Penghormatan Terakhir

1997 Kata
Pemandangan mengerikan yang terjadi di depan mereka membuat mereka membeku sesaat. Ketakutan yang menyergap. Kegelapan yang datang di sudut hati. Membuat mereka merasa ingin kabur dari sana. Tetapi mereka tetap bertahan. Bayu sudah lepas kontrolnya. Dia berteriak, meraung akan menyerang musuh yang telah membunuh Lukman. "Jangan! Dia bukan lawanmu, sekarang!" Kata Dewanti mencegah. Bayu menarik tangannya tidak peduli. Tetapi cengkraman Dewanti malah menguat. Dan Bayu semakin ingin marah. Meluapkan amarah, emosi, kesal yang memenuhi rongga dadanya. Dia merasa ingin meledakkan sesuatu. Manusia Wewe itu mencabut pedangnya dari tubuh Lukman. Dadanya bersimbah darah. Badannya sudah kaku. Pertanda nyawa sudah menghuni tubuhnya lagi. Badannya tersungkur menelungkup ke tanah. Mereka yang ada di dalam dinding perlindungan menangis. Bayu meraung raung kecewa. Arunika terisak dan juga sepuluh orang lainnya. Mereka menangis dalam duka. Duka yang dalam. Duka kehilangan seseorang yang penting. Duka Kota Sabin. Perempuan itu tertawa-tawa. Setelah puas melihat Lukman mati mengenaskan di tangannya. Dia pun pergi. Dia melihat ke arah Bayu dan lainnya. Memberikan tatapan dingin. Memberi tanda bahwa dia tak terkalahkan. Dan dia akan kembali untuk menghabisi mereka. Bayu membalas tatapan itu dengan penuh kebencian. Dia yang akan membalas kematian Lukman dengan tangannya sendiri. Perempuan itu lenyap ditiup angin. Menyisakan tubuh Lukman yang sudah dingin di tanah yang penuh dengan darah. *** Pemakanan dilakukan dengan segera. Namun berita duka itu telah menyebar ke seantero Kota Sabin. Masyarakat merasa kehilangan sosok Lukman. Petinggi Agung yang selalu melindungi mereka segenap jiwa. Kini sosok Lukman hanya tinggal di dalam kenangan mereka. Dia tidak akan pernah bisa membersamai mereka lagi. Namun kenangan itu tersimpan rapi di dalam hati mereka. Sampai kapanpun. Pempimpin sejati Lukman Candra. Di batu nisannya terdapat ratusan bunga. Bahkan itu belum semuanya. Masih banyak bunga bunga yang datang dengan truk, mobil, di antar oleh kurir. Bunga itu dari masyarakat kota Sabin seluruhnya. Sebagai penghormatan terakhir kepada Lukman Candra. Petinggi Agung ApiAbadi. Beberapa sejahrawan mulai menuliskan kisahnya dalam buku sejarah yang harus dibaca oleh generasi muda. Saat pemkanan Bayu tidak hadir. Arunika menoleh ke sekeliling mencarinya tetapi tidak ada. Dia melihat sepuluh pendekar yang bersamanya kemarin. Panji menutup mata berdoa. Mengingat pertemuannya dengan Lukman pertama kali di sana. Di panti asuhan. *** "Kalau kau hanya ingin mati konyol teruskan saja" kata Lukman saat itu. Panji telah menghajar lima orang yang membullynya di sekolah. Mereka menggiring Panji ke gang sempit. Dan di sanalah, Panji menghabisi mereka. Dan ketika berbalik, Panji mengira Lukman adalah polisi, jadi dia menendang kaki Lukman dan hendak kabur. Tapi bukannya Lukman yang kesakitan, malah Panji yang terlempar jatuh. Di belakang Lukman ada Bayu. Bersandar di pintu mobil dan bermain dengan ponselnya. Tidak peduli apa yang dilakukan temannya. "Mau apa kau?" Bentak Panji. Lukman terkekeh."Kalau kau mau, aku ingin mengajakmu piknik," kata Lukman. Di belakang Lukman, Bayu menahan tawa. Piknik? Serius? Panji tentu saja curiga. Dua lelaki dewasa ingin mengajaknya piknik. Mungkin mereka gerombolan penjual organ manusia. Lukman menggaruk leher yang tidak gatal. Dia menoleh ke Bayu. "Bayu. Kau bawa langsung dia." Panji waspada. Apa maksudnya bawa. Dibawa kemana? Bayu tidak bergerak. "Kau saja. Kau kan sudah berdiri di situ. Di depan dia." "Aku takut meremukkannya nanti," kata Lukman. Bayu tersenyum geli. Kata-kata Lukman membuat Panji membeku. "Kau membuatnya takut," kata Bayu. Lukman langsung mengendong Panji dengan satu lengan. Dibilang menggendong tidak tepat. Lukman menjinjing Panji. Seperti menjinjing tas. Panji berontak sekuat tenaga dan usahanya sia-sia. *** Panji tersenyum teringat pertemuan pertamanya dengan Bayu dan Lukman. Setelah itu mereka berdua membawa Panji ke rumah keluarga Laksamana. Dari sana dia memperoleh kenyamanan hidup. Pendidikan, kekuatan, dan penghormatan. Dia tidak pernah menyangka seorang berandalan seperti dia bisa menjadi bagian dari Laksmana. Kesombongannya saat itu pun dibungkam oleh Lukman. Lukman pernah menghajar Panji dengan satu tinju. Panji nyaris mati. Tulang hidungnya patah, rahangnya bergeser. Sehingga dia harus bedrest di rumah sakit beberapa waktu. Lukman tidak segan segan menggunakan tinjunya untuk memberi pelajaran. Dari Lukmanlah, Panji belajar menggunakan keistimewaan yang dia miliki untuk sesama. Pelajaran yang tak pernah dia dapat dari manapun. *** Bayu mengurung diri di kamar beberapa hari sejak kematian Lukman. Bahkan dia juga tidak datang di pemakaman tersebut. Dia merasa hatinya kacau. Moodnya memburuk. Di dalam kamar, Bayu termenung. Kadang dia merasa emosional dan membanting kursi meja dan menghancurkan barang barang yang ada di dalam. Dari kamar itu selain suara bantingan, suara debam yang keras. Juga terdengar suara jeritan Bayu. Suaranya terdengar putus asa, marah, dan sedih. Dia merasa sedih kehilangan Lukman. Merasa marah karena tidak bisa membantu Lukman di saat terakhirnya. Bayu merasa ingin membunuh dirinya sendiri. Sesedih apapun dia, dia tidak bisa menangis. Air matanya tidak keluar. Mungkin jatah air matanya telah habis setelah peristiwa itu. Peristiwa yang nyaris membuatnya mati. Peristiwa yang membuatnya bertemu dengan Lukman. Sang gurunya. Bayu menatap nanar dinding dan mengingatnya kembali. Seelah bertarung keras dengan Naraya, Bayu terdesak. Amunisinya sudah habis. Sedangkan Naraya masih segar bugar. Dia tidak menyangka akan melawan seorang Danyang. Ketika serangan Naraya sudah menebas lehernya. Dan Bayu tidak dapat merasakan denyut nadinya. Dia pikir dia akan mati. Tetapi dia malah diselamatkan oleh Lukman. Lukman menangkis serangan Naraya dengan tangannya. Wajahnya terlihat konyol karena terus tertawa. Orang yang aneh, pikir Bayu. Bayu sudah tidak sadar ketika Lukman dan Naraya bertarung. Entah siapa yang menang. Tidak tahu. Bayu terbangun dia sudah berada di rumahnya. Dia pikir dia akan ke rumah sakit. Bayu melihat seorang bocah kecil duduk di pinggir kasurnya. Dia memegang tangan pergelangan tangan Bayi. Lamat - lamat Bayu mendengar bocah itu berkata, bahwa Bayu sudah melewati masa krisis. Bayu ingin tertawa. Siapa bocah ini? Dokter? Apa ada dokter sekecil itu? Bayu butuh beberapa hari bisa sadar. Dan ketika dia membuka mata, yang dilihatnya adalah bocah kecil itu lagi. "Siapa kau?" Tanya Bayu. Suaranya parau dan berubah ketika dia bicara. Mungkin pita suaranya luka. Bukannya menjawab bocah itu malah lari ke luar kamar dan memanggil nama Lukman. Siapa Lukman? Yang dipanggil Lukman masuk ke kamar Bayi dengan wajah ceria. "Bagus... Bagus," katanya sambil mengusap usap kepala bocah kecil itu. Dia berjalan mendekati kasur dan bertanya pada Bayu. "Kau beruntung, masih hidup," kata Lukman. Bayu mendengus. "Aku tidak bisa mati mudah." Lukman terkekeh. "Bagus. Besok kau akan membantuku di kantor," kata Lukman tegas. Bayu bertanya tanya, kantor apa yang mempekerjakan lelaki orang aneh ini? Pertanyaan terjawab ketika dia masuk ke gerbang ApiAbadi. Bayu merasa geli. Organisasi nirlaba yang konyol ini hendak mempekerjakannya. Dari mana uang yang mereka punya? Hingga Bayu terheran dibuatnya. Laksmana ada di kantor itu untuk apa? Begitu melihat Bayu masuk ke ruang itu, Laksamana menyapanya. Melambaikan tangan. "Hai adik, kukira kau sudah mati?" Bayu membuang muka. Dia merasa jijik dengan pandangan di depan matanya. Laksamana duduk tidak sendirian. Dia diapit oleh dua perempuan cantik dengan pakaian seksi. Bayu merasa ingin muntah. Untuk apa si penebar benih ini di sini? Bayu menatap tajam Lukman. Tetapi Lukman sepertinya tidak terganggu dengan kehadiran Laksamana dan dua asisten tidak bergunanya itu. Mau tidak mau dia pun duduk. Dengan kursi yang agak jauh dan tidak berhadapan dengan Laksamana. Dia ingin tahu apa yang dilakukan Lukman. Di ruang itu ada beberapa kepala keluarga bangsawan yang hadir. Bukan hanya satu. Tetapi sepuluh keluarga bangsawan. Sangat jarang terjadi mereka duduk bersama di satu ruang. Apalagi bangsawan yang paling kaya, Airlangga. Dia paling enggan berurusan dengan hal yang tidak menghasilkan uang. Lukman mengetuk pena di meja. Dan seketika para kepala keluarga itu diam. "Selamat siang semuanya, tuan dan nyonya. Terima kasih telah hadir memenuhi undangan kami. Tentu kami..." Ucapan Lukman dipotong oleh Airlangga. "Langsung ke intinya. Aku punya banyak urusan." Setelah Airlangga bicara, terdengar kasak kusuk pada keluarga lainnya. Mereka juga mengajukan keberatan. Lukman menggaruk lehernya. Dia sebenarnya malas basa basi. Tetapi dia lakukan demi kesopanan. Tetapi mereka malah memilih untuk Langsung. Mereka memang luar biasa. "Baiklah langsung ke intinya saja. Aku ingin kalian semua membantuku untuk membangun organisasi Api abadi. Organisasi ini bertujuan membasmi Wewe. Ada pertanyaan?" Airlangga mengacungkan jari. "Kenapa harus membantu? Wewe bisa menjadi seleksi alam." "Yah, kalau kau mengatakan hal itu. Besok istrimu mungkin sudah binasa." Airlangga berdiri. "Kau mengancam ku? Aku bisa kirim penyihir dan bodyguard ku untuk memberimu pelajaran." Lukman mendesah. "Kalau yang kau maksud penyihir mage. Mereka sudah ada dipihakku. Coba saja telpon. Dan soal bodyguard mu," Lukman menggerling. "Mereka akan mati kalau melawanku." Para keluarga itu berbisik bisik. Menimbang apakah mereka akan membantu atau tidak. "Keuntungan apa yang kami terima kalau membantumu?" Tanya Laksamana. "Bukan membantuku," Lukman mengoreksi. "Tetapi membantu masyarakat Kota Sabin ini." "Ya terserahlah. Apa keuntungannya?" Lukman tersenyum. "Ketenaran dan tentu aku akan membantu kalian dan keturunan kalian lebih baik menjadi manusia." Mereka semua tertawa. "Kau ini bercanda, untuk apa kami butuh bantuan kalian? Kami cukup kuat untuk melindungi diri kami." Airlangga diam. Bukan dia bukan ingin membantu. Tetapi dia sudah menerima pesan, bahwa salah satu bodyguard yang paling terkuat telah tewas pagi ini. Dia baru ditemukan ketika Airlangga sudah ada di ruang ini. Tubuhnya penuh luka dan tulangnya remuk. Airlangga sangat yakin bahwa ini perbuatan Lukman. Dia menatap tajam Lukman. Mengamati bagaimana Lukman bergerak, kira kira berapa usianya, dan seperti apa kekuatannya. "Aku akan membantu. Tapi hanya 1% dari laba perusahaanku," kata Airlangga tiba tiba. Dia ingin mengambil risiko satu persen untuk mengetahui siapa dan apa yang dilakukan oleh Lukman. Lukman bertepuk tangan. "Terima kasih. Hadiahku sudah diterima ya? Aku kerepotan sedikit tadi. Tapi yah semua berjalan sesuai rencana." Sembilan orang lainnya bergeming. Kenapa Airlangga membantu Lukman. Lima orang lainnya akhirnya mau membantu. Itupun hanya satu persen. Lukman mengangguk angguk. "Seiring waktu, kalian akan menyumbang besar untuk organisasi ini," Empat orang lainnya memutuskan untuk menolak termasuk Laksamana. Reaksi Lukman hanya mengangguk angguk. "Dari sepuluh keluarga yaitu Airlangga, Laksamana, Candra, Haya, Pakubumi, Oriza Sativa, Jangkung, Gardapati, Semanggi, dan Philip. Hanya enam orang yang mau membantu. Ini langkah yang baik. Kami senang bertemu anda semua. Semoga selamat sampai tujuan," kata Lukman. Airlangga pulang paling belakangan. Dia memang sengaja. Dia ingin mengajukan pertanyaan pada Lukman secara pribadi. Lukman pun sepertinya tidak keberatan. "Siapa kau?" Tanya Airlangga langsung. Sedangkan Bayu mengantar kepergian Laksamana menuju mobil. Sebagai etika yang baik junior terhadap kepala keluarga. Laksamana menatap Bayu. "Jadi kau jaminannya?" Kata Laksamana. Bayu diam saja. Dia memang berhutang nyawa pada Lukman. Tetapi tidak pernah menyangka dia akan dijadikan jaminan oleh Lukman untuk membuat kerjasama dengan Laksamana. Bayu tidak menjawab. Laksmana menyayangkan bakat Bayu. Seperti biasa, dia mengomel panjang lebar tentang keputusan Bayu menolak menjadi kepala keluarga. Laksamana tidak mengerti alasan Bayu. Menurutnya sangat menyenangkan menjadi penebar benih. Dia bisa bersama perempuan manapun. Tanpa harus bertanggungjawab pada mereka. Bayu menyumpal telinganya mendengar ocehan Laksamana. Pikirannya melayang ke arah Sang Bulan, Arata. Kematian Arata membuatnya berpikir ulang untuk memeluk wanita lain. Dia sangat terpukul dengan kejadian itu. Kembali pada Airlangga. Dia berdiri dengan tongkatnya. "Katakan!" Lukman tidak menjawab. "Penyihirku bukanlah orang yang bisa diancam dengan mudah. Pasti kau memegang kelemahannya. Sehingga dia mau membantumu." "Benar. Dia tahu siapa aku. Dan wangsit yang aku terima," kata Lukman. "Wangsit? Kau penyihir juga?" Lukman terkekeh. "Bukan. Aku hanya yaah. Orang yang seperti itu." Airlangga diam. Dia tidak akan mendapat jawaban apapun tentang identitas sebenarnya Lukman. Tetapi dia bisa mengorek informasi lain. "Wangsit apa yang kau terima? Kota ini akan hancur?" Lukman menyeringai. "Tentang anakmu." Airlangga mendengar jantungnya berdegup sangat kencang. Dia belum memiliki anak. Apakah mungkin dia akan segera memilikinya? "Kau bicara seolah olah aku akan memiliki anak." "Memang. Dia sudah mengincarmu sejak dulu. Aku tidak tahu persisnya kapan. Tapi istrimu akan mengandung anak yang tak biasa." Airlangga mencengkram kerah Lukman. "Katakan dengan jelas!" "Sang Bulan akan menitis pada anakmu." Bayu tepat berdiri di sana. Di pintu dan mendengar suaranya. Sang bulan akan lahir kembali? Di keluarga Airlangga. Dia tidak percaya. "Kau pasti hanya asal bicara," bantah Airlangga Lukman menggeleng. "Tidak. Hal itu sudah terlihat jelas. Dan penyihir mu, mengetahuinya." Bayu mengulang pertanyaan yang sama. "Apakah benar, Arata akan kembali lahir?" Lukman menggeleng. "Bukan Arata. Tetapi Sang bulan. Dia tidak akan menjadi orang yang kau kenal. Dia pun tidak kenal kau. Karena dia, orang yang berbeda." "Tetapi katamu, Sang bulan?" "Iyah. Tetapi bukan Arata." Bayu diam. Dia berusaha mencerna segalanya. Airlangga juga terlihat sangat syok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN