Hukuman

1418 Kata
Aru terkejut melihat Rengganis. Perutnya sudah mulai kelihatan besar. Wajahnya berseri seri. Meskipun terlihat kantung hutan di bawah matanya. Mereka berpelukan.  "Hebat! Kamu jadi pendekar Apiabadi sekarang!" Puji Rengganis.  "Belum. Belum lulus tes. Kamu nggak takut sama para peserta? "  "Kenapa? Apalagi pesertanya kan kamu." "Bisa saja aku manusia Wewe." "Kalau kamu manusia Wewe, saat itu aku pasti sudah mati."  Aru berharap dia dapat lulus. Dan membasmi para Wewe sialan itu. Dia tidak ingin menjadi mahluk menjijikan yang mengoyak-koyak perut perempuan dan memangsa bayi.  Membayangkan bayi merah yang terselubung ketuban itu menjadi mangsa para Wewe, membuat perut Aru mual. Dia harus mengenyahkan pikiran itu. Kalau tidak, dia harus berbaring sepanjang hari. Mereka kemudian membahas kegiatan bersama apa yang menyenangkan. Tiba tiba Rengganis menyebut nama Panji.  "Aku berhutang banyak dengan Panji. Kamu pasti sering bertemu dengannya. Panji hanya sekali menengokku di sini. Itupun. Mengabarkan tentang si b*****h itu." Rengganis meminta duduk di taman. Kaki dan punggungnya sudah minta istirahat.  Aru tersenyum kecut. Selama sebulan di akademi, Tak sekalipun dia bertemu dengan Panji. Lelaki tak punya hati itu pasti punya kesibukan lain.  "Dia orang sibuk. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Ah iya… bagaimana nasib mantan pacarmu itu?" Aru berharap lelaki pengecut dihukum dengan sangat berat.  "Dia membujuk keluargaku untuk menerimanya kembali. Katanya dia khilaf." Aru langsung berdiri. "Apa? Tidak tahu malu rupanya."  Rengganis menggeret tangan Aru untuk duduk kembali. "Aku menolak tegas. Apalagi dia membuat kesalahan besar dengan menuduhmu Wewe. Dia butuh simpati untuk meringankan hukuman."  "Aku heran. Bagaimana bisa kamu jatuh cinta padanya?" Aru geleng-geleng kepala.  "Entahlah. Dulu dia terlihat baik hati dan perhatian. Mungkin aku terlalu cinta. Jadi aku dibutakan olehnya." Aru cuma bisa menepuk pundak Rengganis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Selain menyiapkan telinga untuk mendengar.  "Enak ya, Partner Mbak Rengganis perempuan," ujar seorang ibu-ibu. Perutnya sangat besar. Bisa -bisa orang menganggapnya kembar.  Rengganis cuma tersenyum. Dia memperkenalkan Aru pada ibu itu. "Kalau aku pasti senang, kalau partnerku lelaki. Siapa tahu bisa ditangkap dan dibawa pulang."  Aru dan ibu itu tertawa mendengar lelucon Rengganis. "Mbak Rengganis masih muda dan cantik sih. Pasti bisa mendapatkan lelaki yang baik." Ibu itu pamit pergi.  Mata Rengganis menerawang jauh. "Siapa yang mau menerima perempuan hamil di luar nikah. Bahkan keluargaku saja enggan. Mereka menganggap aku mempermalukan keluarga. Mereka tidak mau menerimaku lagi. Ketika mereka datang kemari, aku merasa senang. Tetapi kau tahu apa dikatakan mereka?"  Rengganis mengepalkan tangan. Giginya bergemelutuk. Matanya berkaca-kaca. Dia bertahan sekuat tenaga agar tidak menangis. Dia sudah lelah menangis. Dan rasa amarah itu malah memenuhi dadanya.  "Kata mereka, sebaiknya aku menikah dengan b******n itu. Agar bayiku tidak dicap anak haram." Rengganis menghela nafas. "Aku menolaknya mentah-mentah. Mereka malah menamparku. Dan mencaci maki aku. Matanya aku anak tak tahu diri. Dan entah apa lagi."  Aru tidak menyangka begitu rumit permasalahan Rengganis. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka memutuskan untuk kembali ke gedung, sebab matahari sudah condong ke barat.  Ketika sampai di gedung, mereka melihat seorang laki laki berkepanjangan satu dengan wajah ditekuk. Tangannya terlipat ke depan d**a. Seolah menunggu seseorang dengan waktu yang lama.  Lelaki itu menengok dan melihat kedatangan Aru dan Rengganis. "Apa yang kalian lakukan di taman sampai sesore ini? Pesta minum teh?"  Aru membuang nafas. Laki-laki ini tidak berubah rupanya. Tetap ketus dan tidak punya hati. Tidak lihat apa mata Rengganis yang sembab. Setidaknya berikan sedikit kata-kata manis. Bukannya malah membentak.  "Aku ingin bicara dengan kalian berdua."  Panji menunjuk satu ruangan. Mereka memasuki ruangan itu. Ruangan biasa yang terdiri dari beberapa meja dan kursi. Aru yakin kalau Panji menyuruh orang -orang yang ada di sini ini untuk mengosongkan ruangan.  Panji menatap Aru. "Bagaimana latihanmu di akademi?"  "Yah seperti itu."  "Bagus. Aku tidak berharap kau akan mengeluh."  Aru memberikan ekspresi mengejek. Tetapi begitu Panji menatap dirinya lagi. Dia membuat wajah biasa dan tenang.  "Besok kau akan mengadiri pengadilan atas kasus tuduhan Wewe padamu. Kau hadir di sana sebagai saksi. Ceritakan saja kejadian yang sebenarnya."  "Baiklah. Terus apa yang terjadi setelah itu? Si b*****h itu akan dipenjara?"  Mata Panji menatap dokumen - dokumen di meja. Dia teruz membolak balikan sambil mencatat sesuatu di sana. "Kertas sialan ini tidak ada habisnya," desisnya. "Tidak segampang itu. Keputusan ada di tangan hakim. Tetapi yah, aku yakin kau akan menang kasus ini. Karena aku saksinya."  Panji mengatakan hal itu dengan tenang dan penuh percaya diri. Aru bertanya-tanya apakah orang ini pernah merasa malu?  Pertanyaan selanjutnya beralih pada Rengganis. "Aku ingin tahu, kau ada di pihak mana? Ali atau orang ini?" Ketika mengatakan orang ini, mata Panji menunjuk Aru.  "Aku ingin Ali sibedebah itu dihukum. Kalau perlu dikebiri sekalian." "Astaga. Kau bisa menjadi kejam juga rupanya." Panji pura pura kaget. Padahal dia lega, Rengganis masih punya akal sehat. Panji sudah mendengar kabar bahwa Ali beberapa kali mengunjungi keluarga Rengganis. Panji yakin, Ali membujuk keluarga Rengganis untuk membelanya. Dan dia berharap Rengganis lemah terhadap permintaan keluargany. Tetapi seperti tidak. Panji melihat sinar membara  dari mata Rengganis. Sangat berbeda saat pertama kali bertemu dulu. Kali ini perempuan ini lebih kuat. Mungkin ketika menyadari seorang ibu, perempuan bisa berubah sedramatis ini. Mereka sanggup melakukan apapun untuk melindungi anaknya. Seperti ibunya.  Panji langsung menghalau kenangan itu. Sekarang ini dia sedang bekerja. Tidak boleh mencampuri urusan pribadi dengan. Pekerjaan.  Keesokan harinya, Aru dan Rengganis ditemani Panji mengadiri sidang. Mereka siap untuk memberikan kebenaran. Aru untuk membela dirinya. Dan Rengganis untuk anaknya. Keduanya tidak mau diam saja dikalahkan oleh keadaan.  Rengganis tahu. Sangat tahu, setelah dia hadir di sidang ini. Dan dia lebih memilih untuk membela Aru. Dia tahu, keluarganya akan membuangnya. Karena dia sudah mencemari nama baik mereka. Rengganis tidak peduli. Dia tidak mau anaknya memiliki ayah pengecut dan melimpahkan kesalahan pada orang lain. Hidupnya akan lebih sulit tanpa siapapun yang mendukungnya.  Aru menggenggam tangan Rengganis. Aru seperti memiliki kakak untuk dilindungi. Mereka tersenyum dan masuk ke ruang sidang. Mereka tahu mereka akan menang.  Lelaki itu dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Ditambah dengan potong satu tangan. Pengadilan berharap orang tersebut menyadari kesalahannya. Sekaligus peringatan buat orang lain untuk memberikan tuduhan palsu. Apalagi terkait Wewe. Mereka harus siap dengan risiko yang ditanggung bila menuduh seseorang adalah Wewe tanpa bukti yang cukup.  Awalnya Aru kaget, di kota Sabin, bisa ada hukuman potong anggota tubuh. Namun bukan berarti dia tidak menghormati.  Aru menatap Ali dengan sorot kasihan. Aru khawatir, raut wajah Ali tidak menampakkan penyesalan. Apakah lelaki itu akan datang kembali untuk balas dendam?  "Ah pikir saja nanti."  Dalam perjalanan pulang, Panji memberi kabar kalau Aru lolos tes Wewe. Dan mulai besok dia akan bekerja sebagai asisten pendekar Apiabadi.  "Hanya asisten?" Aru menghempaskan badannya ke bangku bus.  "Jalanmu menuju pendekar masih panjang. Aku sarankan tidak usah mengeluh."  "Fighting!" Rengganis memberikan semangat.  "Apa tugas asisten? Dan aku bekerja untuk siapa?"  "Nasibmu memang selalu beruntung ya. Selamat dari Wewe. Bebas tuduhan manusia Wewe. Lolos tes fisik. Dan sekarang, kau harus bekerja untukku." Panji mengatakan dengan nada sinis.  Aru memonyongkan bibirnya. "Jadi aku harus bekerja untukmu? Apa ApiAbadi kekurangan pendekar?" Dia balas menyindir.  "Aku salah satu pendekar terkuat dalam jajaran ApiAbadi. Harusnya kau bersyukur. Kau pasti cuma jadi tukang bawa alat musikku saja."  Aru ingin sekali menjitak kepala lelaki ini. Dia belum pernah bertemu dengan lelaki super narsis sekaligus mengenalkan.  Tetapi kalau memang Panji kuat, Aru tidak keberatan. Dia akan belajar banyak dari Panji. Dan suatu saat akan mengalahkan Panji. Aru tidak sabar ingin melihat wajah malu si lelaki narsis ini.  "Kau harus ingat. Aku tidak butuh orang yang menyusahkan. Kalau kau tidak mau menuruti perintahku. Aku bisa mencari penggantimu kapan saja."  Aru pura-pura tidak mendengarkan ancaman Panji. Dia lebih memilih membuka korden jendela bus. Betapa kagetnya bahwa hari sudah gelap. Apakah mereka akan bertemu Wewe kembali?  *Panji, ini sudah malam. Kalau ada Wewe gimana?"  Panji mendengus keras. "Kau ini bodoh ya? Kita ada di dalam bus Cosmos. Tidak ada Wewe yang mendekati bus."  Aru terpana. Bus ini dilindungi mantra anti Wewe. "Maaf. Aku lupa." Panji tidak percaya. Dia lebih memilih memaki Aru. "Bodoh juga ada batasnya."  Mulai detik itu, Aru membuang sisa rasa hormat pada Panji. Dia marah dimaki seperti itu. Apakah Panji tidak bisa mengatakan dengan lebih kalem. Tanpa harus memakinya di tempat umum seperti ini. Doa merasa semua orang di bus ini langsung memperhatikannya. Aru merasa malu.  Sedangkan Rengganis memilih untuk tidur. Dia tidak merasa perlu ikut campur urusan Aru dan Panji. Saat ini mereka buka lah orang biasa. Mereka adalah aset utama ApiAbadi. Tentu tidak bijak, bila orang biasa macam dirinya mau ikut campur.  "Halah." Aru menghela nafas panjang. Dia merasa hidupnya akan berat setelah ini. Terlebih lagi harus sering berurusan dengan Panji. Manusia paling menyenangkan sedunia. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN