Sejak bertemu dengan Aru di kampus, Kiandra menjadi lebih sensitif. Perasaannya memburuk, amarahnya mudah tersulit. Ditambah, penyakit musiman itu datang lagi. Kiandra mengumpat lebih banyak dari biasanya.
"Sial! Penyakit sial ini kenapa nggak mau minggat!"
Dia bergidik ngerti ketika melihat dirinya di cermin. Seluruh kulit lehernya memerah. Dia sudah mengolesi salep gatal, tetapi hanya mengurangi rasa gatal, warna merahnya tetap menyala.
Bibirmu seperti abis makan bayi
Kata-kata Aru terngiang di kepala Kiandra. Kemarahan meluap. Dia menggosok bibirnya kuat. Menghapus warna lipstik dari bibirnya.
Ejekan itu melukai hati Kiandra. Seolah-olah hal yang dikatakan Aru itu benar. Dan dia membenci dirinya untuk itu. Tentu saja memakan bayi adahal hal yang buruk. Dia manusia, bukan Wewe. Tetapi rasa bersalah seperti merayap di kulitnya.
"Ih! Gatal! Gatal!"
Jemari Kiandra terus mengaruk dan menggaruk. Ketika digaruk dia merasakan sensasi enak meski sakit.
"Aduh!"
Kiandra melihat kukunya ada noda darah. Dia melihat kulit lehernya yang mulus kini berubah merah dengan goresan kuku tak beraturan.
Biasanya penyakit gatalnya ini akan berangsur membaik setelah beberapa hari. Tetapi baru satu hari, Kiandra sudah tidak kuat. Rasa gatalnya lebih parah daripada sebelumnya. Apakah karena memasuki musim hujan?
Dokter pribadinya mengatakan dia hanya alergi. Tetapi tidak dijelaskan dia alergi apa. Kiandra memutar otak. Apa mungkin karena AC. Dia mematikan ac-nya dan membuka lebar pintu kamar. Dia mencoba eksperimen kecil untuk menemukan pemicu alergi.
Terdengar suara jeritan. Kiandra menengok ke arah sumber suara tersebut Nampak Mira, dengan jas dan rok selutut berdiri di depan kamarnya. Wajahnya pucat melihat kondisi anaknya.
"Lehermu… Kia, kenapa nggak bilang mama?" Mira menyentuh pelan leher anaknya. "Ya Ampun sampai begini. Kiandra, kamu di rumah saja beberapa hari. Tidak usah pergi kuliah." Dia menelpon dokter. Menceritakan secara singkat kondisi Kiandra. Mira mengeluarkan ancaman agar dokter segera tiba di rumahnya.
"Ma, besok Panji akan main di Orchestra kampus besok. Masa aku nggak lihat?"
Mira menutup teleponnya. "Kia, kamu bertemu siapa belakangan ini?"
"Apa?"
"Ada orang baru pertama kali ini kamu temui? Atau berdekatan denganmu? Tidak harus kenal. Hanya jarak yang cukup dekat."
Kiandra merasa pertanyaan ibunya aneh. "Apa maksudnya? Aku bertemu banyak orang di kampus. Dan tentu saja aku tidak kenal mereka semua."
"Bukan… bukan kampusmu. Tempat itu bersih. Mama sudah memeriksanya. Apakah kampus kedatangan tamu yang tidak mama tahu?"
Kiandra mengabaikan pertanyaan ibunya. Dia lebih tertarik dengan kalimat sebelumnya. "Memeriksa kampusku? Ada apa dengan kampusku?
Ibunya nampak salah tingkah. "Emm.. ya tentu saja demi keamanan mu."
"Keamananku?" Kiandra berpikir sejenak. Dia memang sesekali melihat kaki tangan ibunya di sekitar kampus. Tetapi sampai dia sebesar ini, tidak ada yang menyakiti keluarganya.
"Memangnya ada yang mengancam kita?" Kiandra khawatir kalau ibunya menyembunyikan sesuatu darinya.
"Hah? Ini tentang alergimu." Mira menjawab singkat. Fokusnya sedang mengirim pesan ke suaminya tentang alergi Kiandra kambuh.
"Jadi, aku alergi apa tepatnya?" Kiandra belum memahami apa hubungannya keamanan dengan alergi yang dialaminya.
"Bagaimana menjelaskannya," Mira diam beberapa saat. Dia nampak memikirkan kata kata yang tepat. "Alergi bau."
"Bau badan maksudnya? Tukang kebun kita bau badannya sangat menyengat dan tidak kambuh alergiku." Kedua alis Kiandra terangkat bingung mendengar penjelasan ibunya.
"Bukan bukan begitu…" Mira menggigit bibir. Dia tidak bisa menemukan alasan yang tepat.
Kiandra mulai tidak sabar menanti jawaban Mira. "Aku tahu banyak orang menganggap aku bodoh. Hanya karena aku dibilang anak orang kaya manja. Tetapi aku tidak sebodoh itu. "
Mira terkejut mendengar hal itu. "Siapa yang mengatakan kamu bodoh? Mama akan beri dia pelajaran "
Kiandra menepis pelukan Mira. "Bukan itu intinya. Mama mengalihkan pembicaraan. Jelaskan, aku alergi apa?"
"Begini… mama tidak bisa menjelaskan. Mungkin.. kita tunggu papamu saja… Kia su-".
Belum selesai Mira bicara, Kiandra mengambil ponsel dan menelpon ayahnya. Dia menanyakan tentang alergi yang dia derita.
"Pa, alergiku kambuh. Dan seperti ini lebih parah yang dulu. Mama bilang aku alergi bau."
Wajah Kiandra yang serius berubah lunak. "Baiklah."
"Apa kata papamu?" Mira bertanya.
"Ayah sudah di jalan mau pulang. Sebentar lagi sampai rumah." Kiandra duduk di kasur dan mulai memainkan ponsel pintar.
Terdengar suara deru mesin memasuki garasi depan. Mira keluar dan menyambut suaminya. Mira menjelaskan singkat percakapannya dengan Kiandra.
"Menemui Panji. Siapa Panji?" Airlangga bertanya pada istrinya.
"Keluarga Laksmana." Mira menjawab singkat. Dia tidak berani menceritakan betapa Kiandra, anak mereka begitu menyukai Panji Laksmana. Reaksi Airlangga pasti tidak bagus.
"Untuk apa berurusan dengan Laksaman. Apa tidak ada laki laki yang lebih baik?" Alisnya langsung bertaut begitu mendengar nama Laksmana disebut.
Mira memberikan alasan."Cuma cinta monyet. Tidak usah dirisaukan."
Kiandra turun dari tangga. Lehernya terbungkus syal.
"Coba papa lihat?"
Kiandra membuka syal yang menutupi lehernya. Ketika syal dilepas, lebih nampak lebih merah daripada sebelumnya.
Sekilas Kiandra melihat matanya ayahnya berkilat. Kiandra memastikan ulang. Mata ayahnya seperti biasa. Tidak ada yang aneh. Barangkali mataku bermasalah, pikir Kiandra.
"Kemarin, kamu pergi ke mana saja?" Tanya Airlangga.
"Aku hanya ke kampus kemarin. Dari kampus langsung pulang."
Airlangga melanjutkan pertanyaannya. "Apakah ada orang baru kamu temui?"
"Tentu saja tidak tahu. Aku tidak mengenal mereka…." Kiandra terdiam. Sekilas dia teringat kejadian pertemuan dengan Aru. Dan kata-kata Aru yang mengejeknya sebagai pemakan bayi.
"Hanya cewek gila." Nada bicara Kiandra berubah ketus. Darahnya naik mengingat kejadian kemarin.
Airlangga langsung menyadari perubahan hati anaknya. "Cewek gila?"
"Cewek jadul gila." Kiandra memberi tekanan pada ucapannya.
"Siapa cewek jadul gila ini?" Perhatian Airlangga langsung terfokus hanya pada putri semata wayangnya.
"Namanya Arunika. Salah satu anak adopsi yayasan mama. Dia yang menabrak peri mati beberapa waktu lalu," jelas Aru.
Mira menimpali. "Bukankah dia pernah ke sini?"
Kiandra mengangguk.
"Tetapi setelah dia pulang, Kiandra tidak apa apa. Kenapa ketika dia kampus Kiandra seperti ini?" Mira bertanya-tanya.
Kiandra mengangkat bahu. Dia menghadap Airlangga. "Memangnya maksud alergi bau itu apa, Pa?"
Airlangga duduk dengan santai. "Beberapa orang memiliki bau khas. Dan orang lainnya ada yang memiliki reaksi berbeda menghadapi bau tersebut.
Pada kasus ini, tubuhmu spesial. Lehermu sangat sensitif terhadap bau yang dikeluarkan orang itu."
"Tukang kebun kita bau. Dan aku baok-baik saja." Kiandra butuh contoh yang jelas agar bisa dipahami.
"Tidak spesifik itu. Bau ini bau yang sangat khas dan hanya orang- orang tertentu yang bisa merasakan. Kamu diantaranya."
"Aku tidak mengerti," Kiandra menatap Airlangga lurus dengan wajah penuh kebingungannya.
Airlangga mengelus kepala anaknya. "Tidak semua harus kamu pahami. Kamu cukup tahu. Itu saja."
Airlangga merangkul pinggang Mira. "Tentang Aru, papa akan cari tahu. Untuk sementara kamu di rumah saja," katanya pada Kiandra.
"Sayang, apa jadwal bertemu dengan wartawan tidak bisa diundur besok saja? Kiandra pasti merasa tak nyaman."
"Oh astaga. Aku lupa. Tentu aku akan mengatur ulang jadwalnya."
"Tidak usah. Aku tidak apa-apa. Aku cukup diam di kamar saja." Kiandra mencium kedua orang tuanya dan berjalan masuk ke kamarnya.
Mira menggamit tangan suaminya menuju ruang lebih privat. "Sayang, apa anak itu adalah manusia Wewe?" Mira menyebut Aru sebagai anak itu. Tentu dia merasa ngeri bila dugaannya benar.
"Sejauh pengamatanku bukan."
"Tapi Kiandra sangat sensitif terhadap bau Wewe. Kalau dia bukan wewe, lantas kenapa leher Kiandra seperti itu."
"Aku hanya memiliki dugaan. Sepertinya anak itu telah bertemu wewe. Baunya kemudian menempel pada tubuhnya."
"Apa dia tidak mandi?" Mira bergidik jijik.
Airlangga merasa bibirnya tersenyum. "Bau itu tidak akan hilang hanya karena air. Kalau air bisa menghilangkan bau Wewe. Kiandra tidak perlu menderita seperti sekarang."
"Aku sangat khawatir. Apakah kita bisa melindungi Kiandra."
"Kita pasti bisa. Selama ini kita telah melindunginya."
"Waktunya semakin dekat. Kiandra harus siap."