Bagaskara mengantar Aru sampai depan kamar. Dia memastikan Aru bisa berjalan sendiri. Dia juga khawatir bila Aru linglung lantaran memikirkan Panji dan citra keluarga Laksmana.
Buktinya setelah gadis itu mendengarnya, dia langsung diam seribu bahasa. Pikirannya seolah tidak ada di tubuhnya. Dan Bagaskara enggan mengganggunya. Dia berharap Aru bisa menerima kabar itu dengan baik.
Bagaskara kembali ke tempatnya setelah Aru masuk ke kamarnya. Begitu rebah di kasur, dia langsung membuka ponsel pintarnya dan mencari kabar tentang keluarga Panji itu.
Banyak forum bebas yang membahas hal itu. Bahkan identitas para perempuannya pun ada. Pikiran Aru melayang. Dia tidak menyangka ada borok yang disembunyikan dari sejarah resmi Kota Sabin.
"Barangkali ada kebenaran yang tidak tertulis dari kota ini. Terutama terkait dua keluarga bangsawan. Laksamana dan Kiandra," gumam Aru.
Pikirannya langsung buyar ketika mendapat pesan singkat dari Panji. Benar singkat dan tentu dengan nada perintah.
Katanya sudah sembuh. Besok ketemu di tempat tadi.
"Begitu saja?" Aru melempar hapenya di nakas samping tempat tidur.
Benar kata Bagaskara, tidak ada gunanya menyukai orang seperti Panji. Buang-buang waktu. Aru menguap beberapa kali dan memutuskan untuk tidur. Dia memiliki rencana nakal untuk bolos kerja. Dan membiarkan Panji memburu Wewe sendirian. Tetapi dia urungkan niatnya mengingat para pendekar Apiabadi ternyata suka bergosip. Dia memutuskan untuk menyelamatkan Kota Sabin.
Namun niat baiknya ternyata tidak mendapatkan apresiasi yang pantas dari Panji. Panji bahkan tidak menanyakan apakah dia sudah bisa bekerja kembali atau bukan. Memang kakinya tidak sakit saat digunakan untuk berjalan. Tetapi untuk bertarung? Belum tentu. Aru terlalu takut untuk menyatakan keberatan.
Perburuan dimulai!
Kali ini area operasi Aru dan Panji ada di dekat gedung Perpustakaan. Namun Panji malah masuk ke area persawahan di belakang gedung. Katanya lebih mudah bertarung di area terbuka.
Aru menggerutu melihat medan yang akan dilaluinya. Tanah berlumpur pasti akan menempel semua di bajunya. Aru heran dengan Panji. Kalau untuk bermain lumpur, untuk apa dia memakai setelan baju yang bagus? Apa jangan-jangan semua bajunya memang bagus? Beda dengan Aru. Dia mengenakan celana olahraga dan kaos oblong saja. Setelan kebanggaan miliknya.
Panji mengenakan kemeja hitam dan celana hitam. Aru berharap setelan itu bukan baju yang akan digunakan akan untuk menghadiri pemakaman Aru. Aru menggeleng. Mengetahui pikiran negatifnya tentang Panji. Dia harus fokus untuk membasmi Wewe.
Panji sudah memulai pertunjukan. Dia mengeluarkan biola dari kotak dan menggeseknya. Kali ini musik yang dipilih Panji untuk memanggil para Wewe adalah…
"How to be brave…" Aru bergumam. Dia tahu lagu itu meskipun tidak tahu judul lagu ya.
Berkat lagu dari Panji, ada lima Wewe yang datang. Mereka menari -nari, meliuk-liuk badannya dengan riang. Saat mendengar musik, mereka cenderung lengah terhadap keberadaan lawan.
Sehingga hal ini dimanfaatkan Aru untuk menyerang.
Aru menetapkan satu incarannya, memberikan kode pada Panji. Setelah mendapat persetujuan dari Panji melalui isyarat anggukan kepala.
"One step closer…"
Lagu masuk reff bersamaan dengan tendangan Aru jatuh di leher lawan. Musik bernyanyi di dalam kepala Aru. Setiap serangan Aru merupakan menyesuaikan irama.
Pesss! Suara seperti balon kempes. Wewe nomer satu kehilangan kepalanya. Tubuhnya mulai terbakar dan hilang.
Tetapi baru satu tendangan, kakiku Aru mulai gemetar. Apalagi sawah ini ternyata tidak mulus. Tanah yang habis dibajak dan siap untuk ditanami.
Tentang kakinya, meski sudah dinyatakan sembuh, masih belum siap untuk digunakan secara maksimal. Kakinya gemetar, bahkan untuk berjalan. Aru berjalan dengan mengangkat kaki setinggi lutut untuk melewati tanah becek.
Wewe nomer dua menyadari satu kawannya hilang, langsung memburu Aru. Aru memberontak, dengan melemparkan tinju secara acak. Kakinya gemetar membuat gerakannya terbatas. Saat Wewe itu hendak menjangkau Aru, kilatan cahaya menebas lehernya.
Panji sudah mengambil alih pertarungan. "Mundur kau!" Teriak Panji pada Aru.
Aru melangkah mundur dengan lambat. Kakinya tidak bisa diajak kerjasama. Dia malah menjadi incaran para Wewe. Dia dikepung tiga Wewe. Panji mengubah mode. Dia menyerang lagi. Kali ini dengan mantra musik.
Dia menggesekkan bow dengan irama yang panjang. Keluarlah panah-panah dari sana. Mereka terbang layaknya elang mencari mangsa. Ketika target sudah ditetapkan, panah itu melesat dengan cepat dan menukik langsung pada Wewe nomer tiga dan empat. Dua Wewe terbakar.
"Sisa satu," desis Panji. Dia mengatur nafasnya. Pertarungan panjang membuatnya menggunakan banyak energi. Dia mulai kewalahan. Apalagi kini dia harus melindungi Aru. Gadis itu seperti akan pingsan. Panji tidak suka hal ini. Gadis itu selalu saja membuatnya repot.
Wewe nomer lima mencengkram leher Aru. Sedangkan Panji melawan Wewe nomer 4. Aru kehabisan nafas. Rasanya lehernya tercekik. Keadaan terdesak seperti itu Aru pernah merasakannya. Kuku hitam yang menggurita kulitnya. Mata merah penuh amarah yang menatapnya.
Aru pernah mengalaminya. Tetapi kapan dan di mana?
Kilatan cahaya bertumbuh bagaikan hujan. Menembus badan Wewe. Tangan yang mencengkram leher Aru terlepas. Wewe berbalik memburu orang yang memberikan luka padanya, Panji.
Wewe itu menerjang dengan cepat, sampai lumpur tanah ikut berloncatan. Aru melindungi wajah dengan lengannya.
Bunyi besi Bertumpu berulang. Ting tang Ting tang. Kadang suara itu dekat. Kadang menjauh. Aru mengintip dari balik elegan bajunya. Panji sedang bertarung melawan Wewe. Menurut Aru, jenis Wewe ini lebih kuat dari Wewe sebelumnya. Bahkan yang paling kuat dari yang pernah dia temui.
"Wewe macam apa itu?"
Wewe itu bergerak maju menyerang, kemudian mundur untuk menghindari serangan. Seolah-olah dia memang memiliki pikiran untuk menganalisis keadaan.
Aru menyeret kakinya menjauh. Dia tidak boleh terlalu dekat dengan area pertarungan. Karena akan menyulitkan Panji, bertarung dan melindungi dirinya. Tetapi gerakan Aru rupanya dibaca oleh Wewe.
Wewe mundur setelah menancapkan seorang besar pada Panji. Dia melesat menuju Aru. Aru tidak sanggup berlari. Jadi dia melindungi dirinya Hanya dengan kedua tangannya. Cuma sampai di sini, riwayatku, batin Aru.
Panji yang sudah lelah bertarung dengan para Wewe berpikir cepat untuk melindungi Aru. Dia tidak sanggup untuk menyusul jarak. Tidak akan cukup waktunya. Panji melemparkan biola sekuat tenaga, tepat di saat Wewe hendak mencakar Aru.
Bunyi benturan terdengar menggema di mana mana. Lewat sudut mata,Aru melihat dengan jelas bagaimana tameng Panji lompat ke arahnya. Tameng yang lepas dari tangan Panji berubah menjadi biola dan menerima serangan cakar Wewe. Serangan yang seharusnya diterima oleh Aru.
Kratak! Biola yang masih melayang di udara itu retak. Retakannya makin lama makin melebar. Blarr! Biola itu kini hanya tinggal puing puingnya saja.
Aru ingin menangis. Sekali lagi, Panji melindunginya. Bukannya lega, Aru merasa hatinya sakit. Rasa bersalah kini menghujamnya berkali kali lipat. Terutama melihat ekspresi marah di mata Panji saat biola itu hancur tanpa sisa.
Selama perjalanan pulang mengenakan bus yang sama, keduanya membisu. Wajah Panji pucat pasi. Pikirannya kalut. Dia mengulang kejadian biolanya hancur. Saat itu dia kelelahan, sedang Wewe itu bukan menyerangnya, malah menyerang cewek jadul itu. Sedetik kemudian Panji paham, bahwa Wewe yang dihadapinya adalah manusia Wewe. Tentu dia bisa berpikir lebih cemerlang.
Manusia Wewe itu juga pasti tahu, bahwa dirinya adalah keluarga Laksmana. Keluarga yang memiliki kekuatan istimewa. Ketika Wewe itu mengeluarkan cakar, Panji tidak bisa berpikir apapun. Dia bertindak dengan spontan melemparkan tameng biolanya ke arah Wewe.
Berulang kali dia bertanya dalam hati, kenapa dia melakukan hal itu? Dia mengutuk dirinya telah melakukan tindakan tanpa banyak pikir. Selanjutnya apa yang akan dilakukannya?
Panji memukul pegangan kursi. "Sial!"
Aru tersentak. Dia sudah tahan dengan sikap diam Panji. "Sudah cukup. Kalau kau menyesal telah menolongku sebaiknya katakan!" Suara Aru melengking membuat sopir menginjak rem dengan kuat.
Panji dan Aru duduk berhadapan di meja bundar dalam bus. Keduanya saling bertatapan tajam. Seolah ada dua sinar yang sedang bertubrukan.
"Aku muak denganmu. Kau benar benar tidak becus sebagai asisten!"
"Kau pikir aku tidak muak denganmu? Bangsawan Laksamana," Aru sengaja memanggil Panji dengan bangsawan Laksamana. Aru tahu Panji tidak menyukai panggilan itu. Melihat alis Panji yang bertaut, Aru tahu pancingannya berbasil.
"Beraninya kau memanggilku begitu," Panji mengangkat tangan kanan hendak menampar Aru.
Menurut Panji, dia sudah berulang kali menoleransi sikap ceroboh Aru. Tetapi gadis itu nampak tidak menyesal. Sekarang malah membuatnya marah.
Mata Aru berkilat-kilat marah. Dia tidak takut sama sekali dengan Panji. Sejak awal, mereka memang sudah tidak cocok. Aru benci sikap ketus Panji. Ditambah lagi, sekarang Panji akan memukulnya. Baik, . Aru tidak akan menghindar.
Panji menurunkan tangannya. "Brengsek." Panji bergegas turun dari bus.
Aru terduduk. Jantungnya berdentam keras. Ada sedikit rasa lega Panji tidak jadi memukulnya. Tapi rasa sesal telah melukai hati Panji kembali datang. Seharusnya dia tidak bersikap seperti itu. Memanggil Panji dengan nama Bangsawan seperti melempar kotoran ke wajahnya. Aru tahu, Panji tidak pernah mengakui nama keluarganya. Meskipun nama itu juga tidak bisa Panji hilangkan dari namanya.
Aru merasa menyesal telah bersikap sangat buruk. Hati Panji pasti sedang kacau, biolanya hancur. Terlebih lagi, orang yang diselamatkan bukannya berterima kasih. Malah membuatnya marah. Aru memukul kepalanya. "Bodoh!"
Masuk ke asrama, Aru bertemu dengan Bagaskara. Aru mengeluh panjang lebar terkait hari buruknya. Lengkap dengan biola Panji yang hancur.
Bagaskara mendengarkan tanpa memotong sekalipun terhadap cerita Aru. Setelah Aru tenang, Bagaskara mengajak Aru ke suatu tempat.
"Masuklah, ceritakan padaku apa yang ada di dalam sana," ujar Bagaskara tenang.
Aru masuk dan melihat seorang pemuda terbaring di ranjang. Tubuhnya penuh luka sana sini. Aru terperanjat ketika sadar bahwa pemuda itu hanya memiliki satu tangan.
Aru menutup mulutnya rapat sebelum menjerit. Kemudian keluar dari kamar itu. Aru diam saja ketika ditanya oleh Bagaskara, dia melihat apa.
"Pemuda itu tangannya putus kemarin. Dia juga asisten Pendekar ApiAbadi sepertimu. Nasibnya tidak begitu baik. Tangannya terputus ketika melawan Wewe. Sedangkan partnernya melarikan diri. Benar benar kacau malam ini."
"Apa maksudmu partner? Pendekar Apiabadi melarikan diri dari Wewe? Tapi kenapa?"
"Karena kadang kondisi tidak selalu berjalan dengan baik. Ada kalanya mereka harus menyelamatkan diri sendiri."
"Tapi itu tidak setia kawan."
"Arunika. Tidak ada kewajiban para pendekar untuk melindungi asisten. Asisten harus bertahan sendiri. Kau beruntung memiliki partner Panji. Dia selalu melindungimu kan?"
Aru menarik narik dua telinganya. Kenyataan ini menghantamnya.
"Itu tidak adil. Bagaimana mungkin asisten bisa menang melawan Wewe?"
"Tujuannya bukan menang, tetapi menyiapkan mental. Kau akan bertemu Wewe setiap hari. Kalau tidak kuat mental, kau justru bisa membahayakan sekitarmu."
"Gila. Ini benar benar gila!"
Di sisi lain Panji datang ke kantor pusat ApiAbadi. Dia melaporkan segala yang terjadi dan tentu meminta saran. Panji juga meminta izin untuk menggunakan salah satu senjata pusaka. Jawaban mereka membuat Panji tercengang.
"Bagaimana mungkin?"