya Bayu tajam. Dia tidak punya waktu untuk menetap di sini terlalu lama. Dia harus segera kembali ke kota. Namun dia perlu memastikan apa yang terjadi dengan cincin kutukan itu.
"Sejujurnya aku tidak tahu," kata Panji
"Kau memakai cincin itu untuk kemari?" Desak Bayu lagi.
"Cincin apa?" Panji bingung. Dia memeriksa jarinya dan mendapati cincin yang di simpan di dalam tas biolanya itu melingkar manis di jarinya. "Kok bisa cincin ini dijariku?"
"Mungkin cincin itu menggelinding dan masuk ke jarimu. Gol!" Kata Bagaskara.
Bayu dan Panji tidak tertawa.
"Oh ayolah, aku hanya bercanda," kata Bagaskara.
"Yang aku ingat, aku akan mengambil ponselku. Untuk meminta bantuan markas. Tetapi tidak bisa, tubuhku mulai kaku. Di saat itu, aku pikir akan mati. Yang kuingat aku memanggil namamu, Paman, untuk.menolongku. Setelah itu aku sadar ada di sini," cerita Panji.
Bayu memandang cincin itu. "Coba lihat cincinnya!" Bayu mengulurkan tangannya.
Panji berkutat dengan cincin itu, dia ingin melepasnya. Tetapi cincin itu tidak mau keluar dari jarinya. Seperti ada lemnya. "Kok nggak bisa sih?"
Bagaskara ikut membantu menarik cincin itu. Tetapi sekuat apapun dia menariknya. Cincin itu tidak bergeser semilipun. "Gila, susah banget."
Bayu mendengus. "Cincin itu memilihmu. Cincin keluarga Haya."
"Cincin itu milik Haya? Otomatis kau akan pindah keluarga, Panji. Selamat ya!"
Panji memandang Bagaskara dengan tatapan sebal. Bisa-bisanya dia bergurau di saat seperti ini.
"Aku akan diburu keluarga Haya, duh. Wewe belum habis, eh tambah musuh," erang Panji.
"Cincin itu akan melindungimu. Baguslah, sepertinya Naraya terlalu sibuk dengan urusannya."
Bagaskara bersiul. "Jatuh cinta membuatmu lupa segalanya."
Panji sudah tidak tahan lagi. Dia mengambil bantal dan melemparkannya pada Bagaskara. Bagaskara pun balik melempar. Mereka perang bantal beberapa saat.
"Kita kembali ke kota sekarang," kata Bayu mengentikan kelakuan mereka.
"Tapi Paman, aku masih sakit," rengek Panji.
Bayu memutar bola matanya. "Kutunggu lima belas menit di luar!"
Panji berusaha mengaduh. Tetapi Bayu keluar kamar. Bagaskara tertawa. "Kau seperti bayi. Ayo cepat siap-siap. Sebelum diseret oleh Bayu."
Panji mendengus.
***
Arunika merasa perutnya kenyang. Makanan di asrama ini semuanya enak. Padahal hanya pecel dan telur ceplok. Dia ingin membungkus untuk Dewanti. Si tukang makan itu pasti akan lahap makannya. Sedetik kemudian dia ingat, Dewanti sedang marah padanya. Dan pergi entah kemana. Bibirnya pun manyun.
"Sudah makannya?" Tanya Bayu duduk di depan Arunika.
"Sudah. Kau makan dulu saja. Bagaimana Panji?"
Bayu mulai makan dengan anggun. "Dia sudah sehat. Kita akan kembali ke kota. Ada masalah!" Kata Panji.
"Sudah sehat? Masa sih?" Arunika mengira Bayu berbohong. Tetapi begitu melihat Panji sudah berpakaian rapi dan wajahnya nampak segera dibanding kemarin, dia heran. Kok bisa? Mungkin Bagaskara memang yang hebat.
Arunika menatap Panji lekat lekat. Panji menyadarinya. "Kenapa kau, seperti lihat hantu!" Kata Panji meledek Arunika.
"Beneran udah sembuh?" Tanya Arunika dengan tatapan bingung.
"Sudah donk. Bagaskara emang hebat!" Panji mengacungkan jempolnya.
Mereka kembali ke kota setelah berpamitan dengan anak-anak. Candy pun mengalami mereka, termasuk Arunika. Namun dia tidak.mengucapkan apapun. Sepertinya dia masih belum terima.
"Candy tadi sadar gak, aku pakai cincin?" Tanya Panji saat berada di mobil dengan Arunika dan Bayu.
"Cincin apa?" Tanya Arunika menatap Panji dan Bayu bergantian.
"Dia dilamar seseorang," jawab Bayu enteng.
"Oh iya? Siapa gadis itu?" Pekik Arunika senang.
Panji mencibir. "Rahasia."
Arunika manyun. "Ayolah. Aku juga turut senang, kalau temanku laku."
"Kau tuh yang nggak laku. Banyak perempuan yang naksir padaku," kata Panji bangga.
"Diiih. Playboy sih. Sama persis dengan pamannya," kata Arunika menyindir.
"Ehem," Bayu berdeham. Kemudian menyeringai. "Kalau naksir, bilang ya. Langsung kudaftarin ke catatan sipil," kata Bayu riang.
"Daftar apa?"
"Ya ampun cewek jadul. Masa nggak ngerti sih?" Hina Panji.
Arunika menggelengkan kepalanya. "Nggak ngerti. Seriusan."
Bayu tertawa.
"Daftarin nikah, dodol!"
Arunika menganga.
***
Candy keliling asrama mencari bocah dengan rambut pirang. Rambut yang baru disemir beberapa waktu lalu. Entah keracunan tontonan apa, anak itu minta disemir rambutnya.
Ketika menemukan anak itu diam di sudut ruangan. Candy mendekatinya pelan-pelan. Dia ingin mengagetkan anak itu. Tetapi justru Candy yang kaget.
Anak itu tersenyum memegang pisau. Mengiris - iris boneka dengan senyum lebar.
Candy merasa jantungnya berhenti berdetak.