Perburuan Dimulai

1539 Kata
Jangan lupa besok sore jam empat, kita ketemu di depan kampus. Operasi kita di sekitar sana. Note : ganti segera hape jadulmu.  Huh! Aru kesal. Bahkan lewat handphone saja, Panji selalu memberi perintah. Meskipun demikian, sebenarnya Aru mengerti. Kemarin Panji akan memberikan lokasi yang bagi lewat ponsel pintar. Jadi bila ada Wewe, mereka langsung menuju tempat itu. Namun ternyata handphone Aru masih jadul sehingga lokasi pertemuan harus dilakukan secara manual.  Aru menimbang-nimbang apakah dia benar-benar membutuhkan ponsel pintar atau tidak. Seberapa banyak fitur dalam ponsel yang akan dia gunakan. Selama ini dia sering memperhatikan orang-orang sibuk dengan ponsel pintar mereka. Menunggu di halte, di perpustakaan, di bus, bahkan ketika berjalan, mata mereka tidak lepas dari ponsel.  Ada satu fitur yang membuat Aru ingin mencoba memakai ponsel pintar. Yaitu kamera. Dengan kamera dia bisa mengabadikan bangunan bangunan sejarah yang pernah dia kunjungi. Dia juga pasti memiliki bukti kenangan bersama sahabatnya Dewanti. Tetapi kesempatan seperti itu kapan bisa terwujud, bila dia masih ada di kota Sabin. Terlebih dia sekarang memiliki tanggung jawab terhadap kota ini.  Sesuai waktu yang ditentukan, Aru sudah berada di halte depan kampus Malawapati. Dia ingat keluar dari bus karena didorong si koki dan malah menabrak peti mati. Sampai saat ini Aru belum mencari tahu, siapa yang meninggal itu.  "Bisa tepat waktu juga kau."  Aru melompat kaget. Dia sama sekali tidak menyangka Panji akan ada di belakangnya seperti itu.  "Hei. Bisa tidak nggak ngagetin orang!" bentak Aru.  Panji tidak bereaksi apapun. Bahkan merasa bersalah pun tidak. "Ayo! Kita makan dulu."  Aru memberikan kepalan tangan ketika Panji sudah berbalik dan berjalan menjauhinya. Huh! Aru ingin memukul Panji meski cuma sekali. Tetapi dia sadar, Panji akan segera memiting tangannya kalau berani menyentuhnya.  Mereka makan di sebuah warung di pinggir jalan. Aru biasa Warung penyetan yang biasanya buka sampai tengah malam. Tetapi warung ini malah bersiap untuk tutup. Aru masih harus membiasakan diri terhadap situasi di Kota Sabin. Kota sepi saat malam.  Aru tidak menyangka Panji tidak merasa terganggu dengan makanan pinggir jalan. Keluarga bangsawan yang merakyat. Aru terkikik. Dia berhenti tertawa ketika Panji menatapnya aneh. "Makanannya enak." Aru memberikan alasan. Dia langsung melahap makanan yang sudah tersaji itu, menyisakan tulang belulang di piring.  Setelah selesai makan, Panji mengajak Aru kembali ke halte. Sampai di halte, Panji membuka satu tempat duduk di sana.  "Hei, kau mau apa? Pertanyaan Aru terhenti ketika menyadari ada banyak tombol di bawah bangku halte. "Apaan ini?"  Panji tidak menjawab, dia memencet beberapa tombol. Lantai tempat Aru berdiri tiba-tiba mulai bergeser. Aru segera lompat dan menghindarinya. Lantai yang bergeser itu membuka sebuah ruangan bawah tanah. Aru benar-benar harus mulai membiasakan dengan tangga bawah tanah.  "Ayo!" Panji langsung turun memasuki ruangan bawah tanah. Disusul oleh Aru.  "Bagaimana ada ruangan bawah tanah di halte?" Tanya Aru. Dia sudah tidak sabar mengetahui alasannya. Di dalam buku yang dia baca, tidak satupun yang membahas tentang ruangan bawah tanah halte bus.  "Kau pikir, bagaimana caranya para pendekar selalu selamat dari Wewe. Tidak selamanya kita akan dalam posisi prima. Tentu saja harus ada tempat kabur."  Aru berooh ria. Ternyata ruangan ini hanya diperuntukkan oleh para pendekar Apiabadi. Tentu saja harus rahasia.  Mereka menunggu sampai langit mulai gelap untuk keluar. Ada lubang cahaya di ruangan itu sebagai tandanya.  Panji membuka sesuatu dari tasnya ranselnya. Sebuah kotak diserahkan pada Aru. "Nih, cewek jadul. Ganti ponselmu dengan ini."  "Eh tidak usah. Handphoneku masih bisa dipakai." Aru berusaha menolak. Buka dia tidak ingin ponsel pintar. Tetapi sebaiknya dia membeli sendiri barang itu.  "Ini termasuk alatmu bekerja. Bukan hadiah. Cepat ambil!" Kata Panji dengan nada memerintah. Dengan berat hati, Aru menerima. Namun perasaan itu hanya berlangsung sebentar. Ketika dia mulai mempelajari ponsel pintar, matanya fokus di sana. Ada banyak hal-hal baru yang harus dipelajari. Ponsel ini tidak membutuhkan tombol seluruh layar bisa dijadikan pengganti tombol. Aru merasa dirinya memang pantas disebut cewek jadul.  Aru merasa ada tepukan di bahunya. Ketika berbalik dia melihat Panji menggerakkan kepalanya mengisyaratkan untuk pergi. Panji sudah menggotong kotak biolanya. Kali ini tampilannya bukan jas hitam, dia tampil mengenakan kemeja biru laut polos. Kedua lengan kemeja digulung, arloji hitamnya di tangan kirinya terlihat.  "Mau manggung di mana, Kak?" Sindir Aru.  "Lihat aja! Jangan jatuh cinta padaku!" Balas Panji.  Aru menjulurkan lidahnya.  Mereka naik tangga ke atas. Langit gelap hanya diterangi lampu jalan dan gedung. Benar-benar sunyi tanpa manusia. Aru merasakan seluruh kulitnya meremang. Jantungnya berdebar keras. Perburuan Wewe dimulai. Panji berjalan dengan tubuh tegap. Aru bertanya-tanya apakah tidak berat berjalan menggotong alat. Tapi pertanyaan itu tidak perlu diucapkan. Melihat wajah serius Panji, Aru yakin dia diumpat oleh Panji.  Panji bergerak tanpa ragu. Seolah tahu kemana arahnya. Mereka berbelok di sebuah gang perumahan. Tak ada satupun pintu rumah yang terbuka. Aru merasa saat ini sudah jam 12 malam, tetapi ketika melihat jam di pos ronda, baru jam 8 malam.  Aru berhenti berjalan saat menyadari Panji meletakkan kotak biola dan membukanya. Dia mengeluarkan biola dari wadahnya kemudian memainkan sebuah lagu. Musik ini asing di telinga Aru, tetapi Aru tetap menikmatinya.  Satu, dua, makhluk cantik mendekat. Mereka adalah wujud palsu wewe. Aru bersiap, dia pura-pura membersihkan lutut padahal mengambil nafas panjang. Begitu musik Panji berhenti. Aru langsung menyerang satu Wewe. Wewe satunya ditangani Panji.  Aru tidak memiliki senjata apapun. Dia bertarung dengan tangan kosong. Aru memberikan tinju pada wajah Wewe. Wajah cantik itu langsung menghilang berganti dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya yang hitam menatap Aru dengan sorot marah. Kukunya yang hitam menggores pipi Aru. Aru belum sempat mengelak dari serangan tiba-tiba itu. Dia merasakan perih, tapi diabaikannya.  Aru mundur kemudian maju untuk menendang Wewe. Wewe itu menghindari dengan terbang. Aru terpeleset langsung jatuh tersungkur.  Di sisi lain Panji memutar bow. Bow itu langsung berubah menjadi pedang. Pedang itu dilemparkan ke wewe, menebas kepalanya. Tubuh Wewe itu terbakar dan langsung lenyap seketika.  Panji menengok Aru. Dia berdecak melihat asistennya mencium tanah dan kesulitan untuk bangun. Sedangkan di belakangnya Wewe sudah bersiap menyerang Aru. Panji memutar pedang, dan wujudnya kembali menjadi bow. Dia menggesek senar biola lagi. Wewe itu mengurungkan serangannya, dia malah menari mengikuti alunan musik.  Panji berjalan mundur. Mengambil jarak yang cukup untuk melancarkan serangan. Mulutnya mengucapkan sebuah mantra. Biolanya perlahan bercahaya. Cahaya itu menyelimuti biola, kemudian cahaya itu berubah menjadi panah-panah yang menyerang Wewe.  Aru merasakan badannya sakit, pipinya perih. Dia berusaha bangun,tapi kakinya sakit menolak untuk bergerak. Jangan terkilir, jangan terkilir! Aru berdoa dalam hati. Tetapi kakinya sangat sakit meskipun hanya digerakkan sedikit. Aru menyerah. Dia menghela nafas panjang. Berharap Panji menyelesaikan perburuan ini.  Wewe yang terserah panah langsung terbakar dan lenyap. Panji memasukkan biola ke dalam kotak. Baru membantu Aru berdiri.  "Pertunjukan yang payah sekali!" Kata Panji pedas. Aru hanya diam saja, tidak berani membalas.  Panji menghubungi markas meminta jemputan. Aru tidak mungkin melanjutkan perburuan hari ini.  Aru merasa dirinya payah. Dia merutuki kesalahannya. Dia dijemput bus Cosmos. Aru ditemani oleh Bagaskara. Bagaskara menepuk kepala Aru. "Tidak apa. Kamu beruntung tidak jadi korban malam ini. Segeralah sembuh dan habisi para Wewe," ujarnya menenangkan Aru.  "Seharusnya kuda-kudaku lebih kuat sehingga bisa menahan tubuhku. Tapi ah sial. Benar benar sial!"  Bagaskara tertawa. Aru merengut. "Kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu!" "Kamu pikir latihan satu bulan fisik itu cukup? Latihan sebenarnya adalah ketika kamu meghadapi Wewe secara langsung. Seperti tadi."  Aru terdiam. "Panji pasti kecewa." "Biarkan saja bangsawan itu. Tubuh dan kekuatan mereka istimewa. Beda dengan rakyat biasa macam kita." Bagaskara memeriksa kaki Aru, membalutnya dengan kain.  Aru merasakan tangan Bagaskara hangat, kemudian panas. Matanya melebar ketika tangan Bagaskara mengeluarkan api.  "Api penyembuhan. Tenanglah."  Aru merasa lega. Baru saja dia hendak berteriak minta tolong. Ternyata Bagaskara memiliki kemampuan istimewa, dia bisa menyembuhkan. Karena itu dia dipilih sebagai kepala asrama. Pantas saja, batin Aru.  Bagaskara menyelesaikan tugasnya. "Kakimu tidak patah. Cuma keseleo. Besok sembuh."  "Hah? Secepat itu?" Aru tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.  "Tentu saja. Besok kau berurusan dengan Panji dan Wewe lagi. Selamat!"  "Tidak lucu." Aru pura pura cemberut. "Terima kasih banyak Kak," ucap Aru lirih.  "Sudah tugasku." Bagaskara berjalan ke bagian belakang bus. Aru menengok membuntuti Bagaskara. Bagian belakang bus ini terdapat dapur. Aru teringat dengan bus yang membawanya ke Kota Sabin. Apakah ini bus yang sama?  "Berapa jumlah armada bus Cosmos, Kak?"  "Hmm berapa ya, ada ratusan mungkin." Aru terperanjat. Dengan jumlah itu bagaimana mungkin dia bisa mencari bus sialan itu. Mana semua warnanya sama, hitam.  "Kenapa? Kau mencari sesuatu?"  Aru menoleh kepada Bagaskara dengan cepat. "Bisa baca pikiran ya?"  "Tidak. Hanya mungkin kau butuh informasi tentang bus ini. Bus ini dikelola oleh keluarga Laksmana. Jadi dia pasti tahu banyak daripada aku."  "Panji lagi. Apakah tidak ada orang lain selain Panji dari keluarga Laksmana?"  "Banyak. Di asramamu juga ada. Tetapi mereka tidak suka kalau identitasnya diketahui." "Kenapa?"  "Karena mereka belum diakui oleh keluarga besar. Jadi sangat tabu bila mereka membawa nama Laksmana. Yah mengingat reputasi buruk Laksamana. Keluarga besar tentu memilih bibit yang berguna. "Aku tidak mengerti." Bagaskara mengacak-acak rambut Aru. "Kau tahu kau terkenal dengan sebutan apa?"  Aru menepis tangan Bagaskara. "Memang aku peduli?"  "Cewek jadul dari gua."  "Hah?" Aru melotot. Tambah lagi sebutan aneh tentang dirinya. Sudah jadul, jaman dulu. Sekarang ditambah gua. Aru mengusap wajahnya. Ternyata orang orang Apiabadi suka bergosip. Kenyataan yang lucu menurutnya.  "Kuberi saran ya, jangan jatuh cinta sama Panji. Kau rugi! Laksmana terkenal dengan julukan penebar benih."  "Menebar benih apa?" Tanya Aru polos.  "Benih bayi," kata Bagaskara tersenyum sinis. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN