Arunika tercengang. Dari terowongan goa yang lurus dan sempit, kini jalan itu telah berubah menjadi arena seluncur. Mirip dengan area seluncur anak-anak pada kolam renang. Hanya saja, seluncur goa ini terbuat dari batu.
Dan mereka tidak duduk atau Jongkong. Namun berdiri di sebuah papan beroda. Mereka akan berseluncur di goa menggunakan papan itu.
"Harusnya pakai sepatu roda. Biar lebih aman," gumam Arunika.
Arunika memukirkan berapa panjang terowongan ini. Apakah lebih panjang dengan di taman air. Tentu saja lebih panjang. Dan lebih berbahaya.
Bayu sudah melompat lebih dulu. Dari dalam sana, menggema suara Bayu menyuruh Arunika turun.
"Kita akan jadi bebek panggang, Ru!" Bisik Panji.
"Cih, pengecut!" Ledek Arunika.
"Paman!" Teriak Panji. "Kau harus menangkapku!" Suara itu menggema, memantul ke segala arah. Ku..ku.ku.
"Suaraku bagus ya?" Tanya Panji.
Arunika mengehela napas. Dia heran dengan kelakuan Panji hari ini. Kekanakan sekali.
"Aku lompat lebih dulu. Kau di belakangku."
Panji memberikan tanda hormat. Arunika mencibir.
Arunika melompat dan berteriak. "Wow!"
Panji melakukan peregangan badan sebentar. Dan dia sudah berdiri di atas papan roda. Dan melompat. "Paman! Aku datang!"
Arunika merasakan sensasi yang dirasakan berseluncur di dalam goa ini mirip dengan seluncur air. Tetapi lebih ekstrem ini. Karena dia meluncur di dalam terowongan gua. Dengan permukaan yang tidak terlalu halus. Dia berteriak merasakan sensasinya. Angin dingin menerpa wajahnya.
Dia merasa perutnya tergelitik. Dan bulu kuduknya meremang. Seluncur di dalam goa, bisa menjadi wahana wisata yang menarik, pikir Arunika.
Di belakangnya Panji sudah terlihat dan dia memekik girang. Arunika membungkukkan badan, mempercepat laju seluncurnya. Dia takut kalau ditabrak dari belakang oleh Panji.
Sayangnya terowongan tersebut tidak berukuran besar. Kalau besar, pasti muat untuk kereta. Sehingga dia tidak perlu takut jatuh dari papan roda. Ditambah suara Panji di belakangnya teriak teriak seperti orang gila.
"Waw. Au au!"
"Yihaaa"
Papan roda itu meluncur lebih kencang, karena terowongan mulai menurunkan dengan sudut curam. Arunika melihat seberkas titik cahaya di ujung terowongan ini. Senyumnya terkembang kemudian hilang dengan cepat begitu melihat cairan merah di luar terowongan.
"Apa itu?" Teriak Arunika kaget.
Dia meluncur terbang ke udara. Dan di depannya terdampak genangan magma yang meletup letup.
"Mati aku," gumam Arunika pasrah. Dia menutup mata. Meminta maaf untuk semuanya.
Dan bluk!
Arunika masih memejamkan mata, namun dia tidak merasakan panas. Satu matanya terbuka mengintip. Dia ada di gendongan Bayu. Arunika mengehela napas lega. Panji muncul di belakangnya. Dia terlempar ke udara sambil berteriak memanggil pamannya.
Bayu menurunkan Arunika. Dan dengan cekatan dia menangkap Panji. Lebih tepatnya mencengkram kerah baju Panji.
"Eek... Lewas phamaaan," ucapnya tercekik bajunya.
Bayu menurunkan Panji.
"Hati hati, kita sudah berada di inti bumi. Sebentar lagi, kita akan memasuki rumah Pakubumi," kata pemandu.
Pemandu menunjukkan jalan dan membuka sebuah terowongan lain. Terowongan itu membuka tepat di atas aliran magma.
Bagaimana mereka melalui aliran magma itu?
Pemandu itu mengeluarkan sebuah sekoci kecil. Sekoci itu hanya berukuran sengenggam tangan. Namun ketika diletakkan di atas aliran magma. Ukurannya membesar, sekoci itu bisa dimuati empat orang.
"Kita akan masuk ke rumah Pakubumi dengan sekoci ini," jelas pemandu.
"Petualangan baru," seru Panji.
Arunika setuju. Banyak hal ajaib yang terjadi. Apalagi melihat sekoci itu. Bukan sekoci biasa. Sekoci itu tidak terbuat dari kayu. Juga bukan dari plastik. Sebab sekoci itu tidak leleh terbakar magma.
"Kapal ini terbuat dari apa?" Tanya Arunika.
"Dari Batu khusus, material baru yang berhasil diciptakan Pakubumi," kata pemandu. Ada nada bangga dalam suaranya.
Mereka menaiki sekoci itu berempat. Ada dua tempat duduk. Yang depan diisi oleh pemandu dan bayu. Bangku kedua diduduki e oleh Arunika dan Panji. Sekoci itu meluncur tenang mengikuti aliran magma. Magma itu terus ke bawah.
Arunika duduk merapat ke tengah. Bagaimanapun, kalau terkena cipratan lava panas itu, dirinya pasti meleleh.
"Kenapa nempel terus, geser sana dikit donk, Ru," keluh Panji yang badannya sudah menempel erat didinding sekoci.
"Aku nggak mau kena cipratan magma meskipun dikit," kata Arunika memberikan alasan.
"Trus kalo aku kena, nggak masalah?"
"Tentu saja!" Jawab Arunika tenang.
"Cewek sadis sadis. Cewek jadul sadis," olok Panji.
Arunika hanya nyengir.
Bayu mengabaikan dua orang itu. Dia berbicara dengan pemandu. "Sepertinya ada banyak perkembangan dalam pembuatan batu khusus."
"Benar, Tuan. Berkat dukungan dari tuan Laksamana. Batu ini bisa diproduksi banyak."
"Bagaimana cara mengendalikan sekoci ini?" Tanya Bayu mengamati kinerja pemandu menggerakkan sekoci.
"Di bawah kaki ada pedalnya Tuan. Namun kami belum bisa mengendalikan arahnya. Jadi kami menggunakan mantra untuk mengatur arah."
Arunika juga ikut menguping pembicaraan mereka kemudian menyeletuk. "Dibikin seperti kemudi mobil nggak bisa?"
Pemandu menoleh ke belakang. "Belum nona."
Sekoci itu telah sampai pada sebuah gua yang sangat dalam. Jauh di bawah perut bumi. Dan di sana terdapat beberapa orang dengan peralatann yang luar biasa. Pakubumi bukan hanya menjaga gunung. Tetapi mereka jugalah pembuat senjata. Seluruh senjata pendekar ApiAbadi dibuat di sini. Di dalam kerak bumi.
Pemandu meminta ijin penjaga. Dan penjaga membukakan pintu di dinding goa.
Ketika pintu itu dibuka, Arunika dan Panji dibuat takjub dengan pemandangan yang ada.
Dekorasi goa ini seperti persembunyian seorang raja. Seorang wajah yang pernah dilihat Arunika saat rapat muncul di sana. Lelaki itu berusia sekitar limapuluh tahun, taksir Arunika. Namun dia tidak.yakin, sebab usia para bangsa itu misteri.
"Silahkan, katanya sesepuh Pakubumi ingin bertemu dengan nona Arunika," kata kepala Pakubumi.
Arunika mengerjap bingung.
Mereka bertiga diantar menuju sebuah ruang yang lebih dalam. Ruang itu sederhana, ada tempat tidur dari batu. Lemari dari batu, meja dan kursi juga. Di tempat duduk.yang besar, seorang kakek duduk bersandar.
Sesepuh itu sudah sangat tua. Dia yang paling tertua dari seluruh bangsawan.
Begitu melihat Arunika. Dia berbisik lirih agar Arunika mendekat.
Arunika memandang Bayu, dia meminta pendapat Bayu. Dan Bayu mengangguk.
Sesepuh itu duduk bersandar. Badannya tinggal kulit dan tulang. Hanya sinar matanya yang tetap terlihat hidup. Meskipun seluruh badannya sulit digerakkan.
"Arunika datang menghadap," kata Arunika di berlutut di dekat sesepuh itu.
"Anak istimewa, apakah pedang dewa berguna untukmu?" Tanya sesepuh dengan suara lirih. Arunika harus mendekatkan telinganya agar bisa mendengar. Sesepuh itu mengulang pertanyaannya.
"Lebih dari berguna. Dia seperti sahabatku," jawab Arunika.
Sesepuh itu mengedipkan bulu matanya. .
"Apakah dia Danyang yang baik?"
Arunika menyengir mendengar pertanyaan itu. Teringat betapa protektifnya Dewanti tehadap keselamatannya. "Dia baik, terlalu melindungi malah."
Arunika melihat sesepuh itu menggerakkan bibirnya, tersenyum. "Anak istimewa, jagalah dia. Dia sangat membutuhkan mu."
"Sepertinya itu terbalik, kakek!"
Ketua Pakubumi menaikkan alisnya ketika mendengar Arunika menyebut sesepuh dengan kakek. Namun dia tidak berkata apapun.
Sesepuh itu tersenyum lagi. " Dia yang paling membutuhkanmu," ulang sesepuh.
Beberapa orang di sekitar sana, berbisik bisik. Arunika tidak bisa.mendengar apa yang dibicarakan.
Tetapi sepertinya mereka heran sesepuh itu bicara banyak.
Bayu mendekat ketika Arunika berdiri.
"Sesepuh Pakubumi, aku Bayu Laksamana meminta bantuan. Bisakah kau beri tahu kami di mana jejak musuh?"
"Tuan Bayu itu tidak sopan!" Hardik kepala Pakubumi.
Sesepuh menggerakkan tangannya, menyuruh kepala diam.
"Anakku, Bayu. Iya, dia ada di sini. Bersembunyi dengan baik. Tetapi tidak semuanya, yang lain bersembunyi di tempat lain."
Bayu memahami maksudnya. Dan dia mengajukan pertanyaan lagi. "Apakah gunung ini akan meletus bersamaan dengan gerhana matahari?"
Kepala Pakubumi menarik mundur Bayu. "Tuan, anda tidak bisa menanyakan hal itu!"
Sesepuh itu hanya menjawab dengan geraman singkat. "Hanya."
Bayu tidak mau mundur. Hanya kesempatan ini yang dia punya bertemu dengan sesepuh Pakubumi.
"Apakah gunung ini akan meletus bersamaan dengan gerhana matahari?" Ulang Bayu.
Sekali lagi sesepuh itu hanya menjawab, "Hmmm."
Setelah itu tubuhnya mulai berubah. Dimulai dari kaki, badan dan kepalanya. Seluruhnya mengeras berubah menjadi batu.
Seolah olah dia memang bagian dari goa ini. Sesepuh itu kembali ke dalam masa tidur panjangnya.