Pertemuan Kembali

1254 Kata
Panji masih berdiri di depan meja bertumpukan buku. Sedangkan orang yang diajak bicara, seorang petinggi duduk di balik buku- buku. Panji menunggu penjelasan alasan pengajuannya ditolak. "Bagaimana mungkin anda menolaknya?"  "Untuk sementara, kau belum diizinkan untuk masuk area pertarungan. Kau harus menunggu partnermu sembuh," ujar Betari.   "Apa anda bercanda? Selama ini aku berjuang sendiri. Dan sekarang harus menunggu dia sembuh?" Panji merasa alasan Betari tidak masuk akal. Dia sudah pernah mendengar bahwa petinggi bagian persenjataan adalah orang yang tidak mudah ditebak maunya. Dan alasan menunggu partner, menurut Panji adalah alasan yang paling konyol.  "Sekarang biolamu hancur," kata Betari dingin.  "Karena itu," kata Panji menekankan setiap ucapannya. "Aku meminta izin untuk menggunakan senjata pusaka." "Ah… Kau tidak perlu itu." Panj berusaha meredam rasa kesalnya. Menghadapi orang tua ini sungguh sulit. Dia harus bicara sejelas mungkin.  "Tentu aku memerlukannya. Aku tidak mungkin menghadapinya dengan tangan kosong kan?"  Betari meletakkan penanya. Kemudian matanya menelaah pemuda di hadapannya. Pemuda bangsawan.  "Kau sudah punyai Naraya. Tidak perlu yang lain."  Panji belum pernah mendengar nama itu. "Siapa Naraya?"  "Ah…" Petinggi itu bangkit dari duduknya. Usianya belum tergolong tua. Meski keriput di sekitar matanya terlihat ketika dia tersenyum. Seperti saat ini. "Sebentar lagi, kau akan memilikinya. Kado dari ayahmu." Betari mengedipkan sebelah matanya pada Panji.  Perasaan Panji berubah buruk. Dia tidak pernah mau berurusan dengan orang yang dipanggil ayah itu. Bertahun-tahun setelah pengakuan keluarga Laksmana, dia memilih untuk mengabdikan diri pada organisasi ApiAbadi. Dia menolak setiap undangan dari keluarga besar tersebut dengan bermacam alasan. Dia ingin berdiri sendiri tanpa embel-embel Laksmana.  "Aku lebih memilih bertarung dengan tangan kosong." Panji berlalu pergi.  Petinggi itu menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga dan berdecak. "Pemuda yang angkuh."  Dalam langkah tergesa, Panji keluar dari kantor pusat. Dia akan mencari biola pengganti. Tidak mudah memang, tapi lebih baik daripada harus mengemis kepada Laksmana. Panji memasuki beberapa toko alat musik, dan mencoba mencari yang sesuai dengannya.  Arunika sedang bermalas-malasan di kamarnya. Dia ingin mengetahui kabar Panji, tetapi gengsinya lebih tinggi. Mendengar pintu diketok Aru membukanya tanpa pikir panjang. Rambutnya masih awut-awutan dan dia masih mengenakan piyama.  Begitu dibuka matanya membeliak melihat Bagaskara datang dengan seorang perempuan cantik.  Bagaskara mengisyaratkan potong leher pada Aru. Aru cuma bertanya tanpa suara, Siapa?  "Ah…" desah perempuan itu. "Yang satu angkuh. Yang ini serampangan. Pasangan yang cocok," ujarnya dengan senyum menawan.  Aru menarik-narik telinganya. "Maaf anda siapa dan perlu apa?"  "Ah," perempuan itu mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. "Sudah saatnya kamu memiliki senjata pribadi." Dia menyerahkan kertas tersebut pada Aru.  Begitu kertas itu diterima, rasa buncah memenuhi d**a Aru. Akhirnya tiba juga tes terakhir menjadi pendekar. Dia berjanji,akan mengalahkan Panji.  "Tentu," perempuan itu berbicara. "Aku menantikan kita bisa berbincang yang lama dengan suasana yang lebih nyaman." Perempuan itu menatap mata Arunika. Tatapannya terasa menembus jiwa Aru. "Arunika," panggilnya.  Perempuan itu pamit dan berjalan anggun meninggalkan Aru yang mulai histeris karena sebuah kertas.  Bagaskara menutup hidungnya. Dia menepuk kepala Aru. Hingga Aru cemberut. "Petualanganmu segera dimulai. Mandi sana! Baumu tercium sampai sepuluh meter." Aru hendak menendang, tetapi Bagaskara sudah mencapai langkah seribu. Aru tersenyum. Dia tidak pernah merasa senyaman ini dengan laki-laki. Aru seperti mempunyai kakak laki laki.  Aru bergegas mandi dan bersiap menuju kantor pusat ApiAbadi. Ketika sampai di kantor, terdapat keributan kecil. Ada seorang pendekar yang meminta partnernya diganti. Mereka beradu mulut dengan suara keras hingga menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Termasuk Aru.  "Jadi, partner bisa diganti,"gumam Aru.  Bila bisa diganti, Aru bisa mengajukan juga mengganti partner pendekar. Jujur saja, Aru sudah lelah menghadapi sikap Panji yang semena-mena. Apalagi Panji tidak pernah menghargai usahanya sedikit pun. Dia memang berkali kali terluka,tetapi dia juga berhasil melibas beberapa Wewe. Seharusnya Panji bisa melihat itu! Tidak mudah melawan Wewe dengan tangan kosong. Aru menyerahkan kertas izin pemakaian senjata pada petugas. Kemudian salah satu petugas mengantar Aru. Petugas berseragam warna biru itu menjelaskan level senjata. Pada pendekar pemula, seperti Aru akan diberikan senjata level D, level terendah.  "Ada empat level senjata berdasarkan kekuatannya. Level A tertinggi, dan level D terendah," jelasnya pada Aru dan mempersilahkan Aru memilih senjata di ruang tersebut.  "Kalau biola milik Panji Laksmana? Level berapa?"  "Biola milik Panji level A. Dia sudah memiliki biola itu nyaris lima tahun." Aru menelan ludah. Dan biola itu sekarang hancur. Apakah itu artinya tidak ada senjata yang benar benar kuat untuk melawan Wewe?  "Tetapi kudengar," petugas itu berkata. "Biolanya sudah hancur diterkam Wewe." Petugas itu kemudian bergidik ngeri. "Dan dia mengajukan diri untuk menggunakan senjata pusaka."  Aru merasa tertarik. "Apa itu senjata pusaka?"  Sambil mendengar penjelasan petugas, Aru sibuk memilah-milah alat di sana. Ada bermacam, mulai pisau lipat, pisau dapur, segala jenis pedang, busur dan panahnya. Begitu melihat busur, Aru mulai membayangkan dia akan mengenakan busur dan membidik panah pada Wewe.  "Senjata pusaka adalah senjata khusus. Tidak ada yang bisa menggunakannya. Setidaknya sejauh aku bertugas, aku belum menemukannya."  "Kenapa tidak bisa digunakan? Karena terlalu berat atau harus menguasai mantra tertentu?"  "Tidak seperti itu. Karena senjata itu hidup. Dia tidak dipilih, melainkan memilih."  "Memilih yang bisa menggunakannya?"  "Benar. Memilih tuannya. Kau sudah menemukan mau ambil yang mana?" "Bagaimana dengan panah dan busur ini?" Tanya Aru. Dia berharap mendapat banyak penjelasan terkait benda ini.  "Pilihan yang bagus. Dulu itu adalah senjata milik salah satu petinggi. Ketika dirasa kekuatannya membesar, senjatanya pun naik level. Coba kau angkat!" Aru menggeleng. "Aku sudah berusaha mengangkat, tapi tidak ada yang bisa. Apakah aku benar benar payah?"  Aru benci mengatakan hal itu, tetapi melihat senjata yang paling lemah saja tidak bisa.  Petugas itu diam sebentar. Kemudian menyuruh Aru keluar ruangan. Aru mengira petugas itu akan menyuruh Aru pulang. Tetapi dia malah mengajak Aru ke ruangan level C.  "Pak, kok di sini? Nggak salah?" Petugas itu tersenyum. "Coba saja."  Aru menurut saja meskipun bingung. Dia mencoba kembali satu alat, tetapi ternyata tidak juga bisa mengangkatnya.  Petugas itu kembali mengantar Aru ke ruangan berbeda. Tetapi Aru melihat seberkas cahaya dari ujung lorong. "Pak, cahaya apa itu?"  Petugas itu memperhatikan tempat yang ditunjuk Aru. Tidak ada apa-apa.  Aru memaksa untuk melihatnya. Awalnya petugas itu ragu, tetapi Aru meyakinkan bahwa dia melihat cahaya merah dari sana.  Petugas itupun bergerak ke ujung lorong. Dia membuka pintu tidak dengan kunci biasa. Tetapi ditambah dengan mantra.  Mata petugas itu terbelalak. Salah satu pedang di dalam kotak kaca bersinar terang.  "Benar kan?" Kata Aru sudah berdiri di belakang petugas.  Petugas itu menimbang-nimbang, apakah gadis ini adalah tuan yang dipilih? Dia harus segera memberitahukan pada kepala kantor senjata, Betari. Dia mengirimkan pesan pada Betari. Menjelaskan situasi secara singkat.  Di saat itu, Aru merasakan perasaan rindu yang besar dari dalam hatinya. Seolah pertemuan itu memang ditakdirkan. Pedang itu begitu cantik. Dan Aru menginginkannya. Kalau memang pedang itu adalah senjata pusaka, Aru yakin pedang itu telah memilihnya. "Bolehkan aku memegangnya?"  Petugaa itu tidak mengizinkan. Bukan dia yang memberikan keputusan.  Aru tahu dia tidak bisa memaksa. Tetapi entah kenapa hatinya diselimuti oleh perasaan hangat yang pernah dirasakannya dulu. Seolah mereka telah mengenal satu sama lain.  Hei pedang, apakah kita berjodoh? Bisik Aru hati.  "Aku mau menamaimu Pedang Arunika, cantik kan?" Ujar Aru mengetuk ketuk kotak kaca.  Petugas itu terkejut Aru sudah di dekat kotak kaca. "Minggir!"  Aru terlalu kaget sehingga tidak bisa memutuskan apapun. Pedang itu seolah meresponnya. Dia bergoyang goyang. Terus bergoyang menabrak kaca.  Pyar!  Petugas berteriak, Aru merunduk, kedua tangannya melindungi kepala. Pedang itu melesat di udara kemudian tmelayang rendah dan berhenti di tangan Aru. Petugas memencet tombol darurat. Ini pertama kali terjadi dalam hidupnya. Dia menyaksikan senjata pusaka yang bertahun-tahun diam seperti benda mati, kali ini malah menghancurkan kaca dan bahkan melindungi gadis ini.  Siapa sebenarnya gadis ini? Siapa sebenarnya Arunika?   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN