Mulanya hanya Aru merasa udara di sekitarnya mulai dingin. Tetapi lama kelamaan dingin itu membuatnya merinding. Dia memandang perempuan malang yang sedang menangisi hidupnya.
Perempuan berkuncir kuda itu gemetar, menyebut- nyebut nama wewe. "Aku akan dimakan wewe. Bagaimana ini? Tolong! Tolong!"
Aru berjalan mendekati perempuan itu, bermaksud menenangkan dan mengajak ke kantor polisi meminta perlindungan. Namun baru berjalan beberapa langkah, sudut matanya menangkap sosok makhluk muncul dari arah yang berlawanan.
Sosok itu tidak begitu jelas, sebab dipenuhi oleh kabut. Namun makhluk itu berjalan mendekat ke arah mereka. Dan Aru akhirnya bisa menebak siapa makhluk itu.
"Wewe," desis Aru.
Bayangan Aru, Wewe adalah makhluk yang sangat menyeramkan. Ternyata tidak. Perempuan berambut sangat panjang itu muncul bak cahaya yang menyilaukan. Rambut panjangnya bahkan bisa menyapu lantai. Dia berbicara dengan nada mendayu, merayu agar perempuan yang ditolong Arunika mau menyerahkan bayi yang dikandungnya secara sukarela.
"Kemarilah. Aku akan membantumu bebas. Kau tidak perlu merawat bayi itu. Bawa saja padaku," bisik Wewe merdu.
Aru menengok ke segala arah apakah ada yang bisa membantu mereka. Aru khawatir, pertahanan perempuan itu akan goyah oleh rayuan Wewe. Perempuan itu diam saja, seolah menimbang apakah dia akan menyerahkan janin itu pada Wewe atau tidak.
Pikirannya kalut. Masa depannya masih panjang. Dia baru akan dilantik menjadi pegawai tetap di kantornya. Tetapi dia malah terjebak oleh keadaannya saat ini. Dia yang masih muda dan polos tergoda oleh rayuan lelaki. Yang mengatakan mencintainya sepenuh hati.
Dia takut mati. Tetapi dia juga tak punya keberanian membesarkan anak sendiri. Apakah pilihannya tepat menyerahkan janin yang bahkan belum genap dua bulan itu pada Wewe. Ini bisa dianggap keguguran tak disengajakan? Dia tidak akan disebut sebagai pembunuh anaknya sendiri?
Dia benar benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Bawa saja padaku. Pikirkan masa depanmu. Kau masih muda," goda Wewe.
Aru melirik perempuan itu. Kemudian Aru memeluknya. "Menjadi ibu adalah anugerah. Tidak semua orang bisa."
Keinginan perempuan itu mulai berubah. Bukan lagi tentang masa depannya. Tetapi masa depan anaknya. Dia akan melihat senyum anak itu, mendampingi setiap pertumbuhannya. Dia mulai terisak. Bagaimana mungkin dia akan menyerahkan anaknya pada Wewe.
Tiba tiba Wewe bergerak maju karena merasakan penolakan. Langkahnya ringan seperti berjalan di udara. Dengan cepat, Aru merentangkan kedua tangannya menghalangi Wewe menjangkau perempuan itu. Namun sia-sia, Wewe hanya perlu mendorong pelan Aru,dan Aru pun terlempar.
"Brak!"
Badan Aru menumbuk dinding gedung perpustakaan. Dia kesakitan. Namun tekadnya bulat untuk melindungi perempuan itu dan janinnya. Aru bangkit dan tertatih untuk menyingkirkan Wewe itu. Setidaknya dia bisa mengukur waktu, pikir Aru.
Aru menarik tangan Wewe berharap menjauh dari perempuan itu. Wewe hanya mengibaskan sekali, dan Aru pun jatuh.
Wewe itu sudah mencengkram leher perempuan itu. Kuku-kukunya panjang menikam lehernya. Darah mulai terlihat di leher perempuan itu. Aru panik, tetapi kakinya sakit digerakkan. Dia mulai berdoa agar ada siapapun yang bisa membantu mereka.
Mulanya pelan, kemudian kencang. Aru mendengar suara melodi. Itu bukan gitar. Seperti digesek.
"Suara biola kah? Jam segini?"
Begitu suara gesekan biola terdengar kencang, Wewe itu melepaskan cengkramannya dan mulai menari.
Aru tercengang dengan apa yang dilakukan Wewe. "Kenapa dia?" Tetapi keheranan langsung hilang ketika dia ingat perempuan hamil itu. Aru langsung membantunya menjauh dari Wewe.
"Kamu gak apa apa? Lehermu berdarah," ujar Aru khawatir. Dia mencari cari tisu atau saputangan di sakunya. Nihil. Jadi dia mengusap darah di leher perempuan itu dengan lengan bajunya.
"Kita harus ke rumah sakit dan panggil polisi."
Perempuan itu menggeleng. "Nggak perlu. Kita sudah aman. Ada pendekar Api Abadi di sini. Kita akan selamat."
Arunika mencari asal suara itu. Dia ingin melihat seperti apa pendekar Api Abadi itu. Matanya menyapu sekitar. Dia perlu memincingkan matanya dan melihat laki laki itu.
Dari kejauhan hanya nampak siluet laki-laki membawa sesuatu di punggungnya.
Sebuah cahaya melesat cepat berasal dari arah laki-laki itu dan menebas tubuh Wewe.
Slash!
Wewe terpental mundur. Meski demikian Aru yakin itu tidak melukai Wewe. Buktinya sekarang Wewe itu malah terbang mencari siapa yang menyerangnya.
Lelaki itu melompat kemudian meletakkan box biola di tempat yang aman. Ketika Wewe mulai mendekat, dia memetik senar biolanya. Cahaya cahaya keluar dari sana seperti peluru yang ditembakkan. Semuanya melesat terbang menghantam tubuh Wewe.
Lelaki itu tersenyum, dia menggesekkan bow ke senar dan menghasilkan Sebuah instrumen yang syahdu. Dari suara-suara itu berubah seperti anak panah dan menyerang tanpa ampun pada Wewe. Wewe sepertinya kehabisan tenaga, badannya mulai oleng.
Lelaki itu dengan memutar bownya. Dari bow berubah menjadi pedang. Pedang itu dia ayunkan menebas kepala Wewe. Mulanya hanya asap yang muncul kemudian api menjalari tubuh Wewe. Dia terbakar.
Aru menarik mundur perempuan itu menjauh dari api. Dia melihat bagaimana sosok perempuan yang cantik itu berubah wujud jadi makhluk menjijikkan. Dengan kepala dan organ dalamnya terlihat.
Apakah itu sosok aslinya? Batin Aru.
Wewe mengundang mangsa dengan wujud yang cantik. Karena sudah sifatnya ada manusia menyukai hal - hal yang indah. Karena itu Wewe menyembunyikan sosok aslinya untuk mengelabui dan mendapatkan mangsa dengan gampang.
"Apa yang kalian lakukan malam malam begini? Mau bunuh diri?"
Aru melompat kaget. Lelaki itu sudah ada di belakang Aru. Lelaki itu mengenakan setelan jas hitam dengan dasi kupu kupu. Wajah lelaki itu cantik. Lebih cocok jadi anggota boyband dibandingkan pembasmi wewe. Tetapi ada yang mengusik Aru.
"Laki laki kok kepangan?" Tanya Aru lugas. Dia mengabaikan sindiran laki laki itu. Aru lebih penasaran dengan rambutnya.
Aru masih ingat Dewanti selalu mengejek selera film yang sering ditontonnya. Serial drama cina. Putri Huan Zhu. Lelaki dengan kepala atas botak dan rambut kepang satu.
Saking kesalnya Dewanti, dia selalu berkata bahwa jodoh Aru adalah lelaki dengan kepang satu. Tentu saja Aru mengabaikannya. Mana ada di zaman sekarang lelaki seperti itu. Lelaki berambut panjang saja identik dengan kesan nakal apalagi kepangan.
Tetapi di hadapannya ternyata ada. Lelaki dengan kepang satu. Kepang rambutnya bahkan sampai ke atas pinggang.
Laki laki mendelik. "Bukan urusanmu!" Kemudian tatapannya beralih ke perempuan yang meringkuk. "Sudah tahu hamil, masih berani berkeliaran. Nyusahin aja!" Perempuan itu menunduk. Dia masih gemetar dan menggigiti kukunya.
Aru merasa geram, lelaki itu tidak memiliki empati. Dia tidak tahu saja, perempuan ini baru saja dicampakkan pacarnya, kemudian diincar Wewe. Dan sekarang harus dimarahi.
Lelaki itu memandang perempuan yang hamil dari atas sampai bawah hanya sekilas. Tetapi dia dengan sengaja lama lama melototi Aru. Menunjukkan ketidaksukaannya pada Aru.
Aru balas melotot. Apakah semua pendekar Apiabadi tidak punya hati?
"Kita ke Pendopo Api Abadi," ucapnya singkat.
"Kita naik apa? Jalan kaki?" Aru mencibir. "Orang ini terluka, apa tidak bisa kita ke rumah sakit untuk mengobati lukanya?"
Perempuan itu menggenggam tangan Aru. "Aku tidak apa apa,Mbak. Kita ikuti Kakak ini saja."
"Panji. Bukan kakak ini."
Mendengar namanya, Aru teringat superhero mengenakan kostum hitam putih dengan topeng kelelawar. Aru bergumam. "Panji Milenium."
"Apa katamu tadi?" Panji mendengar Aru berbisik. Perempuan itu pasti mengejeknya lagi.
"Apa? Aku hanya tanya, kita akan naik apa?" Aru membantah. Bisa-bisanya dia mendengar . Apa dia telinganya punya kemampuan super?
Panji mendengus. Dia mengeluarkan ponselnya. Dia menyebutkan tempat di mana mereka berada. Kemudian menutup telepon.
Hanya sepuluh menit berselang, sebuah bus datang. Bus warna hitam itu meluncur mulus berhenti tepat di depan mereka. Aru merasa tidak asing dengan bus itu. Bus dengan restoran di dalamnya.
"Bus sialan!" Umpat Aru.
Aru langsung melompat ke dalam bus dan langsung menarik baju supir bus.
"Hey you!"
Begitu melihat wajah supir, kata - kata Aru menggantung. Supir itu berkerut bingung. Aru melepaskan tangannya.
"Maaf salah orang!" Aru menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal.
Panji yang menyaksikan tindakan Aru berdesis,"Cewek gila!"
Aru duduk di belakang supir, dia masih mencerna apa yang terjadi pada hidupnya. Dia masih ingat perdebatannya dengan Dewanti tentang dunia paralel. Kemudian keesokan harinya, dia berada di negeri antah berantah. Tidak ada satupun yang dia kenal. Aru menghela nafas panjang.
"Aku yang tidak percaya, malah aku yang masuk ke dunia paralel sialan ini."
Perjalanan ini terasa lebih lama dari biasanya bagi Panji. Dia sangat terusik dengan perempuan tanpa alis itu. Instingnya mengatakan ada sesuatu dengan perempuan itu. Lagipula di zaman sekarang, mana ada perempuan yang memakai tas usang. Tas yang terbuat dari kumpulan kain perca.
Panji mengamati perempuan yang duduk di seberangnya. Perempuan itu menyibak rambutnya ke belakang telinga, Panji bisa melihat dengan jelas, dia tidak memakai anting. Bahkan tidak ada cincin atau gelang pada tubuh perempuan itu.
"Bukankah semua cewek itu suka dengan perhiasan?" Panji mengangkat bahu dan menatap kembali ke depan.
Sedangkan perempuan korban Wewe sedang menyesap teh yang disiapkan. Badannya terasa lebih segar, dan hatinya lebih nyaman. Awak bus menawarinya makanan berat, tetapi dia hanya meminta roti saja.
Bus hitam itu melaju dengan kecepatan 30km/ jam. Mereka sampai lima belas menit kemudian.
Bus berhenti di depan pagar bertuliskan Pendopo Api Abadi. Mereka turun dari bus dan memasuki pagar setinggi tiga meter.
Aru mendongak ke atas, di dalam pagar terdapat empat bangunan utama. Yang paling tinggi adalah menara ini. Menara dengan dengan bentuk obor dan api.
"Sepertinya ikon api terbuat dari emas," Aru berbicara sendiri.
Aru menghitung jendela pada gedung bertingkat di samping menara. "Ada tujuh lantai."
Dinding gedung itu didesain unik. Terdapat hiasan tumbuhan merambat sampai ke lantai atas. Mata Aru berkeliling lagi. Kali ini dia menatap bangunan dua lantai. Pintunya sangat tinggi dan lebar dibanding pintu biasa ada ukiran obor di tengah tengah. Ketika ada orang yang berdiri di depan pintu itu.
Blup!
Ada api yang membakar pintu kemudian terbuka. Aru berdecak kagum. Bangunan itu pasti kantor Api Abadi.
Panji menunjuk bangunan dua lantai itu dan menyuruh perempuan yang hamil memasukinya.
"Akan ada yang membantu kamu nanti! Pergi!" Sahut Panji seolah melihat kebingungan perempuan itu.
Perempuan itu memeluk Aru. "Aku Rengganis. Siapa namamu?"
"Arunika. Panggil saja Aru," balas Aru memeluk Rengganis.
Rengganis kemudian melambai tangan pada Aru dan berjalan pergi. Aru membalas lambaian. Matanya terus mengikuti kepergian Rengganis.
"Terus aku gimana?" Tanyanya pada Panji yang sudah berdiri di sampingnya.
"Pulang saja. Tidak ada gunanya kamu di sini," jawab Panji singkat.
"Boleh aku bertanya?"
"Kalau tentang rambutku. Aku akan tegaskan itu bukan urusanmu!" Panji melipat kedua tangannya ke d**a.
Aru gemas dengan sikap laki laki ini. Dia sangat sensitif terhadap rambutnya. Aru bertaruh dia masih kesal sampai saat ini.
"Bukan. Tapi tentang Wewe."
"Aaah!" Lelaki berteriak sambil mengangkat tangan. Kemudian merenggangkan badan. "Besok saja! Berikan nomormu!"
Aru mengaduk isi tasnya mencari ponsel. Saat mengeluarkan ponsel, dia mendengar Panji berdecak. Aru mendongak melihat ekspresi heran di wajah Panji.
"Itu ponsel apa?"
"Ponselku. Kenapa?"
"Hah. Itu ponsel tahun berapa? Masih berupa keypad. Ya Ampun! Kau lahir zaman dinosaurus?" Cerca Panji. Dia mengeluarkan ponsel pintarnya. "Lihat! Ini baru namanya ponsel. Layar sentuh!"
Merasa terhina, Aru berkaca pinggang. "Itu bukan urusanmu!"
Aru menyebutkan nomornya dengan cepat. Dia ingin segera pulang. Tetapi Panji memintanya mengulang nomernya. Setelah itu Aru pamit pulang. Dia diantar kembali oleh bus hitam sampai depan rumahnya.
Aru datang ke kampus mengenakan kaos putih dipadu dengan celana kodok berwarna biru. Tasnya tetap sama, rain kain perca bermotif. Sepatunya kets putih. Hanya itu yang dimilikinya. Dia berencana akan membeli sepatu hitam, kalau sudah gajian dari kerja paruh waktunya.
Ada perayaan ulang tahun di kampusnya hari itu. Mereka mengundang Cantabile Orchestra, kelompok yang paling terkenal di kota Sabin.
Aru menatap banget besar yang digantung di gapura kampusnya. Dia melihat gambar Panji di sana. Mana mungkin dia tidak mengenali rambut Panji. Hanya Panji yang memiliki rambut hitam panjang dengan kepang satu itu.
Acara sudah dimulai rupanya. Aru bisa mendengar musik instrumental dari aula besar kampusnya. Dia tidak terlalu suka keramaian, jadi dia memilih untuk pergi ke kelas.
Ketika dia masuk kelas, teman teman sekelasnya langsung berdiri. Aru mengernyit. Beberapa hari kemarin, tak ada satupun yang sadar dia ada di kelas. Tetapi hari ini kenapa mereka semua menatapku dengan takut?
"Apakah kamu pergi ke perpustakaan kemarin?" Tanya seorang temannya.
"Iya, kenapa?" Aru menjawab tanpa pikir panjang.
Seorang berkacamata yang duduk di belakang melemparnya dengan botol minum.
"Pergi kau, kuyang!"
Aru menghindari botol. Botol itu menggelinding di bawah kakinya. Dahinya mengernyit. "Kuyang apa?"
Mereka semua berpandangan. Lelaki berkacamata mata itu memanaskan suasana. "Alah... gak usah berlagak oon. Kan emang lo tuh kunyang. Wewe. Dasar monster!"
Masing masing orang di hadapannya mulai meneriakinya dengan makian. Aru diam. Tangannya mengepal kuat. Setelah hal buruk terlempar ke dunia paralel. Sekarang dia harus menerima tuduhan yang tak masuk akal. Dianggap monster!
Aru ingin melompat ke provokator dan menghajarnya. Baru kemarin dia menonjok orang, hari ini dia akan melakukannya lagi. Darah Aru mendidih. Giginya mengatup. Kepala rasanya mau pecah.
Aru mengambil botol di dekat kakinya. Kemudian melempar ke arah lelaki berkaca mata. Botol itu tepat jatuh di wajah lelaki itu. Kaca matanya pecah.
"Aku bukan kuyang. Bukan monster!" Teriak aku sekuat tenaga. Nafasnya terengah-engah. Dia tidak terima disebut Wewe. Setelah apa yang dilihatnya semalam, dia bukan makhluk menjijikkan yang memakan bayi.
Suasana menjadi hening. Mereka membatu. Tidak menyangka anak yang paling pendiam di kelas bisa melawan.
Suara Dewanti terdengar jelas di kepalanya. Ketika Aru muak diejek bisa melihat hantu. Dewanti memberikan saran.
"Ada tiga cara untuk menghadapi orang-orang b******k. Pertama hadapi mereka secara langsung. Hajar saja tanpa banyak berpikir. Buktikan kalau kamu bukan penakut. Mereka tidak bisa menyakitimu seenak udelnya.
Cara kedua, adalah ikuti permainan mereka. Bahkan kamu harus unggul dari mereka. Sehingga mereka tidak akan berani menampakkan dirinya di hadapan mu.
Cara ketiga, abaikan saja. Ini yang paling sulit. Karena kita tidak bisa menentukan batas waktunya. Sebulan, setahun atau seumur hidupmu, ingatan mereka tentangmu adalah kamu yang lemah dan mudah ditindas."
Pada kasus olok - olok alis, Aru mengambil cara kedua. Mengaku indigo dan menakuti semua orang yang mengganggu dirinya.
Sedangkan untuk masalah kali ini dia mengambil cara pertama. Hadapi langsung.
Aru sadar, di dunia ini dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Apalagi di sini, di kota yang bahkan tidak satupun yang dia kenal. Dia tidak bisa meminta bantuan orang lain. Hanya dia sendiri.
Aru masih harus mengatur nafas. Dia menyapu seisi kelas. Mengingat satu per satu wajah yang ada di sana. Aru akan membuat perhitungan dengan mereka.
Seisi kelas menjadi diam melihat Aru murka. Berita soal kericuhan kelas mereka didengar pihak kampus.
Aru dipindahkan ke ruang khusus. Satu per satu orang yang ada di sana diinterogasi.
Aru duduk dengan memeluk tas kainnya. Kakinya gemetar. Dia tidak salah. Ruangan ber-AC ini membuatnya perutnya sakit. Dia ingin buang air kecil.
Pintu dibuka, masuklah seorang bapak mengenakan kemeja biru dan celana biru Dongker. Di belakangnya, laki laki itu. Wajah yang dikenalnya. Panji.
***
"Kita ke pendopo saja kalau begitu," Panji melangkah menuju bangunan beratapkan joglo. Hanya ada satu dinding yang menutup bangunan tersebut. Lainnya .tiang -tiang kayu penyangga atap.
Ada monitor besar menggantung dinding. Tidak ada satupun meja di sana. Hanya kursi kursi plastik ditumpuk di tiap sudut. Siapapun bisa mengambil kursi dan duduk di sana.
Aru melihat banyak anak anak bermain lesehan di sana. Mereka berlarian di pendopo. Tidak ada satupun yang melarang.
"Aku yakin, kita akan mengganggu mereka bermain." Ujar Aru pelan.
"Ikut saja!"
Panji berjalan menuju belakang dinding pendopo itu. Ternyata dinding itu polos. Melainkan kayu dengan ukiran -ukiran. Kayu itu sangat tebal. Aru memperkirakan tebalnya bisa lebih dari 10 cm.
Di belakang dinding terdapat tangga menuju bawah tanah. Mereka berjalan menuruni anak tangga. Untuk memecah keheningan, Aru menghitung berapa jumlah anak tangga yang dia injak.
"Sembilan belas, dua puluh," Aru terus menghitung, tidak sadar bahwa mereka telah sampai di ruangan yang sangat luas. Aru tidak bisa melihat ujungnya. Ruangan itu seperti aula yang sangat sangat besar. Meskipun di bawah tanah, lampu lampu membuatnya terang benderang.
Banyak orang mondar mandir di sana. Aru juga melihat ada meja kursi yang disediakan. Mereka sibuk makan dan mengobrol. Sepertinya ini cafetaria Api Abadi.
Panji mengajak duduk di tempat yang agak jauh dari orang orang. Dia pun mulai bicara tanpa basa basi.
"Hanya ada satu cara agar rumormu cepat terhapus. Kamu harus menjadi anggota Api Abadi."
Aru mengangguk. Cara ini lebih efektif. "Apa keuntungannya?"
"Tergantung. Kamu butuh apa? Gaji ada, tunjangan kesehatan, rumah, ada." Mata Panji menatap layar ponselnya saat berbicara. Ada beberapa pesan yang harus dibalasnya.
"Api Abadi organisasi yang kaya rupanya, bagaimana cara menjadi anggota?" Sahut Aru cepat.
Panji meletakan ponsel dan baru menatap Aru. "Kamu tidak takut? Nyawamu taruhannya."
"Its okay, toh aku tidak punya siapapun di sini."
"Berarti kamu punya seseorang di sana?"
"Entahlah." Aru merasa tidak nyaman dicecar seperti itu. Apalagi mereka baru berkenalan. Aru pasti dianggap tidak waras kalau menceritakan tentang bus dan dunia paralel.
Setelah membaca dan menandatangani beberapa dokumen, Panji menyuruh Aru pulang dan kembali besok untuk mengikuti tes awal.
Aru kembali ke kampus untuk mengajukan cuti kuliah. Sebab menurut keterangan Panji, lama waktu seleksi tidak bisa dipastikan. Paling cepat dua Minggu paling lama bisa sampai dua tahun. Jadi Panji menyarankan agar Aru cuti kuliah.
Desas - desus bahwa Aru adalah seorang Wewe kini menyebar seantero kampus. Kemanapun dia berjalan, orang orang memperhatikannya kemudian berbisik -bisik. Ada juga yang memakinya langsung, tapi tidak memukul. Sepertinya mereka takut akan diserang oleh Aru.
Aru menegakkan kepalanya. Dia mengakui sedikit takut, namun dia tidak ingin orang lain tahu. Dia mengepalkan tangannya dan terus berjalan menuju kantor kampusnya.
Di kantor itu orang yang mengenali Aru langsung berdiri. Mereka berusaha bersikap biasa saja, namun terlalu kentara. Yah, mereka tidak mengusirnya itu sudah bagus, batin Aru.
Setelah dokumen selesai, Aru melangkah ke luar. Sekilas dia melihat rambut panjang Dewanti, Aru pun berlari mengejar. Tetapi sosok itu hilang dengan cepat. Dia mulai ragu apakah itu hanya halusinasinya saja?
"Baru masuk sudah dianggap Wewe. Dan sekarang daftar jadi anggota Api Abadi? Gak mungkin lolos!"
Aru menengok.
Perempuan dengan gincu merah merona itu sedang meremehkannya. "Lihat! Mana mungkin tubuh ceking itu bisa lolos tes fisik? Ketika ditimbang saja, tidak memenuhi syarat!" ejeknya.
Aru membaca nama Kiandra di notes yang dipeluk perempuan itu. Ya ampun, jadi gadis ini yang bahkan tidak mau melihat wajah Aru ketika berbicara. Aru memiringkan kepalanya. Bagaimana membalasnya? Tidak boleh main fisik.
Aru diam saja, Kiandra senang dengan reaksi Aru. Dilihat seperti apapun, apa bagusnya Aru. Kenapa Panji yang terkesan dingin itu membela membela cewek jadul itu. Bahkan mengancam kampus atas nama keluarganya. Kiandra sangat iri.
Laksmana adalah keluarga pendiri kota Sabin. Namanya sangat disegani. Hanya dengan membawa nama saja, akan ada banyak kemudahan dalam hidup di sini.
Kiandra sudah lama mengincar Panji. Tetapi Panji selalu menolaknya. Kemudian Kiandra mendengar bahwa Panji melindungi perempuan ini. Perempuan yang dianggap Kiandra sangat tidak pantas di samping Panji.
Kiandra bahkan yang mengusulkan Cantabile tampil di acara kampus. Sehingga Panji akan menemui Kiandra secara khusus. Tapi apa yang terjadi? Belum selesai pertunjukan Cantabile Orchestra, Panji malah menghilangkan. Usut punya usut, dia sedang membela perempuan ini pada pihak kampus. Siapa sebenarnya perempuan ini? Kiandra bertanya-tanya.
"Hmm. Kamu habis makan bayi ya? Bibirmu buktinya," balas Aru tajam, kemudian melangkah pergi.