Wilayah Pakubumi berdekatan dengan wilayah Oriza Sativa. Dua keluarga itu sudah berhubungan baik sejak lama. Sebab tugas yang mereka emban saling berkaitan. Pakubumi menjaga gunung, dan Oriza Sativa mengurus pertanian dan perkebunannya.
Wilayah Pakubumi ini tergolong unik. Sebab ada beberapa warga yang tinggal di kerak bumi. Panji bercerita, orang-orang ini khusus untuk memantau pergerakan magma gunung berapi. Konon, mereka juga bisa mengatur kapan gunung itu akan meletus.
"Apa mereka nggak kepanasan?" Tanya Arunika.
"Enggak. Mereka memiliki keistimewaan sendiri. Mereka mampu mengendalikan magma. Bagaskara itu bagian kecil dari Pakubumi," jelas Panji.
"Bukannya keistimewaan Bagaskara adalah penyembuh?"
"Iya itu benar, tetapi adalah 25 persennya itu dari Pakubumi."
"25 persen?"
"Kakeknya," terang Bayu singkat.
"Bilang aja kakeknya. Ribet amat bilang persenan segala," jawab Arunika ketus.
Matanya kembali melihat gunung. Dari jalan yang berkelok-kelok ini, dia bisa melihat keindahan panorama Gunung Pakubumi. Terlebih lagi, ada awan yang mendekati puncak gunung. Arunika merasa hatinya damai melihatnya.
Ckrek!
"Suara apa itu?" tanya Arunika menengok ke Bayu dan Panji bergantian.
Panji meledek. "Ini suara kamera, mana ponselmu?" Panji mengulurkan tangannya.
Arunika merogoh ponsel di dalam tas kecilnya lalu memberikan pada Panji. "Ponsel buat ambil foto bisa ya? Fotonya bagus nggak?"
"Dasar cewek jadul!" Seru Panji gemas melihat kedunguan Arunika. Sedangkan Bayu hanya tersenyum geli. "Kau itu masih aja gagap teknologi. Ponsel itu bukan cuma buat terima telepon dan kirim pesan," ledek Panji.
"Oh baru tahu. Ya maklum, nggak ada yang ngajarin," bantah Arunika enteng. Dia sudah biasa diledek oleh Panji. Jadi tidak ada yang istimewa. Dia melirik Bayu. "Kenapa senyum-senyum? Ketawa aja yang lebar, biar puas!"
Bayu mengangkat kedua tangannya.
"Anak bayi aja sekarang sudah bisa pakai ponsel. Mereka sudah bisa memilih chanel konten yang disukai," kata Panji dengan tatapan menghina.
"Mana ada? Bayi jenius itu namanya!" Kata arunika tidak percaya.
Karena kesal, Panji mencari konten di mana bayi dua tahun sudah bisa menggunakan ponsel pintar. Mereka lebih pintar dari Arunika dalam hal pengetahuan ponsel. "Nih lihat!"
Arunika mencibir. "Ini mah udah besar, bukan bayi lagi. Bayi itu masih ditimang timang."
"Ini tuh masih batita. Bayi tiga tahun. Masih bayi kan?" sahut Panji tak mau kalah.
Arunika merasa hatinya dongkol.
Mobil memasuki sebuah desa di kaki gunung. Gunung Pakubumi. Nama keluarga ini diambil dari nama gunung ini. Tidak ada yang istimewa di mata Arunika. Seperti desa biasa. Mobil diparkir di sebuah rumah kayu sederhana.
Begitu mereka bertiga turun dari mobil, sudah disambut oleh para anggota Pakubumi. Arunika merasa liburan di vila.
Namun bukannya istirahat, Bayu langsung minta diantarkan ke bawah. Ke dalam kerak bumi.
"Ya ampun, dasar gila kerja," Arunika memaki pelan.
Panji mendengarnya. Dia membeo ucapan Arunika dengan keras. "Ya ampun, dasar gila kerja," kata Panji dengan nada yang dibuat-buat dan suaranya begitu keras sampai orang di sekitarnya menyunggingkan senyum dengan kelakuan Panji.
Bayu menatap Panji dan Arunika dengan tajam. Dia menghela napas panjang, sebelum berlalu pergi.
Arunika merasa tidak enak. Dia menginjak kaki Panji keras-keras dan berlari membuntuti Bayu.
"Cih, sesama gila kerja!" Panji pun berdecak. Dengan langkah gontai, dia pun menyusul mereka menuju kerak bumi.
Mereka berempat berjalan kaki menuju kerak bumi. Letak pintu kerak bumi tidak tersembunyi. Di sepanjang perjalanan mereka, masih ada rumah-rumah warga biasa. Rumah-rumah warga ini ada yang dibangun lebih tinggi dari jalan raya. Semua bangunan di sini mengikuti kontur tanah.
Ada juga rumah yang dibangun di bawah jalan. Rumah itu berlantai dua, jadi lantai duanya sejajar dengan jalan raya. Arunika tidak bosan melihat bagaimana manusia membangun peradaban. Mereka bisa menyusaikan dengan bentang alam.
"Gede banget!" seru Arunika melihat bongkahan batu sebesar gajah. Bahkan lebih besar. Batu hitam ini tidak hanya satu. Tetapi bertebaran tepat di bawah gunung.
"Lewat sini Tuan," kata pemandu itu menunjukkan jalan setapak yang berakhir menuju sebuah batu besar lainnya.
Di balik batu besar itu terdapat pintu goa. Mereka memasukinya dengan hati-hati. Pemandu menyalakan senter untuk membantu menerangi jalan. Gua itu cukup dalam, semakin lama semakin lebar, dan juga banyak undakan ke bawah.
"Hati-hati, karena habis hujan, jadi di dalam juga licin,"terang pemandu.
Bayu mengulurkan tangan pada Arunika. Arunika menyambutnya dengan senang hati. Sedanghkan Panji cemberut. "Paman, kau pilih kasih!" gerutu Panji.
Bayu tidak memedulikannya. Arunika merasa di atas angin, menjulurkan lidahnya pada Panji. Meskipun remag-remang, Panji tahu, Arunika sedang meledeknya.
"Setelah ini, akan ada banyak cabang jalan. Mohon ikuti aku saja," kata pemandu lagi.
"Memangnya jalan lain akan mengarah kemana?" tanya Panji yang haus petualangan.
"Tergantung tuan memilih yang mana, bisa sesuai keinginan atau tidak."
Panji menyodok badan Arunika. "Jawaban macam itu?"
"Diam kau. Berlagak jadi Bagaskara eh?"
"Sudah mirip belum?"
"Mirip banget. Mungkin kalian saudara kembar yang terpisah saat masih kecil," jawab Arunika dengan wajah puas.
Panji manyun.
Mereka melewati banyak cabang jalan, tidak ada petunjuk apapun di dalam sana. Bila tidak hapal jalan, kemungkinan mereka akan tersesat.
"Karena jalannya banyak, musuh bisa sembunyi di sini dengan aman," sahut Bayu.
"Benar tuan, padahal kami sudah menutup banyak celah. Namun mereka membangun jalan baru yang tidak kami ketahui," kata pemandu.
Arunika dan Panji hanya mendengarkan. Tidak berani bercanda lagi dalam situasi tersebut. Mereka berjalan beriringan. Pemandu di depan, kemudian Bayu, Arunika dan Panji.
"Tujuan akhir kita masih jauh?" tanya Bayu.
"Tidak tuan, sebentar lagi."
Kata sebentar lagi ternyata cukup lama buat ketiganya. Terutama Panji dan Arunika yang mulai lelah berjalan dan mereka merasa haus. Setelah melewati perjalanan yang panjang, mereka langsung terjun ke mari mengikuti Bayu.
"Masih lama ya, aku haus," rengek Arunika.
Bayu mempererat genggamannya. "Sabar ya."
"Sebentar lagi Nona," jawab pemandu itu.
"Bentar-bentar terus, kayaknya kita ada sejaman deh jalan kaki," keluh Arunika.
"Apakah tidak ada jalan pintas?" tanya Bayu pada pemandu. Berjalan dalam kegelapan dan lama bukan masalah baginya. Dia sudah pernah mengalami situasi yang lebih buruk. Tetapi berbeda dengan Panji dan Arunika, lebih-lebih Arunika yang sudah merengek.
"Ada, tapi cukup berbahaya tuan," kata pemandu.
"Apa bahayanya?"
"jalannya serupa lorong yang cukup curam, sehingga kita tidak bisa berjalan di sana. Untuk melewatinya harus berselncur," kata pemandu.
"Wah, seluncur dalam gua! Asyik nih!" Kata Panji girang.
"Selainitu apa ada bahaya lain?" tanya Panji.
"Di ujung jalan itu, harus berhenti dengan tepat. Karena di dekat sana ada aliran magma," terang pemandu.
"Di ujung seluncuran, kita kan jadi bebek pangang!" pekik Panji.
"Baiklah, kita akan lewat jalan seluncur itu," tegas Bayu.
"Tapi..."
"Sst. Tidak apa, aku akan menangkapmu," gumam Panji pada Arunika.
Panji mendengarnya. "Terus, aku bagaimana?" Tanya Panji berharap ditangkap juga.
"Kau aman," kata Bayu.
Pemandu itu mengucapkan mantra tertentu. Terdengar suara batu bergeser. Makin lama makin keras.
"Dalam hitungan tiga, kita akan melompat. Satu... dua... tiga," kata pemandu itu kemudian lompat ke bawah.
"Tunggu, aku belum siap!" Panji panik.
Bayu siap melompat. "Ayo, ikuti aku," kata Bayu.