Setangkai Bunga

2036 Kata
Bayu bersadar di dinding dekat jendela. Matanya menatap ke luar jendela. Dia melihat bukan sedang bersinar. Bulat dan terang. Tetapi hatinya kacau. Apa yang terjadi kemarin malam masih belum bisa dia percaya. Hatinya terasa sakit Dirantai oleh kemarahan dan keputusasaan. Seminggu setelah pemakaman akan ada rapat besar sepuluh keluarga. Untuk menentukan penerus petinggi agung. Lukman berasal dari keluarga Candra. Dan semua baru mengetahuinya setelah kematiannya. Lukman tidak pernah membahas tentang latar belakang dirinya. Seperti namanya, keluarga Candra terikat dengan Sang Bulan. Karena itulah Lukman bisa mengetahui jauh jauh hari, kelahiran titisan Sang Bulan. Meskipun masih banyak misteri yang belum terungkap tentang Wewe. Apiabadi tidak bisa terus berduka. Mereka memiliki tugas mulia untuk membersihkan kota dari Wewe. Bayu penasaran apa alasan Lukman kenapa menyuruhnya mengumpulkan keturunan sepuluh keluarga kecuali Panji untuk membuat segel merah. Segel itu sangat kuat. Tetapi tetap saja tidak mampu melindungi Lukman dari manusia Wewe. Ketika mengingat peristiwa tragis itu, amarah memenuhi rongga d**a Bayu. Dan dia pun melampiaskannya dengan menghancurkan barang barang yang tersisa. Tak ada yang berani menegur sikapnya. Kecuali Lukman. Pintu kamar diketok. Bayu mendengarnya. Siapa yang berani menegurnya kali ini. Bayu tidak membuka pintu dan memilih mengabaikannya. Tangannya sudah berlumur darah. Kena pecahan vas bunga. Kamarnya sudah tidak berbentuk lagi. Kursi remuk, dipan patah jadi dua. Cangir, vas bunga dan kaca meja rias semuanya sudah hancur berkeping-keping. Brak! Pintu didobrak. Naraya di sana. Dengan berkacak pinggang. Raut wajahnya tidak terbaca. Wajah Bayu menggelap. Alisnya bertaut dan ingin menghajar Naraya. Siapa lagi yang bisa jadi lawan tandingnya. "Ada yang bertemu dengan kau," kata Naraya. Dia melihat kamar itu seperti kapal pecah dan mendesah. "Keluar kau. Atau kuseret," Naraya mengancam. Bayu tersenyum miring. Siapa yang ingin bertemu dengannya dengan kondisi seperti ini? Dia melangkah keluar kamar. Mengabaikan setiap jejaknya, menetes darah dari tangannya. Kiandra ada di sana. Dengan wajah pucat dan tangan gemetar. Kakinya mondar mandir menunggu Bayu. "Ada apa sang bulan kemari?" Tanya Bayu ketus. Dia tidak memandang Kiandra. Dari suaranya, dia terdengar sangat terpaksa menemui Kiandra. Kiandra menegakkan dagu. Dia tahu kalau Bayu bukan orang yang menyenangkan. Tetapi ini adalah pesan yang harus disampaikan. Kiandra juga malas untuk datang ke rumah Bayu. Dalam seminggu ini dia berpikir berulang kali untuk menyampaikan atau menyimpan sendiri pesan Lukman yang dia terima. Awalnya dia mengabaikan pesan itu. Karena untuk apa dia menyampaikan pesan. Padahal Bayu dan Lukman sering bersama. Itu konyol. Tetapi ternyata dia mengetahui maksud dari pesan tersebut. Lukman akan mati. Dia Lukman telah tahu. Makanya dia mempersiapkan hal ini. "Aku hanya ingin menyampaikan pesan Lukman," kata Kiandra. Dia melihat darah yang menetes dari tangan Bayu. Dia terkesiap tapi tidak mengatakan apapun. Bukan menjadi urusannya. Toh Bayu tidak mungkin mati hanya karena luka kecil. Bayu tersenyum miring. Dia meremehkan kata kata Kiandra. "Dan kenapa harus kau? Kenapa tidak dia katakan sendiri sebelum dia mati misalnya." Bayu mencemoh. Kiandra berang. "Ya mana aku tahu. Kau tanya saja dia di kuburan sana." Naraya melihat dua orang ini menjadi ikut kesal. Dia melingkarkan tangannya di bahu Kiandra. Kiandra menjadi lebih rileks. Melihat interaksi mereka berdua, Bayu tergelak. "Apakah kalian mau pamer hubungan? Itulah pesannya?" Kiandra tidak tahan lagi dengan kata-kata Lukman. Jadi dia memutuskan untuk pergi saja. "Terserah kalau begitu." Kiandra berjalan cepat menuju pintu. Bayu menimbang-nimbang apakah yang dikatakan Kiandra benar. Kalau benar, maka dia telah menyiakan amanat dari Lukman. Tetapi kalau bohong? Otak Bayu berpikir keras. Apakah dia akan percaya atau tidak. Tetapi dia tidak akan rugi kalau hanya mendengar pesan tersebut. Maka langkah kaki panjang Bayu bisa menyusul Kiandra tepat saat membuka pintu. Bayu mencekal tangan Kiandra. Naraya bereriak. "Lepas tanganmu!" Bayu langsung melepas tangan Kiandra. Yang lelaki pecemburu. Yang perempuan pemarah. Cocok sekali mereka. "Katanya tidak percaya?" Kata Kiandra tajam. "Cepat katakan. Mumpung aku mau mendengar," balas Bayu. Kiandra mencibir. Dasar plin plan. Harusnya Bayu itu bersyukur Kiandra mau datang ke tempat kumuh ini. Beberapa baju, buku berserakan di lantai. Debu setebal lima cm. Kiandra bahkan enggan duduk, takut gaunnya kotor. "Dia cuma bilang, bunga anggrek bulan akan mekar," kata Kiandra. "Dan yah, dia pernah menyuruh ayah agar memasukkanku menjadi pendekar Api abadi. Tapi tentu saja ayah menolak keras. Tetapi setelah Lukman tiada, ayah jadi sangat murung." "Baiklah, aku mengerti." Bayu tahu apa maksudnya. Dia akan segera melaksanakan pesan itu. Dia kembali ke kamar mengambil kunci mobil dan berjalan menuju garasi. Kiandra dan Naraya saling berpandangan. Mereka tidak memahami maksudnya. Tetapi Naraya ingin tahu, maka dia mencegat Bayu. "Kau akan kemana?" Bayu tersenyum. "Tidak apa, aku baik-baik saja. Nanti aku kabari lagi." Mobil bergerak menuju pemakaman. Setelah seminggu menghindar dari tempat itu, kini Bayu merasa harus mendatangi tempat peristirahatan Lukman. Di kursi depan samping tempat duduknya terdapat setangkai bunga bunga anggrek bulan. Dia membeli di toko bunga dalam perjalanan menuju makam. "Kau sedang apa?" Tanya Bayu saat itu. "Menanam bunga anggrek bulan. Kau kan rindu bulan," kata Lukman. "Kau mengejekku ya?" "Tidak. Cinta adalah perasaan yang baik. Karena cinta pula aku melakukan pekerjaan melelahkan ini," kata Lukman dengan memberi maksud pekerjaan membasmi Wewe. "Kalau kau lelah. Kau bisa jalan-jalan, kencan dengan perempuan, menjauh dari Apiabadi," kata Bayu memberi saran. Lukman meletakkan pot bunga itu di tanah. Dan mengambil bibitnya saja, lalu dia tempel di batang pohon mangga tepat di depan jendela kamar Bayu. Bibit bunga itu sudah tumbuh. Akarnya mengikat pada kulit kelapa. Dan bunga itu diikat di sana. "Nanti kalau akarnya sudah menempel pada kulit batang, baru kau bisa melepas ikatannya," kata Lukman. "Kenapa tidak kau tanam di rumahmu. Ah, aku lupa rumahmu adalah ApiAbadi. Tanaman bunga yang terawat itu kau yang melakukannya kan?" Bayu pernah melihat malam-malam Lukman sibuk menyirami tanaman. Dia memang sudha membayar tukang kebun, tetapi kadang dia juga ikut merawat tanaman itu sendiri. "Apakah bunga ini akan mekar saat bulan purnama?" Tanah Bayu. "Tidak. Itu jenis yang lain. Tetapi tidak persis begitu. Ada bunga yang mekar hanya pada malam hari. Kadang kebetulan saat purnama," kata Lukman sambil memyemproti air tanaman anggrek itu. "Terus kenapa namanya anggrek bulan?" "Karena warnanya cantik, seperti bulan. Makanya kau terpesona dan jatuh cinta dengannya, sampai berbuat gila," sindir Lukman. "Saat itu kenapa kau menyelamatkanku?"Tanya Bayu. "Bukan aku. Tapi sang bulan." Bayu ingin menyangkal tetapi akhirnya tidak jadi. "Apakah anak Airlangga benar titisan bulan? Akan sangat repot untuk melindunginya." "Benar. Dia punya penyihir sendiri. Dan kita akan membantunya. Ah! Jangan jatuh cinta padanya." Lukman mengingatkan. "Tidak akan. Melihat watak ayahnya, dia pasti menjadi anak yang judes," gumam Bayu. Lukman terkekeh. "Lihat, kalau bunga ini akan mekar. Berarti sudah saatnya kau melepas segel rumah Airlangga." Bayu tercengang. "Kenapa? Anak itu akan mati diserang Wewe." Lukman menggaruk lehernya. "Tidak persis begitu. Dia masih akan tetap hidup. Tapi dia harus keluar dari cangkang ayahnya. Lagipula aku merasa ada variabel yang aneh." "Apakah variabel ini akan menghalangi langkah kita?" Tanya Bayu. Para sepuluh keluarga sudah merasakannya. Tetapi mereka tidak tahu apa persisnya variabel aneh itu. "Tidak tahu. Mungkin kota ini memanggilnya?" Lukman berbalik bertanya. "Ngawur aja," kata Bayu. Tentu saja Bayu tidak percaya. Mana ada sebuah kota. Benda tidak hidup memiliki kekuatan untuk itu. Memanggil seseorang? Pendapatan Lukman perlu diabaikan. "Aku selalu berpikir bahwa setiap yang ada di dunia ini memiliki nyawa. Bukan hanya manusia. Tetapi juga Danyang, hewan, tumbuhan, bahkan setiap benda yang ada di sini. Pasti memiliki nyawa. Hanya saja kita tak bisa berbicara atau mendengarkan mereka," lanjut Lukman. Dia menyentuh daun daun kecil bunga anggrek itu. "Bahkan bunga anggrek ini. Aku yakin pasti bisa merasakan kasih sayangmu yang meluap-luap, sehingga membutuhkan pelukan banyak perempuan," kata Lukman. Dia tersenyum geli. Bayu tak menanggapi. Barangkali sifat orangtua itu memang wajar untuk banyak bicara dan memberikan ceramah yang tidak diinginkan. Jadi Bayu hanya mendengarkan saja. Pura-pura mendengar, tetapi dia bermain game di ponselnya. Lukman masih melanjutkan bicaranya. Dia tidak sadar kalau Bayu sudah memfokuskan dirinya pada layar ponsel. "Hei Lukman, kapan anggrek bulan itu akan mekar? Maksudnya kapan aku harus melepas segel di rumah Airlangga?" Kata Bayu. Matanya masih menatap layar ponselku. "Kapan ya? Aku tidak tahu. Pengetahuanku tetap ada batasnya," kata Lukman. "Bagaimana dengan sepuluh keluarga? Apakah mereka tetap mendukung kita atau menjadi musuh?" Lukman berbalik badan dan melihat Bayu bicara dengan matanya menatap layar ponsel. Dia memukul kepala Bayu. "Anak muda kurang ajar, kau mengabaikanku dari tadi hah?" Bayu pura pura mengaduh. "Aku masih tetap mendengarkan kok." "Sebaiknya kau gunakan kemampuanmu untuk membantu orang lain," bentak Lukman. "Ada apa ini? Kenapa obrolan kita melenceng jauh?" Tanya Bayu kebingungan mengikuti topik yang dibicara Lukman. "Aku bosan melihatmu. Kau akan menempati petinggi. Biar lebih berguna dan tidak bermalas malasan," kata Lukman memutuskan. "Itu namanya nepotisme," bantah Bayu. Sejujurnya dia tidak terlalu suka berada di ApiAbadi. Tetapi dia tetap melakukannya. Dia merasakan kehangatan berinteraksi dengan orang lain. Rasa hampa di hatinya perlahan terobati. Lagipula menjadi petinggi artinya waktu liburnya akan banyak terpangkas. Belum lagi telpon tiap malam kalau ada masalah. "Tidak ada yang akan memprotes," kata Lukman tenang. Bayu mendengus. Itu karena kau mengancam mereka, batin Bayu. Sejak saat itu Bayu menduduki posisi petinggi dengan mulus. Keluarga lainnya tidak terlalu memberikan protes. Karena mereka tidak memiliki penerus yang sebanding dengan Bayu. Selain kecerdasan, kekuatannya Bayu setara dengan satu kepala keluarga. Bahkan seharusnya dia yang menjadi kepala keluarga Laksamana. Namun dia menolak dengan keras. Dan sekarang malah menjadi tangan kanan Lukman. *** Mobil Bayu meluncur mulus menuju pemakaman. Hujan gerimis tidak menganggu perjalanannya. Selaginhujan dan menywtiry, Bayu melamunkan percakapannya dengan Lukman tempo dulu. Dan ketika Kiandra mengatakan soal anggrek bulan. Dia ingat percakapan itu. Tentang Kiandra, titisan Sang Bulan dan variabel aneh adalah Arunika. Bayu yakin itu. Apa dia harus memastikan pada Arunika terlebih dulu? Ah tidak. Dia bel memberikan penghormatan terakhirnya pada sang guru dan teman akrabnya Lukman. Maka mobil terus melaju menuju di pemakaman. Tidak ada orang di sana. Hanya makam Lukman penuh dengan bunga. Setiap langkahnya terasa berat. Langkah demi langkah akhirnya dia berdiri tepat depan pusara Lukman. "Apakah kau merasa sedih karena sendirian di dalam sana? Kenapa kau tak membiarkanku membantumu?" Tangannya terkepal di dalam saku. Hatinya terasa berat. Tetapi Bayu tidak menangis. Tidak ada air mata yang jatuh. "Setelah ini aku akan menemui Arunika. Memastikan variabel itu ada di pihak kita atau bukan?" Bayu meletakkan bunga anggrek bulan di makam. Dan menunduk mengirim doa untuk Lukman. *** Arunika melihat kelopak matanya bengkak di depan cermin. Wajahnya masih sembab. Dia tetap merasakan kehilangan. Terlebih lagi ketika mengingat pemakaman Lukman yang penuh dengan bunga. Tetapi lebih banyak air mata yang tumpah. Bahkan iringan jenazah dari Apiabadi menuju peristirahatan terakhir, Arunika melihat ribuan orang berjejer di pinggir jalan. Orang tua bahkan anak-anak melambaikan tangan mengucapkan perpisahan. Arunika tidak pernah melihat pemakaman semeriah itu. Arunika masih dalam suasana sendu, tapi suasana hatinya berubah saat melihat Dewanti duduk dengan kaki di atas kursi. Tangannya memencet remot, dan mulut yang tidak berhenti ngunyah. Arunika heran, darimana nafsu makannya yang besar itu. Pintu kamarnya diketuk. Arunika dan Dewanti berpandangan. Lewat matanya Arunika bertanya siapa. Setelah ada Dewanti, beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan dengan hanya bertanya padanya. Seperti mengetahui siapa yang ada di balik pintu. "Angin sepoi Sepoi menyambar pagi," kata Dewanti. "Hah? Ngomong apaan sih?" Kata Arunika dengan nada heran. Pintu diketuk lebih keras. Tamu Arunika ini tidak sabar rupanya. Arunika berjalan menuju pintu dan Dewanti berteriak. "Rapikan wajahmu atau kau akan menyesal!" Arunika mengintip di lubang pintu. Seorang lelaki berpakaian rapi. Tetapi dia berdiri membelakangi pintu, jadi Arunika tidak bisa melihat wajahnya. Tetapi dia kembali ke dalam dan menyisir rambut juga memakai sedikit bedak. Memastikan mata sembabnya tidak terlalu kentara. Setelah dirasa lebih baik, baru dia bergegas membuka pintu. Dan lelaki itu berbalik badan. Bayu. Arunika menganga. Untuk apa Bayu ada di sini? "Engg..." "Boleh masuk?" Tanya Bayu. Dia mengambil inisiatif dulu, karena sepertinya Arunika begitu kaget melihat dirinya di sana. Arunika hanya mengangguk. "Angin sepoi-sepoi," sembur Dewanti pada Bayu. Makanan yang dikunyahnya itu terbang di jas Bayu. Dewanti sama sekali tidak merasa bersalah. Bayu mengigit dinding dalam mulutnya. Arunika setelah sadar segera mengambil tisu basah dan mau mengelap jas Bayu. "Maaf mas eh pak," kata Arunika tergagap. Bayu merebut tisu itu dari Arunika dan membersihkan kemejanya sendiri. Tapi matanya menatap tajam ke Dewanti. Danyang sombong itu. Arunika mencubit lengan Dewanti dan berbisik,"ayo minta maaf." Dewanti cemberut. "Mau apa kau ke sini?" Arunika menepuk jidatnya. Bayu menghela nafas panjang. "Apa kau tahu kenal dia, manusia Wewe yang membunuh Lukman?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN