"Jangan harap ada bantuan apapun ketila mengikuti akadaemi ApiAbadi. Semuanya fair. Sesuai kemampuan kalian," ujar Bagaskara pada para peserta.
Aru menguap beberapa kali. Semalam dia tidak bisa tidur. Banyak sekali hal yang terjadi kemarin. Badannya terasa lelah dan matanya butuh kekuatan ekstra untuk melek.
Semalam Aru sempat bermimpi tentang Dewanti. Aru menceritakan pada Dewanti bahwa dia bertemu Wewe dan mengalami banyak kejadian tidak enak. Tetapi Dewanti bukannya marah atau mengomel. Dia malah tersenyum. Tersenyum! Aru benar-benar kesal.
Apalagi Dewanti bilang Aru akan menemukan apa yang dicari. Huh! Aru mendengus.
"Justru dia yang kucari!" Aku menggumam. Kakinya yang kesal menendang.
"Aduh!"
Aru terperanjat. Tindakan implusifnya malah mengenai orang di depannya.
Orang itu berbalik menatap wajah Aru. Dia menaikkan dagunya. Aru memberi isyarat minta maaf sambil meringis.
"Kalian bisa istirahat sebentar dan meletakkan barang-barang di kamar yang sudah ditentukan." Bagaskara membuyarkan barisan. Ada puluhan orang yang masuk akademi semester ini. Bagaskara berharap banyak yang bisa lolos dan menjadi pendekar Apiabadi. Jumlah pendekar saat ini kurang bila dibandingkan dengan luas wilayah Kota Sabin.
Aru menenteng tas kain Levis ukuran 5L dari lapangan menuju kamarnya. Lavender. Tas kain ini dia pinjam dari Fatma. Aru ingat wajah khawatir Fatma ketika dia mengatakan akan masuk Akademi ApiAbadi. Fatma tidak bisa melarang. Menjadi pendekar adalah tugas mulia. Berkorban jiwa raga demi keamanan Kota Sabin.
Undang-undang kota Sabin melarang adanya pemaksaan menjadi pendekar. Menjadi pendekar haruslah keinginan pribadi.
Para peserta digiring ke sudut Utara lapangan. Mereka menanti akan dibawa ke kamar. Tetapi Bagaskara malah diam. Aru berjinjit di antara kerumunan. Dia penasaran katanya kami disuruh ke kamar. Tetapi di mana kamarnya?
Bagaskara terlihat melakukan sesuatu. Dia menyatukan kedua telapak tangannya. Kemudian kakinya menginjak bumi. Para peserta bertanya apa yang dia lakukan?
Tiba-tiba Aru merasa tanah yang dipijak bergetar. Getaran itu tidak cukup besar untuk dibilang gempa bumi. Namun cukup membuatnya dan peserta lain kaget.
Sepetak kecil anah di samping Bagaskara Menurun kemudian terbuka. Ketika dilihat lebih dekat, ada tangga turun ke bawah dari sana.
"Nah, silahkan masuk. Satu persatu saja!" Bagaskara mulai mengatur orang. Dan menyuruh mereka masuk.
"Apakah pintu hanya bisa dilakukan dengan cara mengucapkan mantra seperti tadi?" Tanya gadis yang berkuncir kuda.
Bagaskara tertawa. "Tidak. Tombolnya ada di bawah kakiku. Aku melakukan hal tadi supaya terlihat keren!"
Para peserta membuat ekspresi heran. Tidak percaya seorang pelatih memiliki selera humor.
Aru tersenyum. Sepertinya kehidupan di akademi tidak akan terlalu membosankan.
Bagaskara menyuruh mereka hari ini beristirahat. Di dalam kamar terdapat peta gedung ApiAbadi. Mereka diminta membacanya agar tidak tersesat. Dan tidak memasuki area yang dilarang.
"Kalau melanggar?" Tanya seorang peserta.
"Kau mati!" Bagaskara memasang wajah serius. "Area terlarang dipasangi mantra khusus. Hanya para pendekar yang bisa masuk. Kalian? Belum menjadi pendekar."
Ancaman Bagaskara membuat para tercekat. Mereka memutuskan untuk bertahan hidup sampai menjadi pendekar Apiabadi. Bila gagal di akademi ini, mereka tidak mendapatkan uang sepeser pun.
Para peserta memasuki kamar masing masing. Setiap kamar dinamakan dengan jenis bunga. Mawar, melati, bugenvil dan lainnya.
"Seperti rumah sakit," gumam Aru.
"Memang. Kamar yang kita gunakan juga akan menjadi kamar perawatan, bila kita terluka," jelas Bagaskara sudah berdiri di belakang Aru.
Aru langsung berbalik. Ketika menyadari bahwa yang di belakangnya adalah Bagaskara, maka dia langsung membungkukkan badan.
"Namamu Aru, benar?" Baskara kini sudah berdiri di depan Lavender. Kamar Aru.
"Benar. Apa ada sesuatu?" Aru berharap Bagaskara tidak bicara banyak. Yang dibutuhkan Aru saat ini adalah tidur.
"Apa hubunganmu dengan Panji?"
"Tidak ada! Dia menyelamatkan kami ketika bertemu We-" Aru mundur beberapa langkah ketika Bagaskara mengendusnya. "Apaan sih?"
Bagaskara menggosok bawah hidungnya. "Bau Wewe masih menempel erat padamu," ujar Baskara.
Aru langsung mengendus tangan dan ketiaknya. Dia tidak mencium apapun. "Aku tidak mencium apa-apa. Bercanda ya?"
"Yah, cuma orang pilihan yang bisa." Bagaskara tersenyum sinis dan beranjak pergi.
Aru mengangkat bahu. Mulai kejadian pencet tombol tadi, Aru menganggap Bagaskara adalah orang aneh. Dia pun masuk ke kamar merebahkan badan.
"Sebentar lagi, kita akan bertemu," ujar Dewanti. Dia menyunggingkan senyum manis.
Aru membuka mata. Dia bermimpi tentang Dewanti lagi. "Semoga saja pertanda baik," harapnya.
Entah sudah berapa lama dia tertidur. Badannya terasa lebih segar. Aru membongkar tasnya dan memasukkan baju-baju di lemari. Kamar itu cukup besar. Dengan ukuran 3x4, ada kamar mandi dalam lengkap dengan dipan dan lemari. Untuk makan, semua orang bisa menyantap di cafetaria. Aru ingat cafetaria juga berada di bawah tanah. Di bawah tanah pendopo. Sedangkan asrama peserta ada di bawah alun-alun.
Di atas meja, terdapat satu file berisikan denah ApiAbadi dan jadwal para peserta akademi.
Selama dua bulan penuh mereka akan ditempa secara fisik. Kegiatannya berupa lari keliling alun-alun, senam dan lainnya. Setelah semua terlewati akan ada tes bebas Wewe dan tes pengambilan senjata.
Di dalam file itu juga ada hal yang menjelaskan mantra anti Wewe. Mantra Wewe ditanamkan di tempat tertentu oleh para petinggi Apiabadi. Salah satunya bus hitam yang pernah dinaiki Aru.
Aru mengobrak Abrik tas selempangnya. Ditemukan buku yang dicarinya. Wewe dan irama kentongan. Aru membaca sebentar.
Dalam buku itu bercerita bahwa Wewe suka menculik anak kecil. Kemudian untuk menemukan anak kecil itu, para warga harus berkumpul dan membunyikan kentongan.
Namun ketika hutan perawan yang sudah mulai habis. Manusia mulai mengadakan perjanjian dengan Wewe untuk kekayaan dan keturunan. Maka target Wewe pun berubah menjadi bayi dalam kandungan yang menjadi korban.
Buku ini tidak memiliki sumber akurat layaknya buku resmi terbitan pemerintah. Buku ini lebih mirip fiksi.
Selama kurang lebih satu bulan para peserta disuruh untuk melatih fisiknya. Dari tiga puluh orang sudah gugur sepuluh. Sisanya masih berjuang untuk latihan berikutnya. Bagaskara mempercepat jadwal latihan mereka. Keadaan ini mendesak lantaran ada beberapa pendekatan ApiAbadi yang gugur saat melaksanakan tugas.
Untuk selanjutnya mereka akan dites satu per satu untuk bebas Wewe. Tes ini mulanya hanya ditujukan pada perempuan. Tetapi berkembangnya zaman, laki-laki juga diwajibkan ikut tes ini.
Tes bebas Wewe di mana satu per satu peserta akan dipasangkan dengan ibu hamil. Bila dalam waktu tiga hari, peserta ada yang menyerang ibu hamil maka dinyatakan gugur. Bahkan akan dimasukkan dalam jeruji untuk diperiksa lebih lanjut. Apakah mereka manusia Wewe atau bukan.
"Apa itu manusia Wewe? Aku tidak pernah membaca hal itu di buku sejarah?" Tanya Aru pada Bagaskara.
"Belum ditulis secara resmi karena masih dilakukan uji penelitian. Manusia Wewe adalah manusia yang memiliki ikatan perjanjian dengan Wewe. Justru mereka sangat berbahaya karena terkadang mereka tidak sadar bahwa setiap malam mereka menjadi Wewe."
"Aku pernah dituduh sebagai manusia Wewe," ungkap Aru.
"Menuduh seseorang adalah manusia Wewe adalah tuduhan yang serius. Apakah tanpa bukti, mereka akan dipotong salah satu anggota badannya bila ketahuan itu hanyalah tuduhan palsu."
Penjelasan Baskara membuat semua bergidik ngerti. Aru teringat dengan kakak tingkat yang menuduhnya. Bagaimana nasibnya. Tetapi Aru tidak kasihan padanya. Melihat apa yang dilakukan pada Rengganis. Orang itu harusnya mendapat hukuman yang lebih.
"Bagaimana Aru bisa Akademi kalau dia tertuduh sebagai manusia Wewe?" Tanya yang lain.
Aru terdiam. Dia juga ingin tahu jawaban apa yang diberikan Bagaskara.
"Karena ada saksinya. Dan saksinya adalah salah satu pendekar Apiabadi. Tetapi tetap saja dia harus mengikuti tes bebas Wewe ini." Bagaskara kemudian menjelaskan mekanisme tes bebas Wewe. Apa yang harus dilakukan mereka ketika dalam tes.
Aru mengucapkan terima kasih pada Panji Laksmana dalam hati. Kalau bukan karena jaminannya, saat ini Aru hanya berani meringkuk di dalam kamarnya.
Bagaskara memberikan kertas. Di situ tertulis jadwal mereka mengikuti tes dan juga nama ibu hamil yang harus mereka jaga.
Aru mendapatkan nama yang dia kenal. Rengganis. Bagaimana kabarnya?
"Kalian harus tahu, tempat yang kalian datangi nanti bukan tempat biasa. Mantra perlindungan di mana - mana. Selain itu kalian dilarang membocorkan rahasia apapun tentang indentitas ibu hamil ini pada warga biasa. Baiklah, selamat bertugas."
Sesuai instruksi Bagaskara bus hitam itu datang menjemput para peserta sesuai jadwal. Aru mendapatkan giliran terakhir. Hal ini memang disengaja. Karena bila Aru adalah manusia Wewe, maka tidak akan menggangu tes peserta lain.