Saling Menggenggam

1730 Kata
Rengganis tercengang. Dia hanya melempar belati itu asal-asalan saja. Dia tidak bermaksud untuk mengenai leher Wewe. Bagaimana bisa, tangannya yang lemah itu membunuh Wewe. Tetapi rasa tidak nyaman itu hanya sebentar. Begitu ada Wewe lagi yang mendekatinya. Rengganis segera mengambil kembali belati yang jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang erat belati itu. Sedangkan tangan kirinya mengelus elus perut yang membuncit itu. Dia menyakinkan dirinya sendiri. Apa yang dia lakukan semua ini demi keselamatan bayi yang ada di dalam kandungannya. Ketika posisi Wewe itu sangat dekat dengannya, Rengganis kembali melempar belati dengan kemarahan. Dia tidak boleh membiarkan makhluk menjijikan itu melukai bayinya. Apalagi sampai memakannya. Tidak rasa kasihan sedikit pun untuk Wewe. Mereka pantas mendapatkannya. Seperti kejadian yang pertama, belati itupun tepat mengenai leher Wewe. Dia bergerak sediri. Belati itu menusuk dan memutari leher Wewe. Sampai lehernya terputus. Ketika kepala Wewe itu jatuh. Badannya pun ikut hancur terbakar. Dia mengambil belati itu kembali, dan berjalan dengan penuh keyakinan untuk menghabisi para Wewe. Dia harus selamat. Begitu juga semua ibu hamil yang ada di sini. Keberanian Rengganis diikuti oleh ibu hamil lain. Perempuan bersyal merah itu mengacungkan pedangnya. Ketika Wewe mendekatinya. Dia mengayunkan pedang itu ke segala arah. Namun Wewe itu bisa menghindarinya. Perempuan itu nyaris histeris. Mengetahui tak satupun serangannya mengenai Wewe itu. Rengganis di belakang Wewe itu. Dia melemparkan belatinya. Belati itu terbang dan langsung menghujam leher Wewe. Wewe itu tewas. Perempuan bersyal merah itu terkejut. Dia menghambur ke arah Rengganis. Memeluknya dengan erat. Perempuan itu terisak di lengan Rengganis. "Perang ini belum berakhir, Bu Salwa. Kuatkan hatimu!" Rengganis menepuk punggungnya. Perempuan yang memiliki tahi lalat di pipi itu menghapus air matanya. Dia bertekad untuk terus bertahan hidup. Dia dan bayinya. Dia ingat suaminya. Betapa khawatir suaminya mengetahui dia hamil. Bu Salwa sangat senang ketika hamil, mereka berdua menunggu sangat lama dengan kehadiran si buah hati. Dan Bu Salwa baru hamil di usia pernikahan mereka yang ke sepuluh. Bu Salwa mengepalkan tangan. Ada orang-orang di luar sana yang ingin dirinya selamat. Rengganis mengangguk menatap Bu Salwa. Maka Bu Salwa mengambil pedang yang terjatuh tadi dan bersiap. Mereka harus menghabisi Wewe yang ada di sini. "Ayo ibu-ibu jangan takut. Kita harus menang," teriak Bu Salwa. Para ibu ibu yang mendengar teriakan Bu Salwa berhenti menangis. "Mereka adalah musuh anak kita. Musuh kita semua. Ayo kita basmi mereka. Jangan sampai ada korban dari pihak kita lagi!" Semangat yang membara. Teriakan teriakan itu membuat Lukman tersenyum. Rencananya berhasil. Bahkan lebih baik. Mereka melawan balik para Wewe bermata merah itu. Mereka berjuang demi dirinya dan bayi. Mereka tidak bisa selalu berada di bawah perlindungan orang lain. Menjadi ibu, mereka harus bisa melindungi diri mereka sendiri. "Maju, kita habisi Wewe itu," teriak Rengganis. Dia melemparkan belati ke Wewe yang sudah mencengkram mangsanya. Di belakang Rengganis, ibu lainnya juga ikut bertarung dengan gigih. Tidak sendiri, mereka juga menyerbu dengan cara berkelompok. Satu demi satu Wewe itu musnah. Bau amis, bau gosong, asap, dan bau busuk bercampur jadi satu. Para pendekar banyak yang terluka. Setiap mereka kena serangan kuku wewe itu. Luka tersebut tidak mudah sembuh. Luka itu bernanah dan membuat infeksi tubuh yang terluka. Demam yang datang tiba-tiba. Tubuh menggigil. Mereka tidak sanggup berdiri. Bertarung apalagi. Mereka terkapar di tanah. Satu demi satu para pendekar itu berjatuhan. Berbeda dengan para ibu hamil itu. Mereka tidak mendapat serangan kuku wewe. Aneh sekali. Seolah olah para wewe memiliki pikiran bahwa tidak boleh menginfeksi ibu hamil. Hal ini menjadi keuntungan bagi mereka. Mereka bisa menyerang para Wewe tanpa hatus takut diserang oleh kuku beracun itu. Senjata yang mereka gunakan berfungsi dengan sangat baik. Bahkan lebih baik daripada senjata yang dipegang oleh Para Pendekar ApiApabi. Para pendekar mulai mundur. Kesakitan dan kelelahan karena racun itu merambat lebih cepat daripada racun biasa. Lukman menyuruh para pendekar mundur. Peperangan ini akan dikuasi oleh para ibu hamil. Dia tersenyum lega. Rencananya telah berjalan dengan sempurna. *** Lukman mengendus rencana pembagian senjata apiabadi telah bocor. Dan jumlahnya yang sangat banyak itu akan hilang dalan perjalanan kembali ke gudang. Tikus tikus itu pasti akan menggunakan segala cara untuk menyelundupkan senajata itu keluar markas. Entah untuk dijual ataupun diberikan pada musuh. Lukman memutar otak dan menemukan ide ini. Tentu saja akan sangat beresiko. Terutama dengan nyawanya. Membagi kekuatan ke ratusan senjata sama dengan bunuh diri. Tetapi akan dia lakukan untuk melindungi para ibu hamil itu. Ide pembuatan gedung perlindungan itu pun dilakukan oleh Lukman. Dia tidak bisa tinggal diam, melihat satu per satu berita tentang ibu hamil tewas mengenaskan. Angka garfik pertumbuhan itu malah menurun drastis. Mereka tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. "Airlangga kau harus membantuku," kata Lukman dengan nada memerintah. Airlangga menyipitkan matanya. Dia tidak suka Lukman datang di kantornya dan menyuruhnya membantunya untuk sesuatu. Dia yakin permintaan Lukman petinggi agung bukan hal yang sepele. "Apa itu?" "Minta uang yang cukup banyak untuk membangun gedung perlindungan," kata Lukman dengan cengiran lebar. Dia tidak suka berbasa basi dengan pebisnis hebat sekaligus teman baiknya ini. "Gedung itu untuk siapa? Kalian para pendekar?" Terdengar nada mencemoh. Lukman terkekeh. Dia memukul bahu Airlangga. "Tentu saja bukan. Gedung itu untuk para ibu hamil. Kan mereka korban dari kutukan kota ini," kata Lukman. Suaranya berubah rendah ketika mengatakan kutukan. Wajah tidak suka Airlangga berubah lunak. Dia tahu temannya adalah orang yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Tetapi dia sangsi ketika Lukman diangkat menjadi petinggi Apiabadi. Dia menyangka Lukman sudah berubah. Ternyata teman lawasnya ini masih sama. "Bukannya akan ada penghalang di dalam sana? Kau tidak takut?" Airlangga menoleh ke arah Lukman. Lukman kembali terkekeh. "Aku sudah menyingkirkan mereka yang menghalangiku," suaranya berubah tajam. "Aku memberikan mereka hadiah agar mereka setuju." Airlangga penasaran dengan hadiah yang dikirimkan oleh Lukman. Pasti membuat mereka kena serangan jantung. Lukman tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa orang yang selalu mengambil keuntungan dari kutukan itu. Mereka pasti tidak menyangka, bahwa yatim piatu seperti Lukman bisa berada di posisi paling atas. Puncak rantai makanan. "Berapa yang kau butuhkan?" Tanya Airlangga langsung. Cengiran lebar terpampang di wajah Lukman. *** Dan kali ini Lukman melihat gedung itu telah hancur berantakan. Tetapi dia tidak terlalu kecewa. Gedung bisa dibangun kembali. Tetapi nyawa manusia yang hilang tidak bisa kembali. "Bayu, kau akan membawa kesepuluh pendekar terbaik kita termasuk Arunika menuju panel lingkaran sihir," kata Lukman malam itu. Malam sebelum Gedung perlindungan di serang. "Kenapa?" Bayu nyaris tidak percaya. "Mereka tidak akan terlalu berguna. Mereka lebih baik ikut bersamamu memperbaiki sihir. Biar Panji, aku yang urus," kata Lukman. "Jelaskan!" "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Kau akan tahu nanti." Dan ternyata terkaannya tepat. Kalau para pendekar itu semuanya berkumpul di sini. Kota Sabin akan jatuh ke tangan musuh. Lukman membantu para pendekar untuk menjauh dari pertarungan. Mereka yang terluka harus segera diobati. Lukman memanggil bala bantuan medis. Namun mereka tetap perlu waktu sampai ke sana. Lukman mengamati pertarungan yang kini mulai berjalan tidak seimbang. Wewe mulai kewalahan. Lukman tersenyum geli. Pemandangan yang sangat jarang terjadi. "Ibu-ibu kok dilawan," gumam Lukman terkekeh. Ibu -ibu menyerang tanpa aturan. Mereka tidak mengenal konsep fair. Mereka menyerang dengan membabi buta. Mereka akan menyerang bersamaan. Sehingga Wewe itu kebingungan. Dan letika hendak mencengkram lengan korban. Salah satu ibu ibu akan menghancurkan kepala Wewe. Dengan senjata yang telah dimantrai oleh Lukman, senjata itu telah membantu mereka dengan baik. Ibu ibu yang kelelahan, diminta beristirahat dan digantikan oleh lainnya. Lukman seperti melihat pertandibgan olahraga. Mereka saling menggenggam, saling membantu satu sama lain. Demi kemenangan. Dan perang ini dipimpin oleh gadis muda. Lukman ingat wajah itu. Dia adalah orang yang ditolong oleh Arunika. Sepertinya sifat nekad Arunika menular. Lihat saja semangatnya. Menusuk leher para Wewe tanpa ada rasa takut atau kasihan. Benar benar cocok jadi teman Arunika. Wewe bermata merah itu mulai mundur dari pertarungan. Mereka bergerak melarikan diri. Lukman menjadi waspada. Pasti mereka ada pemimpinnya. Panji bergerak ke sisi Lukman. "Dia orangnya. Dia lah pemimpin para Wewe ini," kata Panji. Nafasnya terengah engah. Tentu saja, Panji tetap kewalahan melawan ratusan Wewe ini. Tetapi Lukman yakin bukanhanya itu sebabnya. Dan dia melihat lengan Panji yang luka. "Kau juga terinfeksi," gumam Lukman menunjuk lengan Panji. "Tidak apa. Masih bisa kutahan. Dia kemari," kata Panji. Lukman memandang arah yang ditunjukkan oleh Panji. Seorang berjubah hitam yang telah sobek itu berjalan dengan tenang. Terlalu tenang. Membuat insting Lukman waspada. Siapa dia? Tuan berjubah hitam itu kini berhadapan dengan Lukman dan Panji. Dia memandang sebentar ke arah ibu hamil yang masih menghabisi Wewe yang tinggal. "Hebat sekali rencana Petinggi Agung. Menjadikan ibu hamil sebagai bidak catur," kata Leak. Panji menggumam pada Lukman. "Namanya Lukman. Dia mengaku begitu." "Hai Leak, berikutnya kau akan habis," desis Lukman. Hanya dengan sekali melihatnya Lukman tahu, orang yang bernama Leak itu separuh Danyang. Mungkin seperti Bayu. Tetapi lebih kuat. Lebih kejam. Dan tidak manusiawi. Auranya dipenuhi dengan kedengkian, kemarahan, dan kekjian. "Kau lebih dulu Lukman," kata Leak. Usai mengatakan itu, Leak menyerbu Lukman dan Panji. Dengan pisau pisau kecil miliknya. Panji terdorong mundur. Dengan stamina yang terkuras dan tubuh yang terinfeksi dia kewalahan melawan pisau pisau. Lukman menangkis dengan menggenggam pisau itu dan meremukkannya. "Hanya permainan kecil kah?" Ejek Lukman pada Leak. Leak tertawa. "Memang harusnya aku tidak setengah setengah melawanmu, petinggi agung." "Menjadi kehormatan bagiku untuk melenyapkan mu," kata Lukman. Leak kini melemparkan pisau yang lebih banyak. Pisau - pisau ini bergerak seperti ular. Menyerang dan mundur ketika akan dicengkram tangan Lukman. Dan menyerang lagi, ketika Lukman lengah. Leak tertawa melihatku seorang petinggi tidak menggunakan mantra melawannya. Hanya menggunakan kekuatan fisik. Tetapi sangat menganggukkan memang. Dan membuatnya terus ingin bermain dengan Lukman. Leak kini ikut menyerang. Dia menyembunyikan pisau kecil di bawah lengannya. Begitu dia ada di depan Lukman. Dia bergerak ke samping Lukman dan menghujamkan pisaunya ke tubuh Lukman. Lukman tidak sempat menghindar dengan serangan itu. Namun dia bisa meminimalisir lukanya. Dia melompat ke arah samping. Berguling guling di tanah. Leak memutar dan berlari ke arah Lukman. Kali ini dia tidak menggunakan pisau, tetapi kaki. Dia menendang tubuh Lukman yang berguling. Lukman menangkis juga dengan kakinya. Bunyi debam terdengar sangat keras. Lukman segera berdiri dan memasang kuda-kuda. "Kekuatan fisikmu lumayan juga," puji Lukman. Leak tersenyum. "Tentu. Untuk menghadapi petinggi tidak boleh orang lemah," kata Leak. Dia melepas tudung hitamnya. Rambut panjangnya berkibar seperti bendera. Dia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Kemudian tertawa melengking seperti Mak lampir. Wujudnya berubah. Tangan tangannya mulai memanjang dan kukunya juga. Hitam dan runcing. Giginya keluar taring yang sangat besar. Badannya menebal dan berbulu seperti monyet. Panji dan Lukman bergumam bersamaan, "manusia Wewe."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN