Rencana Lukman

1752 Kata
Tuan berjubah hitam terbang tinggi dan melesat di atas gedung. Dia mengamati para wewe kelas teri yang dibasmi oleh para pendekar ApiAbadi. Dua berdiri telat di atas gedung perlindungan ibu hamil. Tidak ada yang menyadarinya kecuali Naraya. Naraya sudah merasakan keganjilan sejak tiba di sana. Namun keganjilan itu pintar bersembunyi Dan ternyata dia muncul sendiri tanpa harus diuber oleh Naraya. Naraya memberi tahu Panji dengan telepati, dia akan terbang ke atas gedung. Panji mengangguk. Dia bisa mengatasi Wewe Wewe ini dengan mudah. Dia menggesek biola dan melodi itu memekik. Setiap gesekan yang dilakukan, kilat kilat berterbangan menyasar di kepala dan tubuh para Wewe. Meski jumlah mereka banyak, tetapi Panji bisa mengatasinya. Apalagi dia tidak sendiri. Ada puluhan pendekar di sini. Mereka pun tidak terlalu lemah untuk dibantai Wewe. Justru mereka bersenang-senang bersama memburu dan menghabisi para Wewe. Naraya terbang dan melayang di dekat tuan berjubah hitam tersebut. "Siapa kau?" Tanya Naraya. "Sungguh terhormat, aku bisa bertemu dengan Danyang Naraya," kata orang itu. Naraya tidak bisa memastikan apakah orang itu lelaki atau perempuan. Tetapi apapun jenis kelaminnya tidak jadi soal, dia tinggal menyerang orang itu. Naraya mengibaskan angin ke arah orang itu. Orang itu memiliki tabir perlindungan yang kuat. Angin serangan Naraya lenyap terserap ke dalam tabir itu. "Jangan buru-buru. Permainan baru dimulai, tuan Danyang. Kau bisa memanggilku Leak," katanya. Naraya sama sekali tidak peduli dengan nama ataupun wujud orang itu. Dia mengamati sosok itu. Tabir itu adalah jenis mantra yang kuat. Tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Dan di mana sekutu Danyang milik musuhnya. "Bagaimana kabar sang bulan, Kiandra. Sepertinya dia sedang tidur lelap di kamar tidur lantai dua ya," kata Leak memancing. Naraya mengibaskan tangan dan kilatan menyerang Leak. Kilatan itu menembus tabir dan membuat jubah hitam yang dipakai Leak sobek. Sobek di beberapa tempat. "Jangan beraninya kau menyentuh dia," ancam Naraya. Dadahnya mendidih. Dia gemetar takut terjadi hal yang buruk pada Kiandra. Sedangkan dia tidak ada di sana menemaninya. Leak tersenyum di balik tudungnya. Naraya tidak bisa melihatnya. "Aku sudah mengirimkan hadiah padanya. Mungkin sekarang sudah sampai," kata Leak. Naraya terguncang. Pikirannya terpusat pada Kiandra. Tanpa butuh waktu lama, Naraya melesat ke rumah Kiandra. Prioritas utamanya adalah keselamatan Kiandra. Dia sudah lupa untuk apa dia di sana. Dia melupakan Panji. Dia melupakan para ibu hamil. Kiandra, sang bulan adalah hidupnya. Begitu Naraya lenyao dari pandangannya, Leak tersenyum. Dia tahu bahwa Naraya akan selalu mengutamakan Kiandra. Karena itu dia memancingnya. Padahal hanya menyebut nama Kiandra saja, Naraya sudah seperti anak ayam yang takut kehilangan induknya. Cinta adalah kelemahan. "Lawan yang paling merepotkan sudah pergi. Saatnya show time," gumam Leak senang. Dia melihat musuhnya, Panji. Maka dia melemparkan pisau kecil untuk memberi salam. Panji melihat Naraya terbang. Dia bingung. Mau kemana Naraya. Pasti ada hubungannya dengan Kiandra. Tetapi dengan situasi kacau seperti ini. Bagaimana mungkin Naraya pergi begitu saja. Sebuah serangan mengenai lengan Panji. Panji tidak sempat menghindar, karena matanya melihat kepergian Naraya. Panji mengusap darah di lengannya. Luka yang diterimanya tidak terlalu dalam. Hanya seperti goresan saja. Darahnya pun tidak keluar banyak. Orang yang menyerang Panji muncul di hadapan Panji. Tuan jubah hitam. Dia berkata dengan lantang. "Lawan aku Panji Laksamana. Biar pisauku bisa mencicipi darahmu yang lezat." "Siapa kau?" Tanya Panji waspada. "Panggil aku Leak," katanya. Dia melemparkan beberapa pisau kecil. Panji melompat mundur mengindari pisau itu. Pisau itu terjatuh di tanah. Panji melihat hal yang ganjil. Pisau kecil yang jatuh itu bangkit sendiri dan mulai mengejar lagi. Panji terkesiap. Dia melompat lompat untuk menghindarinya. Begitu pisau itu mengejat lagi. Panji berlari menuju biolanya. Dia mengambil bow dan memutarnya. Bow itu berubah menjadi pedang. Dia menangkis pisau itu dengan pedang. Pedang itu bahkan mematahkan pisau pisau itu. Panji menyerbu Leak. Dia berusaha membuka tudung untuk melihat wajah Leak. Leak menangkis serangan itu dengan pisau kecil. "Berapa banyak pisau kau miliki?" Kata Panji ketika beradu senjata dengan Leak. Senjata mereka berbenturan beberapa kali. "Cukup untuk mengalahkanmu, Panji," kata Leak tertawa. Panji tidak merasa lucu. Dia menambah kekuatannya untuk mendesak Leak. Panji menghentakkan kakinya, sehingga tubuhnya terangkat dari tanah. Tangannya masih memegang pedang yang beradu dengan Leak. Dia menendang Leak. Tudung itu terlepas. Tetapi Panji menyesalinya. Tidak ada yang bisa dilihat dari sana. Dia tidak memiliki bentuk. Leak mengubah dirinya menjadi transparan. Leak gembira. Dia merasa ini permainan yang menyenangkan. Panji bukan lawan yang lemah. Dia tidak mudah dikalahkan. Apalagi dengan trik kecil seperti itu. "Karena kau bisa mengalahkan pisauku. Maka aku akan memberimu hadiah," katanya tertawa. Leak membuka mantra di telapak tangannya. Sebuah simbol di tangan itu keluar di udara. "Ayo semuanya. Data glah kemari. Kita bersenang senang," teriaknya. Dia tertawa tidak sabar menikmati pertunjukan darah malam ini. Sebuah serangan yang telah diperhitungkan dengan matang dan tanpa cela. Pihaknya akan menang, begitulah yang dipikirkannya. Dan dia pun lenyap. Sebelum lenyap dia membisikkan sesuatu pada Panji. "Kita akan bertemu lagi." Muncul gerombolan Wewe dari segala arah. Wewe ini berbeda dengan Wewe yang sebelumnya melawan para pendekar. Wewe yang muncul ini lebih ganas dan lebih kuat. Mereka menyerang tanpa lelah. Jumlahnya tidak terhitung. Panji waspada. Kedua kakinya mencengkram tanah. Apa yang akan dilakukan b*****h sinting itu. Aura dingin memenuhi udara. Angin menyapu dengan cepat. Setelah angin itu, Wewe ganas ini datang. Mereka datang dengan mata merah yang haus darah. Di sisi lain, pendekar lainnya sedang bertarung dengan Wewe. Wewe bermata merah itu menyerang dan menyerang. Mereka tidak peduli bila rekannya telah ditebas oleh pendekar. Mereka tidak mengenal kata mundur. Hanya serang dan serang terus Para pendekar yang berjaga di luar bersiap. Mereka memegang erat senjata yang mereka gunakan. Wewe itu tiba dengan jumlah banyak. Mereka bukan Wewe biasa. Wewe itu menyerang dengan kuku hitam panjangnya. Setiap luka yang diterima oleh pendekar, luka itu malah bernanah. Sudah ada racun di dalam kuku Wewe. Para pendekar terdesak dengan jumlah Wewe yang terlalu banyak. Segerombolan Wewe sudah memasuki gerbang dan masuk ke dalam gedung. *** Lukman ada di dalam gedung dan meminta para warga semuanya menyingkirkan menuju pintu bawah tanah. Dan Lukman juga meminta mereka melawan bila menemui Wewe. Sebuah ledakan terdengar. Kompor telah mencium api. Dan mereka ikut meledak Bersama. Atap gedung itu ambrol. Tiang dan dinding penyangga ya telah rusak. Lukman menahan atap itu dengan kedua tangannya. Dia segera menyuruh mereka semua meninggalkan gedung. Para ibu hamil panik berlarian ke sana kemari. Pintu bawah tanah ternyata macet. Seperti ada yang mengunci dari balik pintu. Mereka berhamburan menuju pintu utama. Dan mereka terkejut. Wewe sudah memasuki gerbang dan mendekati mereka. Suasana begitu kacau. Para pendekar sudah menghabisi banyak Wewe. Tetapi sepertinya Wewe yang datang tidak ada habisnya. Seolah mereka memiliki sembilan nyawa. Wewe itu mengejar para ibu hamil. Ibu hamil yang mentalnya kuat akan menyerang balik menggunakan senjata yang mereka punya. Sedangkan ada juga ibu hamil yang sudah kehilangan tenaga. Dia hanya bisa pasrah diterkam Wewe. Wewe itu tidak langsung memakannya. Melainkan memainkannya lebih dulu. Dia mencengkeram lengan perempuan malang itu. Kemudian mengendus tubuhnya. Begitu menemukan mangsanya di perut perempuan itu, dengan satu tangannya, Wewe itu mencungkil mangsanya dari perut dan menelennya langsung. Perempuan itu sudah tidak sadar. Barangkali sudah tidak bernyawa. Belum puas, Wewe itu memakan perempuan itu mulai dari kepalaya. Dia seperti ular yang menyedot mangsanya. Rengganis dan semua yang menyaksikan hal itu merasa jijik, mual, dan ketakutan yang merayap ke seluruh tubuh. Lukman menggeram, dan membuang atap itu. Dia melemparkannya ke angkasa. Tetapi secepat apapun dia berlari. Perempuan dan janinya telah masuk ke dalam Wewe itu. Lukman menghantamkan tinjunya ke Wewe tersebut. Setelah makan, dia menjadi lebih tenang tetapi lebih kuat. Dia mampu menangkis serangan Lukman. Lukman mengucap mantra dan meninju kembali. Wewe itu terjengkang. Lukman menyerbunya seperti anjing yang menyerang. Tanpa ampun. Pukulan demi pukulan bertubi. Hingga Lukman mengeluarkan pedang dari saku celananya. Dia menebas kepala Wewe itu tanpa ampun. Kemarahannya meluap. Ketenangannya habis. Dia mengacungkan senjata dan menyuruh siapapun yang ada di sana untuk menebas kepala Wewe. Tanpa takut. Tanpa ampun. Suara Lukman menggelegar bagaikan petir. Teriakannya menyuntikkan semangat untuk siapapun yang ada di sana untuk berperang. Rengganis juga. Dia melemparkan belati ke Wewe yang posisi dekat dengan dirinya. Lemparan tersebut tidak terlalu kuat. Tetapi seolah belati tersebut memiliki perintah untuk tepat ke leher Wewe. Belati itu menusuk dengan sangat dalam hingga leher Wewe putus. Kepalanya jatuh menggelinding. Menggelinding terus di bawah kaki Rengganis. Rengganis tidak merasa jijik. Dia menginjak kepala Wewe itu dengan kakinya. Kemarahan bertumpuk di dadanya. Begitu melihat bekas darah temannya, Rengganis menginjak injak kepala Wewe itu dengan kuat. Para ibu hamil kini memiliki semangat baru. Setiap senjata yang mereka acungkan dengan berani dan berniat melindungi janin mereka. Maka senjata itu melindungi mereka dari Wewe.  *** Flash back ke arah rapat Lukman bertemu dengan Bayu di luar markas. Setelah Arunika meninggalkan mereka. Lukman mengubah wajahnya lebih serius. Dengan dahi yang berkerut.  "Firasatku mengatakan kita akan segera berperang," kata Lukman. "Kau baik-baik saja?"  Bayu merogoh rokok. Dan menyalakannya. Dia menghisap nikotin itu dengan tenang. "Tenang. Aku masih sanggup bertarung," kata Bayu.  Lukman mengangguk. "Baguslah. Karena energiku akan habis setelah ini," kata Lukman.  "Apa rencanamu?"  Lukman memandang kota sabin. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan setiap dia melakukannya. Perasaan rindu, sedih, sendu. Lukman tidak bisa menemukan kata yang tepat. Berada di posisi tertinggi bukan berarti setiap malam bisa tidur nyenyak. Justru sebaliknya. Posisi tinggi sebanding dengan tanggung jawab yang besar.  Lukman sudah mencium adanya pengkhianat di dalam markas. Untuk itu dia tidak bisa membocorkan rencananya. Dia akan memutuskan sesuatu di saat yang tepayy. Tanpa perlu rapat seluruh anggota petinggi.  "Kalau kau perlu bantuan, aku selalu siap, Lukman," kata Bayu dengan intonasi yang mantab. Doantidak pernah ragu untuk selalu berada di pihak Lukman.  Lukman bersyukur. Dia memiliki Bayi di sisinya. Setidaknya Bayu bisa menggantikannya bila terjadi sesuatu dengannya.  "Aku akan mengirim separuh senjata Api abadi ke gedung perliny ibu hamil," kata Lukman.  Bayu mengisap rokoknya kembali dan mengembuskan asapnya ke udara. "Kenapa? Apakah kau merasa sihir perlindunganku mudah ditembus?"  "Tidak. Justru karena terlalu kuat," kata Lukman nyengir.  "Jangan berkelit. Langsung intinya."  "Mereka semua sudah ada di dalam. Jadi mereka juga terlindung oleh sihirmu." Bayu membuang rokoknya. Menginjaknya. "b*****t. Kenapa kau baru bilang?"  "Karena itulah aku berharap para ibu hamil itu bisa melawan musuh dengan tangannya sendiri," kata Lukman.  "Mereka terlalu lemah untuk menjaga diri. Dan sekarang kau menyuruh mereka memegang senjata. Kau bercanda?"  Lukman terkekeh. "Tidak. Aku akan memantau semua senjata itu agar menurut pada mereka." Bayu bergeming. "Itu.. butuh energi yang besar. Apalagi jumlahnya lebih dari 290 senjata." "Aku tahu. Tapi hal ini lebih baik daripada kekuatanju hanya ada di satu tempat," kata Lukman.  "Aku harap kau hidup lebih lama," kata Bayu.  Lukman terkekeh. "Aku sudah hidup lebih lama darimu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN